Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Kisah Pasutri Kuningan Kabur dari Jerat Perdagangan Orang di Kamboja

Ilustrasi TPPO (Foto: Istimewa)
Ilustrasi TPPO (Foto: Istimewa)
Intinya sih...
  • Pasutri Kuningan menjadi korban perdagangan orang di Kamboja setelah tergiur tawaran pekerjaan dengan gaji tinggi.
  • Di Kamboja, pasangan ini dipaksa bekerja di bawah ancaman hukuman fisik dan berhasil melarikan diri dengan risiko besar.
  • Dengan bantuan KBRI, mereka berhasil pulang ke Indonesia setelah mengalami kondisi genting di Kamboja.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Kuningan, IDN Times - Harapan memperbaiki ekonomi keluarga justru berubah menjadi mimpi buruk bagi pasangan suami istri asal Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Dimas dan istrinya menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di Kamboja setelah tergiur tawaran pekerjaan dengan gaji tinggi.

Janji penghasilan Rp9 juta per bulan lengkap dengan fasilitas makan dan tempat tinggal membuat keduanya berani mengambil risiko, meski tanpa prosedur resmi.

Saat itu, Dimas tengah mencari pekerjaan di Karawang. Tawaran datang dari seorang teman yang mengaku memiliki koneksi kerja di luar negeri. Tanpa paspor dan tanpa biaya apa pun, Dimas dan istrinya diberangkatkan melalui jalur ilegal.

Rute perjalanan pun berlapis, dimulai dari Batam, kemudian ke Malaysia, hingga akhirnya tiba di Phnom Penh, Kamboja. Sejak awal, semua proses berlangsung tanpa dokumen resmi dan pengawasan negara.

1. Kompleks tertutup dan kerja di bawah ancaman

WNI korban TPPO di Myanmar dipulangkan ke Indonesia. (dok. KP2MI)
WNI korban TPPO di Myanmar dipulangkan ke Indonesia. (dok. KP2MI)

Sesampainya di Bandara Phnom Penh, pasangan ini langsung dijemput oleh pihak yang telah memegang foto serta data pribadi mereka. Dimas menyadari situasi tidak wajar ketika mereka dibawa ke sebuah kompleks tertutup bernama Kasino 168. Area tersebut dijaga ketat, dikelilingi tembok tinggi, kawat listrik, serta kamera pengawas di berbagai sudut.

Alih-alih bekerja sesuai janji, Dimas dan istrinya justru dipaksa menjalani pekerjaan dengan target berat dan tekanan tinggi. Setiap hari mereka bekerja di bawah ancaman hukuman fisik jika gagal mencapai target. Kekerasan menjadi hal yang tak terpisahkan dari keseharian mereka.

"Saya dipukul atasan, istri saya disiksa fisik dan mental, termasuk dipaksa melakukan push up sampai dipaksa minum air cuka sebagai hukuman," kata Dimas, Selasa (30/12/2025).

2. Pelarian penuh risiko demi kebebasan

Menteri Pembedayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga mengunjungi korban TPPO di Rumah SAPA, Lampung (dok. KemenPPPA)
Menteri Pembedayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga mengunjungi korban TPPO di Rumah SAPA, Lampung (dok. KemenPPPA)

Kesempatan untuk melarikan diri datang secara tidak terduga ketika perusahaan mengadakan acara makan bersama di luar kompleks. Dengan keberanian yang tersisa, Dimas dan istrinya berpura-pura meminta izin berganti pakaian. Dari celah itulah mereka kabur, meninggalkan lokasi dengan risiko besar jika tertangkap.

Pelarian dilakukan tanpa persiapan. Mereka sempat bersembunyi di sebuah hotel sebelum berjalan kaki melewati area persawahan untuk menghindari kejaran. Dalam kondisi kelelahan dan penuh ketakutan, Dimas menghubungi seorang teman di Medan yang sebelumnya juga pernah menjadi korban dan berhasil melarikan diri. Melalui bantuan temannya, mereka dipesankan taksi menuju Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Phnom Penh.

Namun, taksi tiba pada malam hari saat kantor KBRI telah tutup. Tanpa tempat berlindung, keduanya terpaksa bermalam di taman depan gedung KBRI dengan kondisi serba terbatas.

3. Kembali ke tanah air dan peringatan Keras

Ilustrasi TPPO. (IDN Times/Mardya Shakti)
Ilustrasi TPPO. (IDN Times/Mardya Shakti)

Dengan sisa uang sekitar 100 dolar AS dari tabungan gaji selama lima bulan, Dimas dan istrinya bertahan hidup di penginapan murah hingga akhirnya mendapatkan pendampingan dari KBRI dan aparat Indonesia. Proses pemulangan pun dilakukan melalui koordinasi lintas negara. Bareskrim Polri akhirnya memulangkan Dimas dan istrinya bersama tujuh WNI lain dari berbagai daerah.

Setibanya di Indonesia, kepulangan mereka disambut haru oleh keluarga. Pada Senin (29/12/2025), Dimas dan istrinya bersama keluarga menemui Bupati Kuningan, Dian Rachmat Yanuar, di ruang kerja bupati. Pertemuan tersebut turut didampingi Ketua Masyarakat Peduli Kuningan (MPK) Yusuf Dandi dan Kepala Disnaketrans Kabupaten Kuningan, Guruh Zulkarnaen.

Diketahui, kabar dua orang warga Kuningan ini terungkap setelah sebuah video sepanjang 2 menit 19 detik beredar di media sosial.

Tampak dalam rekaman itu, DS (25) dan istrinya, NAS (30), duduk di ruangan gelap bersama beberapa orang lain. Suara mereka bergetar, raut wajah tegang, dan permohonan untuk dipulangkan terdengar berulang.

Cuplikan itu menggambarkan kondisi genting yang dialami pasangan muda tersebut di Kamboja, lokasi yang belakangan kerap dikaitkan dengan eksploitasi pekerja migran dalam industri judi online.

Isyarat ancaman semakin nyata ketika Bupati Kuningan, Dian Rachmat Yanuar, menerima panggilan video langsung dari DS. Dari layar ponselnya, Dian menyaksikan luka menganga di lutut korban, bekas jahitan di tubuh, serta penjelasan tentang kekerasan yang mereka alami.

Informasi internal menunjukkan, kata Dian, DS berangkat ke Kamboja berbekal tawaran bekerja sebagai admin kegiatan judi online. Janji upah besar menjadi magnet awal. Namun begitu tiba, realitas berubah drastis.

Jam kerja memanjang tanpa jeda memadai, tekanan psikis diberikan berkali-kali, dan kekerasan fisik muncul ketika DS diduga mencoba kabur.

"Benturan keras batang besi meninggalkan luka pada kepala dan kaki. Sementara NAS mengalami tekanan mental intens, membuat keduanya berada dalam situasi tidak berdaya," ujar Dian.

Share
Topics
Editorial Team
Yogi Pasha
EditorYogi Pasha
Follow Us

Latest News Jawa Barat

See More

[QUIZ] Tahun Baru Tanpa Angkot, Solusi atau Ribet?

30 Des 2025, 12:00 WIBNews