Transparansi Jadi Ujian Transisi Telur Bebas Sangkar di Asia

- Pelaporan meningkat, tetapi belum merata
- 70,5% perusahaan pangan di Asia telah mengungkapkan kemajuan menuju telur bebas sangkar
- Hanya 14,7% perusahaan yang sepenuhnya menerapkan sistem bebas sangkar atau berada di jalur yang jelas untuk memenuhi komitmen pada akhir 2025
- Asia pegang peran strategis dalam ekonomi telur global
- Thailand, Indonesia, Malaysia, dan India memiliki peran kunci dalam pasokan telur global
- Jepang menjadi salah satu negara dengan konsumsi telur tertinggi di dunia dan sangat bergantung pada impor bahan baku
Bandung, IDN Times — Tenggat waktu komitmen telur bebas sangkar pada 2025 kian dekat, sementara sektor pangan Asia masih menghadapi tantangan besar dalam mewujudkannya. Keterlibatan perusahaan memang menunjukkan peningkatan, tetapi laju kemajuan dinilai belum cukup untuk menjawab tuntutan kesejahteraan hewan dan keberlanjutan rantai pasok global.
Laporan Asia Cage-Free Tracker 2025 mencatat bahwa sejumlah perusahaan telah mulai membuka data kemajuan mereka. Namun, kesenjangan transparansi masih lebar, terutama di negara-negara yang memegang peran kunci dalam ekonomi telur Asia.
Kondisi ini menjadi perhatian karena Asia merupakan produsen mayoritas telur komersial dunia. Ketertinggalan di kawasan ini berpotensi memengaruhi pasokan global bahan baku telur bebas sangkar, termasuk untuk industri pangan internasional.
Sinergia Animal menilai tahun 2025 sebagai fase krusial yang akan menentukan apakah perusahaan benar-benar menepati komitmen yang telah dijanjikan bertahun-tahun lalu atau justru tertinggal dari ekspektasi publik.
1. Pelaporan meningkat, tetapi belum merata

Laporan Asia Cage-Free Tracker 2025 mengevaluasi 95 perusahaan pangan yang beroperasi di India, Indonesia, Jepang, Malaysia, dan Thailand. Hasilnya, sebanyak 70,5 persen perusahaan telah mengungkapkan tingkat kemajuan tertentu menuju pengadaan telur bebas sangkar, meningkat tipis dibandingkan 69,8 persen pada 2024.
Meski demikian, hampir sepertiga perusahaan masih belum memberikan laporan publik. Hanya 14,7 persen perusahaan yang tercatat telah sepenuhnya menerapkan sistem bebas sangkar atau berada di jalur yang jelas untuk memenuhi komitmen pada akhir 2025.
“Kami melihat adanya pergerakan, tetapi tidak secepat yang dibutuhkan,” kata Nurkhayati Darunifah, Corporate Accountability Lead Asia sekaligus penulis laporan tersebut, seperti diterima IDN Times pada Minggu (28/12/2025).
2. Asia pegang peran strategis dalam ekonomi telur global

Lambatnya transisi ini dinilai mengkhawatirkan mengingat posisi Asia dalam rantai pasok global. Thailand berperan sebagai pemasok telur dan bahan baku olahan ke pasar ekspor utama, sementara Indonesia dan Malaysia menopang stabilitas pasokan domestik dan regional.
India terus memperkuat posisinya dalam industri telur bubuk dan bahan baku olahan yang digunakan secara luas di berbagai negara. Di sisi lain, Jepang menjadi salah satu negara dengan konsumsi telur per kapita tertinggi di dunia dan sangat bergantung pada impor bahan baku.
“Seiring mendekatnya tenggat waktu tahun 2025, perusahaan-perusahaan di seluruh Asia menghadapi momentum penentuan,” ujar Saneekan Rosamontri, Managing Director Sinergia Animal Thailand.
3. Kesenjangan implementasi dan transparansi masih lebar

Laporan 2025 juga mengelompokkan perusahaan ke dalam sembilan tier untuk melihat pemimpin dan pihak yang tertinggal dalam transisi. Sejumlah perusahaan, seperti Aman Resorts, Starbucks, Shake Shack, dan The Cheesecake Factory, telah menyelesaikan transisi bebas sangkar di seluruh operasional mereka di Asia.
Namun, masih terdapat 33 perusahaan yang hanya merilis data kemajuan secara global tanpa rincian regional, serta 28 perusahaan yang sama sekali tidak memiliki transparansi publik. Di tingkat negara, Indonesia memiliki partisipan terbanyak tetapi implementasinya belum konsisten, sementara Jepang tercatat sebagai negara dengan tingkat transparansi terendah.
“Pelaporan yang transparan dan tindakan tepat waktu akan menentukan apakah Asia akan mempercepat kemajuan atau justru menjadi penghambat dalam transisi global menuju standar kesejahteraan hewan yang lebih tinggi,” kata Saneekan Rosamontri.
Koalisi Act for Farmed Animals, yang terdiri dari Animal Friends Jogja dan Sinergia Animal International, menyatakan akan terus memantau perkembangan serta mendorong kolaborasi dengan dunia usaha agar sistem pangan di Asia semakin transparan, bertanggung jawab, dan berkelanjutan.

















