Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Pengamat Sebut Siswa Masuk Barak Bukan Solusi Jangka Panjang

Dreamina Picture Generator

Bandung, IDN Times - Program siswa bermasalah masuk ke barak TNI yang digagas Pemprov Jabar masih menuai polemik. Selain belum ada aturan jelas, belum ada kajian yang bisa memastikan para siswa tersebut nantinya bisa menjadi lebih baik usai ikut program tersebut.

Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Parahyangan Kristian mengatakan, program penempatan siswa ke barak tentara yang diusulkan Dedi Mulyadi berangkat dari gagasan bahwa lingkungan militer akan menanamkan nilai disiplin, kepatuhan, dan kolektivitas. Ini diharapkan mampu mereduksi tawuran, kecanduan game online, dan perilaku anarkisme di kalangan pelajar.

Secara teoritis, barak tentara berfungsi sebagai agen sosialisasi sekunder yang menekankan struktur hierarkis dan aturan ketat, tapi pendekatan yang dominan berupa disiplin negatif, yaitu hukuman dan sanksi dapat menimbulkan stres berlebih dan potensi trauma pada remaja yang masih memerlukan dukungan emosional dan ruang eksplorasi diri.

"Dari perspektif teori pengendalian perilaku, intervensi militer‐style ini mengandalkan pembiasaan kembali (reconditioning) dalam lingkungan terstruktur, tetapi tanpa mendorong motivasi intrinsik atau internalisasi nilai, perubahan perilaku cenderung bersifat sementara," kata Kristian saat dihubungi, Selasa (6/5/2025).

1. Belum bisa pastikan penurunan tingkat residivis

Ilustrasi penangkapan seorang tersangka menggunakann borgol di tangannya (Foto: IDN Times/Halbert Caniago)

Menurutnya, studi empiris menunjukkan bahwa program serupa di beberapa negara memang mampu menurunkan angka kekerasan dalam jangka pendek. Namun, tanpa tindak lanjut berbasis edukasi dan dukungan psikososial, tingkat residivisme kembali berperilaku negatif tetap tinggi.

Selain itu, intervensi penahanan ketat belum efektif mengatasi akar penyebab kecanduan game online, yang seringkali berkaitan dengan stres, kecemasan, dan kurangnya aktivitas fisik atau motivasi sosial positif.

"Perubahan jangka panjang memerlukan terapi perilaku kognitif yang dipadu dengan program aktivitas fisik terstruktur dan dukungan konseling," kata dia.

2. Pendekatan komprehensif lebih direkomendasikan

Ujian Sekolah

Pada aspek anarkisme, pelatihan militer memang meningkatkan kepatuhan pada otoritas, tetapi tanpa pemahaman nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia, risiko terbentuknya “otonomi berlebihan” dan potensi sikap otoriter di kalangan pemuda justru meningkat.

Lebih jauh, program semacam ini berisiko menimbulkan stigmatisasi yaitu siswa peserta dipandang sebagai bermasalah sehingga berdampak negatif pada citra diri dan hubungan sosial mereka di sekolah dan di rumah.

Dari segi pembiayaan dan keberlanjutan, model militer‐style memerlukan sumber daya besar, fasilitas, instruktor terlatih, dan logistik. Sementara tanpa kolaborasi erat antara pemerintah, sekolah, keluarga, dan masyarakat, hasil intervensi sulit dipertahankan.

"Untuk mencapai perubahan perilaku yang lebih holistik dan berkelanjutan, pendekatan komprehensif sangat direkomendasikan," kata dia.

3. Harus ada kurikulum di sekolah yang lebih baik

ilustrasi kurikulum merdeka (freepik.com/odua)

Kurikulum berbasis social emotional learning (SEL) dapat membantu siswa mengembangkan kemampuan mengelola emosi dan menyelesaikan konflik secara konstruktif. Terapi perilaku kognitif untuk kecanduan game, dipadu dengan monitoring digital dan tugas‐tugas praktis, akan menargetkan akar persoalan.

Dukungan setelah program (after care) melalui pendampingan guru, psikolog di sekolah, orang tua, pemerintah, dan tokoh masyarakat sangat penting untuk memastikan transfer pembelajaran ke kehidupan sehari-hari. Rancangan evaluasi kuasi‐eksperimental, dengan kelompok kontrol dan intervensi, disarankan untuk menilai efektivitas dan melakukan penyesuaian berkala terhadap program.

Dengan demikian, meskipun penempatan siswa di barak tentara memiliki potensi memperkuat kedisiplinan dan semangat kebersamaan, tanpa integrasi elemen edukatif, psikososial, serta dukungan lintas sektor, efektivitasnya terbatas dan berpotensi menimbulkan dampak negatif atau setidaknya siklus kembali ke perilaku semula.

"Pendekatan yang menggabungkan pendidikan karakter, terapi perilaku, dan kolaborasi multi‐stakeholder diyakini lebih mampu menghasilkan perubahan positif yang bertahan lama," pungkasnya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Yogi Pasha
Debbie sutrisno
Yogi Pasha
EditorYogi Pasha
Follow Us