Sindikat Migran Intai Warga Cirebon ke Kamboja-Myanmar

- Warga Cirebon rentan terjerat sindikat pengiriman PMI ilegal ke Kamboja dan Myanmar.
- Kurangnya literasi hukum migrasi dan perlindungan buruh luar negeri membuat warga mudah tergiur jalur ilegal.
- Menteri P2MI khawatir dengan meningkatnya jumlah warga yang berangkat ke luar negeri melalui jalur tidak resmi.
Cirebon, IDN Times- Warga Kabupaten Cirebon, Jawa Barat semakin rentan terjerat sindikat pengiriman pekerja migran ilegal, terutama ke Kamboja dan Myanmar.
Hal ini terjadi karena daerah tersebut dikenal sebagai salah satu kantong terbesar Pekerja Migran Indonesia (PMI) di Tanah Air, tetapi minim literasi hukum migrasi dan perlindungan buruh luar negeri.
1. Cirebon bagian penting dari sektor PMI

Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI), Abdul Kadir Kading, mengaku khawatir dengan meningkatnya jumlah warga yang berangkat ke luar negeri melalui jalur tidak resmi.
Abdul Kadir Kading mengungkapkan hingga saat ini tidak ada kerja sama resmi antara Indonesia dengan Kamboja maupun Myanmar untuk penempatan tenaga kerja.
“Cirebon ini daerah penting dalam hal jumlah PMI. Tapi banyak yang tergiur berangkat cepat, padahal jalurnya ilegal. Ke Kamboja dan Myanmar itu bukan negara tujuan resmi. Mereka umumnya masuk lewat visa turis, lalu bekerja secara ilegal,” tegas Abdul Kadir dalam kunjungannya ke Cirebon, Sabtu (18/5/2025).
Ia menjelaskan warga yang berangkat umumnya terlebih dahulu masuk ke Malaysia, Singapura, atau Thailand, baru kemudian dialihkan ke Kamboja.
Mereka direkrut oleh jaringan calo yang menjanjikan pekerjaan cepat dengan penghasilan tinggi, padahal kenyataannya mereka terjebak dalam situasi kerja eksploitatif.
2. Jalur ilegal, jerat eksploitasi, dan praktik calo dari dalam

Menurut data Kementerian P2MI, dari sekira 70 ribu lebih warga Cirebon yang kini bekerja di luar negeri, sebagian kecil menjadi korban sindikat penempatan ilegal.
Tahun lalu, sebanyak 11 ribu warga diberangkatkan sebagai PMI. Namun, sebagian dari angka tersebut ternyata tidak dilengkapi dokumen resmi dan melewati jalur non-prosedural.
“Dari yang bermasalah, 95 persen itu berangkat secara ilegal. Calonya bukan orang asing, tapi kita sendiri. Warga lokal yang jadi makelar kerja. Bahkan ada yang dulunya calo, sekarang malah jadi pegawai negeri,” ujar Abdul Kadir.
Praktik percaloan ini bukan hanya ilegal, tetapi juga sangat membebani masyarakat miskin. Calon PMI harus membayar hingga Rp8 juta kepada calo sebagai ‘biaya keberangkatan’.
Namun beban tak berhenti di situ. Setelah tiba di negara tujuan, mereka kerap dipaksa membayar setoran secara rutin kepada pihak perekrut atau perusahaan ilegal yang mempekerjakan mereka.
“Bayangkan, orang yang sudah susah malah diperas lagi. Setiap bulan harus nyetor, padahal kerja di tempat yang tidak aman, tanpa perlindungan,” katanya.
Banyak kasus eksploitasi dialami PMI di negara-negara tersebut. Beberapa di antaranya ditahan paspor dan dipaksa bekerja berjam-jam tanpa upah layak. Dalam situasi terburuk, mereka bahkan tidak bisa pulang karena tak memiliki dokumen dan dana yang cukup.
3. Solusi struktural dan potensi ekonomi jika dikelola benar

Menteri Abdul Kadir menekankan pentingnya langkah sistematis dari pemerintah daerah untuk memutus mata rantai pengiriman ilegal ini.
Ia mendorong Kabupaten Cirebon untuk membentuk pusat pelatihan tenaga kerja migran atau Migran Center, yang terstandarisasi dan terintegrasi dengan negara-negara tujuan resmi seperti Jepang, Korea, dan Timur Tengah.
“Kita perlu siapkan tenaga kerja secara profesional. Dari pelatihan keterampilan, bahasa, sertifikasi, sampai dengan proses penempatan yang legal dan aman. Modul pelatihan pun bisa kita ambil dari negara tujuan,” ungkap Abdul Kadir.
Ia menambahkan, jika sistem penempatan dikelola secara prosedural, dampaknya bisa sangat besar terhadap ekonomi lokal.
Dengan asumsi tiap PMI asal Cirebon mengirimkan Rp5 juta per bulan ke keluarganya, maka dalam setahun potensi remitansi yang masuk bisa mencapai Rp660 miliar. Dana ini akan tersebar ke desa-desa, menopang konsumsi, pendidikan, bahkan pembangunan infrastruktur lokal.
“Itu uang segar masuk ke desa. Mana ada sektor lain yang bisa menghasilkan Rp660 miliar dalam setahun hanya dari satu kabupaten? Ini potensi luar biasa kalau kita kelola benar,” katanya.
Pemerintah pusat juga mendorong aparat hukum untuk menindak tegas perusahaan nakal dan individu yang terlibat dalam pengiriman non-prosedural. Sosialisasi kepada masyarakat desa dan edukasi hukum migrasi juga akan terus ditingkatkan.
“Sekarang akses resmi sudah gampang. Berangkat legal itu tidak sulit dan tidak mahal. Kita harus lawan informasi palsu yang disebar calo di media sosial. Kalau saya temukan perusahaan yang nakal, izinnya saya cabut,” ujar Menteri P2MI.