Makna KAA dan Dasasila Bandung di Mata Dunia

Bandung, IDN Times - Pertengahan pekan ini Foregin Policy Community of Indonesa FPCI, berkolaborasi dengan lembaga asal Jerman, Korber Stiftung menyelenggarakan forum publik untuk memperingati 70 tahun Konferensi Asia-Afrika yang juga disebut “Konferensi Bandung”, yang dilaksanakan di Bandung, Indonesia pada tahun 1955.
Forum publik ini dihadiri oleh tokoh diplomasi antara lain Wakil Menteri Luar Negeri Arif Havas Oegroseno, Mantan Menteri Luar Negeri Mesir Nabil Fahmy, Ketua dan Pendiri FPCI Dino Patti Djalal, Mantan Duta Besar India Rajiv Bhatia, Dosen Sejarah di Universitas Leiden Carolien Stolte, serta Guru Besar Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada Poppy Sulistyaning Winanti.
Kegiatan ini merupakan bagian dari rangkaian program Global History and Politics Dialogue ‘70 Years Since Bandung: Non-Alignment, Multi-Alignment, and the Role of Middle Powers’ yang berlangsung dari 15-17 April 2025, di mana sebelumnya sebanyak 27 delegasi intemasional dari 15 negara berpartisipasi dalam diskusi terbatas seputar relevansi dan pentingnya Semangat Bandung.
Forum ini menekankan bahwa Semangat Bandung yang lagir dalam Konferensi Asia Afrika (KAA) tidak memudar dan bahkan semakin relevan dan penting bagi dunia internasional saat ini, di mana konflk dan ketegangan geopolitik terus berlangsung, serta emansipasi dunia ‘Global South’ (Selatan) belum terpenuhi.
Dasa Sila Bandung dan Semangat Bandung bukan hanya relevan bagi negara-negara Selatan, namun juga bagi negara-negara di Utara. Konflik yang masih terus berlangsung saat ini antara lain pelanggaran kemanusiaan di Gaza dan perjuangan kemerdekaan Palestina di Timur Tengah, serta invasi Rusia terhadap Ukraina di Eropa.
Pada saat bersamaan, negara-negara di Selatan juga masih memperjuangkan reformasi tatanan dunia yang lebih adil dan inklusif, dimana saat ini sistem dan arsitektur internasional masih cenderung tidak inklusif terhadap kepentingan negara-negara berkembang. Agenda reformasi organisasi
1. Negara menengah sekarang punya kekuatan besar

Dino Patti Djalal selaku Ketua dan Pendiri FPCl menuturkan bahwa Semangat Bandung semakin relevan dalam tatanan dunia multipolar yang semakin jelas beberapa bulan ke belakang. Namun, saat ini polar terkuat yang dihuni juga oleh Amerika sedang terguncang dan membuat adanya ketidakpercayaan negara-negara Utara dan Selatan atas batas sistem internasional.
"Untuk itu,Semangat Bandung menjadi semakin penting," kata Dino melalui siaran pers diterima IDN Times, Minggu (20/4/2025).
Menurutnya, peran kekuatan menengah akan semakin nyata karena sudah lebih punya ukuran, bobot, dan ambisi. Maka, bisa saja Gerakan Non-Blok akan menjadi platform baru untuk Global South. Dan yang pentng juga gerakan ini bisa membentuk sesuatu dalam skala internasional yang menjadikan sistem bisa dibangun oleh kekuatan menengah.
Dia pun menekankan peran kekuatan menengah berada di kawasan mereka masing-masing dan juga secara multilateral misalnya, di kawasan Arab Saudi berperan di Timur Tengah, India, di Asia Selatan, Afrika Selatan di Afrika, India melalui Quad, Indonesia melalui G20, atau Brazil melalui BRICS.
2. Perkuat kemitraan tanpa syarat

Sementara itu, H.E. Arif Havas Oegroseno yang merupakan Wakil Menteri Luar Negeri Rl menyebut bahwa gerakan Non-Blok bisa mendapat suara besar ketika ada perubahan dalama agendanya. Dia menilai kemitraan tanpa syarat ketergantungan itu penting karena pada umumnya, akan ada tuntunan lebih dalam kemitraan dengan negara yang lebih kuat secara ekonomi, sedangkan dengan sesama negara Non-Blok, syarat ‘tanpa ketergantungan’ bisa menjadi suatu elemen kemitraan.
" Konferensi Bandung relevan, bahkan semakin relevan, melihat situasi global hari ini. Agar makin relevan kita harus meningkatkan kerja sama Selatan-Selatan, membangun kapasitas industrial yang lebih kuat, kemitraan tanpa ketergantungan, dan membentuk pendanaan iklim yang solid," kata dia.
Masyarakat sipil pun harus ikut tergerak dalam gerakan ini di banyak negara sehingga kekuatan negara Non-Blok ke depan semakin disegani.
3. Harus ada strategi baru hadapai gejolak dunia

Mantan Menteri Luar Negeri Mesir Nabil Fahmy kerja sama sejumlah negara termasuk pada BRICS bisa membuat kerja sama Indonesia dan negara sahabat kian kuat karena koalisi antarnegara ini jelas menginginkan sesuatu yang positif.
"Semakin banyak kita datang dengan usulan terkait bagaimana menghadapi tantangan komunitas internasional saat ini, semakin baik. Usulan konkret mengenai bagaimana kita dapat maju bersama. BRICS adalah platform aktivisme, dan kita harus memanfaatkannya," kata Fahmy.
Mantan Duta Besar India Rajiv Bhatia mengatakan, gerakan Non-Blok saat ini sangat relevan terlebih dengan kondisi dunia makin tidak pasti. Dasasila Bandung dan Semangat Bandung menjadi hal istimewa, di mana semangat ini harus ditanamkan dan diteruskan oleh generasi muda.
Pada 2025 memang berbeda dengan 1955 ketika KAA digelar. Meski demikian, ada kesamaan baru di mana negara-negara Non-Blok atau negara berkembang harus mengikuti strategi baru demi kebaikan bersama.
"Saya rasa kita semua periu berkontribusi padanya karena Global South membawa agenda yang sesuai dengan abad ke-21," kata dia.
Direktur Program dari Kérber Stiftung Julia Ganter memastikan bahwa organisasinya tidak terafiliasi partai politik manapun dan didirikan oleh kalangan para pengusaha pada era Perang Dingin, dengan tujuan memfasilitasi dialog antar Negara Timur dan Negara Barat.
"Bersama para mitra, kami secara kolektif mau menyorot perhatian bukan hanya terkait relasi Timur-Barat namun juga relasi Utara-Selatan. Dalam situasi geopolitik saat ini, di Eropa termasuk di Jerman, kami perlu mendefinisikan ulang peran kami sebagai aktor internasional dan meneliti kemitraan kami dengan dunia bagian Selatan lebih dalam. Kami perlu lebih inovatif dalam memperkuat kemitraan ini," pungkasnya.