Sekolah di Kabupaten Cirebon Tertekan Aturan Badan Gizi Nasional

- Keterbatasan BOS dan ketidaksiapan infrastrukturMenurut Ronianto, kesenjangan antara regulasi pusat dan kemampuan operasional sekolah menjadi inti persoalan. BOS belum menyediakan pos untuk alat makan yang termasuk kategori aset nonprioritas.
- Usulan revisi regulasi ke pemerintah pusatDisdik Kabupaten Cirebon telah mengirimkan masukan resmi ke kementerian terkait serta BGN. Inti usulan tersebut mencakup ruang pendanaan khusus pengadaan perlengkapan MBG dan panduan teknis penggunaan BOS.
- Harapan sinkronisasi kebijakan MBGDisdik berharap pemerintah pusat melakukan evaluasi cepat terhadap aturan yang menempatkan sek
Cirebon, IDN Times - Dinas Pendidikan Kabupaten Cirebon menyampaikan keberatan atas aturan Badan Gizi Nasional (BGN) terkait penggantian ompreng dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG). Ketentuan yang mewajibkan pihak sekolah menanggung kehilangan peralatan makan dinilai menyulitkan, terutama karena tidak tersedia skema pendanaan resmi untuk kebutuhan tersebut.
Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Cirebon, Ronianto, menuturkan keresahan muncul sejak aturan itu diterapkan di tingkat satuan pendidikan.
Menurutnya, sekolah diposisikan sebagai penanggung jawab tunggal ketika ompreng hilang, sementara ruang fiskal dari dana bantuan operasional sekolah (BOS) tidak mengizinkan pembelian ulang perlengkapan MBG. Situasi ini menempatkan kepala sekolah pada posisi serba salah.
“Di sekolah tidak pernah muncul kehilangan dalam jumlah besar. Masalah muncul ketika aturan mewajibkan penggantian, padahal BOS tidak dapat digunakan untuk item tersebut. Jadi sumber biayanya tidak tersedia,” kata Ronianto, Senin (8/12/2025).
1. Keterbatasan BOS dan ketidaksiapan infrastruktur

Menurut Ronianto, kesenjangan antara regulasi pusat dan kemampuan operasional sekolah menjadi inti persoalan. Selama ini, BOS belum menyediakan pos untuk alat makan yang termasuk kategori aset nonprioritas. Jika pemaksaan aturan tetap berlangsung, sekolah berpotensi melanggar ketentuan penggunaan dana pendidikan.
Ronianto menegaskan, program MBG masih berada dalam fase awal pelaksanaan. Di Kabupaten Cirebon, baru sekitar 40 persen sekolah yang sudah mulai mendistribusikan pangan bergizi dari pusat.
Meski jumlah sekolah yang menjalankan program masih terbatas, sejumlah persoalan teknis sudah muncul, terutama pengawasan ompreng.
Menurut laporan beberapa kepala sekolah, kehilangan ompreng memang terjadi, tetapi skalanya kecil dan tidak mengganggu layanan makan harian. Meski begitu, tanpa kejelasan pendanaan, insiden kecil tetap menghasilkan beban administratif.
“Kami ingin program berjalan tertib, namun regulasi perlu disesuaikan dengan realitas lapangan. Risiko kehilangan selalu ada, meski kecil. Sekolah tidak bisa serta-merta diminta mengganti peralatan tanpa instrumen anggaran yang legal,” ujar Ronianto.
2. Usulan revisi regulasi ke pemerintah pusat

Disdik Kabupaten Cirebon telah mengirimkan masukan resmi ke kementerian terkait serta BGN. Inti usulan tersebut mencakup dua hal: ruang pendanaan khusus pengadaan perlengkapan MBG dan panduan teknis penggunaan BOS untuk kebutuhan tertentu ketika terjadi kehilangan alat makan.
Pemerintah daerah menilai program makan sehat tidak cukup hanya berfokus pada menu dan distribusi. Peralatan pendukung juga memerlukan tata kelola yang jelas. Tanpa kejelasan alokasi, sekolah akan selalu berada dalam posisi tertekan ketika terjadi kehilangan meski skalanya minim.
Ronianto menyampaikan, sekolah saat ini berupaya maksimal merawat ompreng. Edukasi diberikan kepada siswa agar peralatan tetap di sekolah, guru juga melakukan pengecekan rutin, namun dinamika harian tetap membuka peluang hilang pakai. Kondisi lapangan sering kali tidak seideal rancangan kebijakan.
“Kami mendukung agenda pusat, tetapi dukungan itu perlu dijembatani dengan regulasi yang realistis. Jangan sampai semangat sekolah mendukung program justru terhambat tekanan teknis yang tidak relevan dengan kapasitas pembiayaan,” ucapnya.
3. Harapan sinkronisasi kebijakan MBG

Disdik berharap pemerintah pusat melakukan evaluasi cepat terhadap aturan yang menempatkan sekolah sebagai penanggung jawab kehilangan ompreng. Apalagi MBG adalah program nasional dengan skala besar dan membutuhkan sinkronisasi dari pusat hingga satuan pendidikan.
Ronianto menekankan, sekolah tidak menolak program. Mereka memahami manfaat MBG bagi pemenuhan gizi siswa. Namun kepastian anggaran menjadi kunci agar implementasi tidak memunculkan dilema hukum maupun administratif.
“Sekolah sudah bekerja keras menjalankan tugas pembelajaran sekaligus mendukung MBG. Jangan sampai mereka menanggung risiko yang muncul akibat celah aturan,” tuturnya.

















