Kasus Timah, Ahli Sebut Kejaksaan Gagal Buktikan Kerugian Rp300 T

Bandung, IDN Times - Dalam kasus dugaan korupsi timah dengan total kerugian negara fantastis sebesar Rp300 triliun, kejaksaan dinilai gagal membuktikan kerugian tersebut hingga akhir persidangan. Setidaknya, hal itu menurut Pakar Hukum Pidana Universitas Mataram, Ufran Trisa.
Ufran menilai, klaim kerugian tersebut sejak awal cenderung tendensius dan diragukan kebenarannya.
"Jaksa kukuh dengan praduganya, tetapi sayangnya praduga ini tidak didukung alat bukti yang membenarkan nilai kerugian negara sebanyak itu," ujar Ufran dalam siaran pers yang diterima IDN Times, Minggu (5/1/2025).
1. Lima korporasi yang dituding merugikan negara

Karena pembuktian kerugian negara tak terpenuhi dari sejumlah terdakwa yang sudah divonis, Kejagung pun menyasar lima korporasi yang diduga berkontribusi pada kerugian negara.
Kelima korporasi itu meliputi PT Refined Bangka Tin (RBT), PT Stanindo Inti Perkasa (SIP), PT Sariwiguna Bina Sentosa (SBS), Tinindo Inter Nusa (TIN), dan CV Venus Inti Perkasa (VIP).
Adapun PT RBT dituduh membuat kerugian negara sekira Rp38,5 triliun, PT SBS sebesar Rp23,6 triliun, PT SIP senilai Rp24,3 triliun, CV VIP sekira Rp42 triliun, dan PT TIN sebesar Rp23,6 triliun.
2. Kerugian ekologis tak bisa jadi argumentasi kerugian keuangan negara?

Lebih jauh, Ufran menyoroti metode penghitungan kerugian negara dalam kasus ini yang didasarkan pada kerugian ekologis, dengan mengacu pada Laporan Hasil Kajian (LHK) Nomor VII Tahun 2014.
Menurutnya, hingga saat ini belum ada argumentasi yang kuat untuk menyatakan bahwa kerugian ekologis termasuk sebagai kerugian keuangan negara.
“Kerugian ekologis lebih merupakan pencemaran atau kerusakan lingkungan, yang tidak bisa langsung ditarik sebagai akibat adanya korupsi," katanya.
3. Metode penghitungan yang menimbulkan pertanyaan

Di sisi lain, lanjut Urfan, penghitungan kerugian negara semestinya menjadi kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diamanatkan oleh konstitusi. Meskipun, setelah Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 31 Tahun 2012 kewenangan ini terdesentralisasi ke berbagai lembaga, termasuk Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
“Hanya saja sering kali hasil audit BPK yang dibentuk berdasarkan konstitusi justru dikesampingkan oleh audit BPKP, yang hanya dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden. Ini sangat janggal secara konstitusional," ujar Ufran.
Ufran menegaskan bahwa dalam banyak kasus, perbedaan versi penghitungan kerugian negara dari kedua lembaga ini menimbulkan ketidakpastian hukum.
Hal ini diperparah dengan upaya penegak hukum menggunakan hasil audit yang dianggap paling sesuai dengan konstruksi kasus yang dibangun, tanpa mempertimbangkan legitimasi lembaga pengaudit.