Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Agus Mulyadi Jadi Sorotan di Balik Drama Kenaikan PBB 1.000%

IMG-20250224-WA0023.jpg
Sekretaris Daerah Kota Cirebon, Agus Mulyadi (kanan)
Intinya sih...
  • Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2024 mengubah formula penghitungan PBB, memicu lonjakan nilai tagihan PBB hingga Rp65 juta.
  • Gelombang penolakan kenaikan PBB dikonsolidasikan melalui Paguyuban Pelangi Cirebon yang menolak kebijakan tersebut.
  • Warga menuntut pembatalan Perda No. 1 Tahun 2024, penurunan pejabat bertanggung jawab, langkah konkret dari Wali Kota, dan mencari sumber
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Cirebon, IDN Times- Kebijakan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kota Cirebon yang mencapai hampir 1.000 persen memicu gelombang protes warga. Sorotan publik kini mengarah pada mantan Penjabat (Pj) Wali Kota Cirebon, Agus Mulyadi yang juga menjabat sebagai Sekretaris Daerah, sebagai penandatangan regulasi pemicu lonjakan tersebut.

Wali Kota Cirebon, Effendi Edo, menyatakan aturan teknis penghitungan PBB itu sudah diberlakukan sejak 2024, saat pucuk kepemimpinan masih dipegang oleh Pj Wali Kota.

"Keputusan 1.000 persen itu tahun 2024, saat Pj Wali Kota Cirebon terdahulu yang menjabat,” ujarnya, Jumat (15/6/2025).

Edo menegaskan, meskipun di masa pemerintahannya ada penyesuaian tarif PBB, angka kenaikan tidak pernah mencapai level ekstrem yang menimbulkan keterkejutan publik.

Ia memastikan pemerintah kota tengah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan tersebut. “Tetap kita tinjau ulang agar sesuai kemampuan masyarakat,” imbuhnya.

1. Regulasi Perda nomor 1/2024 jadi sumber polemik

Income tax, Calculator, Accounting image. Free for use.
Income tax, Calculator, Accounting image. Free for use.

Dasar hukum yang menjadi sorotan adalah Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak dan Retribusi Daerah.

Aturan ini mengubah formula penghitungan PBB, sehingga bagi sebagian wajib pajak, nilai yang tertera dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) melonjak berkali lipat.

Salah satu contoh yang paling banyak diperbincangkan adalah tagihan PBB milik warga yang naik dari Rp6,2 juta menjadi Rp65 juta hanya dalam kurun satu tahun.

Lonjakan tersebut memicu pertanyaan tentang kewajaran kebijakan dan kepekaan pemerintah terhadap kondisi ekonomi masyarakat. Edo menyebut, pemerintah akan mengkaji ulang penerapan Perda tersebut, terutama dari sisi dampak sosialnya.

Koordinasi dengan Badan Pengelolaan Keuangan dan Pendapatan Daerah (BPKPD) akan dilakukan agar data dan kebijakan sejalan.

“Kami akan cari formulasi baru yang proporsional. Prinsipnya, jangan sampai ada beban berlebihan bagi warga,” kata Edo.

2. Warga bersatu dalam Paguyuban Pelangi Cirebon

Tax (https://unsplash.com/photos/black-android-smartphone-near-ballpoint-pen-tax-withholding-certificate-on-top-of-white-folder-M98NRBuzbpc)
Tax (https://unsplash.com/photos/black-android-smartphone-near-ballpoint-pen-tax-withholding-certificate-on-top-of-white-folder-M98NRBuzbpc)

Gelombang penolakan terhadap kenaikan PBB ini dikonsolidasikan melalui Paguyuban Pelangi Cirebon. Juru bicaranya, Hetta Mahendrati, menilai kebijakan tersebut memberatkan dan tidak dapat diterima. Menurutnya, Perda No. 1/2024 seharusnya dibatalkan karena memicu beban pajak di luar kewajaran.

“Ya, kami masyarakat Kota Cirebon menolak dengan adanya kebijakan kenaikan PBB sebesar 1.000 persen,” tegas Hetta, Rabu (13/8/2025).

Ia mencontohkan kasus di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, di mana kenaikan PBB sebesar 250 persen akhirnya dibatalkan oleh pemerintah daerah setempat.

Paguyuban ini mengaku sudah sejak Januari 2024 melakukan berbagai aksi, mulai dari menyampaikan aspirasi ke DPRD Kota Cirebon, menggelar unjuk rasa, hingga mengirimkan surat protes kepada Presiden dan Kementerian Dalam Negeri.

Hetta memastikan perjuangan warga tidak akan berhenti sampai kebijakan tersebut diubah.

“Kami akan berjuang sampai kapan pun. Kami berharap suara ini terdengar oleh para petinggi,” ujarnya di hadapan puluhan warga.

3. Empat tuntutan warga kepada Pemkot Cirebon

Masyarakat Berpenghasilan Rendah Rentan Terhadap Kemiskinan (http://andolfatto.blogspot.com/2012/05/tax-policy-shocks-and-business-cycle.html?m=1)
Masyarakat Berpenghasilan Rendah Rentan Terhadap Kemiskinan (http://andolfatto.blogspot.com/2012/05/tax-policy-shocks-and-business-cycle.html?m=1)

Dalam pernyataan resminya, Paguyuban Pelangi Cirebon mengajukan empat tuntutan kepada Wali Kota Cirebon. Pertama, membatalkan Perda No. 1 Tahun 2024 dan mengembalikan tarif PBB ke level tahun 2023.

Kedua, menurunkan pejabat pemerintah kota yang dianggap bertanggung jawab atas terbitnya PBB 2024–2025 dengan kenaikan ekstrem.

Tuntutan ketiga adalah agar Wali Kota menunjukkan langkah konkret dalam waktu satu bulan sejak pertemuan dengan perwakilan warga untuk memenuhi dua tuntutan awal. Jika tidak, mereka siap menggelar aksi turun ke jalan kembali.

Keempat, mereka mendesak agar pajak tidak menjadi sumber terbesar Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pemerintah diminta mencari sumber pendapatan alternatif, melakukan efisiensi anggaran, dan menutup kebocoran.

“Kalau di Pati bisa, kita juga harus bisa,” kata Hetta.

Ia menegaskan warga tidak akan mundur dari perjuangan, mengingat kebijakan ini menyentuh langsung kehidupan masyarakat dan dapat berdampak pada kemampuan ekonomi rumah tangga.

Sementara itu, Edo mengaku terbuka untuk dialog. Ia menekankan perlunya komunikasi yang jernih agar kebijakan pajak tidak menimbulkan kesalahpahaman. “Kita harus buka semua datanya, transparan. Kalau memang ada kekeliruan, harus kita akui dan perbaiki,” tuturnya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Yogi Pasha
EditorYogi Pasha
Follow Us