Buruan SAE Bandung, Dari Kegelisahan Pangan Kota hingga Diakui Dunia

- Program Buruan SAE lahir dari keterbatasan lahan kota dan berkembang menjadi sistem pertanian perkotaan terintegrasi.
- Buruan SAE telah diadopsi secara luas di Kota Bandung, dengan lebih dari 555 kelompok tani menjalankan konsepnya di berbagai kelurahan.
- Konsistensi dan dampak nyata Buruan SAE membawa Kota Bandung meraih pengakuan internasional, menegaskan bahwa solusi berbasis komunitas mampu menjawab tantangan global.
Bandung, IDN Times - Di balik wajah Kota Bandung yang dikenal kreatif dan modern, tersimpan persoalan mendasar yang lama mengintai kota-kota besar. Salah satunya adalah ketergantungan pangan. Lebih dari 96 persen kebutuhan pangan di Kota Bandung dipasok dari luar daerah. Bagi sebagian orang, angka itu mungkin hanya statistik. Namun bagi sosok Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Kota Bandung, Ir. Gin Gin Ginanjar, M.Eng, angka tersebut adalah kegelisahan yang harus dijawab.
Pria kelahiran 9 Desember 1966, dan alumni dari Institut Pertanian Bogor (IPB) yang diselesaikan pada 1993, serta gelar Master of Engineering dari UIM IHE-DELFT Belanda tahun 2000 mulai memikirkan jawaban dari kegelisahan mengenai pangan ini. Pemerintah Kota Bandung sebenarnya sudah merintis salah satu program unggulan untuk memberikan jawaban mengenai ketergantungan pangan tersebut.
Ya, Buruan SAE (Sehat, Alami, Ekonomis), sebuah gerakan pangan perkotaan yang tumbuh dari pekarangan rumah warga. Namun, kini Buruan SAE tekag menjelma menjadi model ketahanan pangan yang diakui hingga tingkat dunia.
1. Lahir dari keterbatasan lahan kota

Program Buruan SAE mulai dirintis Pemerintah Kota Bandung pada akhir dekade 2010-an, ketika isu ketahanan pangan perkotaan semakin mengemuka. Keterbatasan lahan, kepadatan penduduk, serta ketergantungan tinggi terhadap pasokan luar daerah mendorong Pemkot Bandung mencari pendekatan yang tidak konvensional.
Alih-alih membangun sentra pertanian baru yang membutuhkan lahan luas, Pemkot Bandung memilih jalan sebaliknya: mengoptimalkan ruang yang sudah ada yakni pekarangan rumah warga.
“Kami sadar Bandung tidak punya banyak lahan. Tapi hampir setiap rumah punya halaman, sekecil apa pun itu. Dari situlah Buruan SAE dimulai,” ujar Gin Gin Ginanjar.
Dia menjelaskan, pada tahap awal, Buruan SAE dijalankan sebagai gerakan edukatif di tingkat RW. Warga diajak menanam sayur sederhana, mengenal kompos, dan memanfaatkan limbah rumah tangga. Perlahan, pendekatan ini membentuk kesadaran bahwa ketahanan pangan bukan hanya urusan negara, tetapi juga keluarga.
2. Kegelisahan yang berubah menjadi sistem pangan terpadu

Seiring waktu, Buruan SAE berkembang dari aktivitas menanam menjadi sistem pertanian perkotaan terintegrasi. Gin Gin Ginanjar merancang Buruan SAE tidak sekadar sebagai program lingkungan, tetapi sebagai strategi pangan jangka panjang.
“Ketahanan pangan tidak cukup dengan menanam. Harus ada siklusnya, dari produksi, pengolahan, sampai pemanfaatan kembali limbah,” jelasnya.
Dalam konsep Buruan SAE, terdapat delapan aktivitas utama: budidaya tanaman pangan, peternakan dan perikanan skala rumah tangga, pengolahan sampah organik menjadi kompos, hingga pengolahan hasil panen menjadi produk bernilai ekonomi.
Pendekatan ini juga mengubah peran aparatur sipil negara. ASN DKPP tidak hanya menjadi regulator, tetapi pendamping yang turun langsung ke lapangan.
“Kami ingin birokrasi hadir, belajar bersama warga, bukan sekadar memberi instruksi,” kata Gin Gin.
3. Dari pekarangan rumah ke ratusan kelompok tani kota

Hari ini, Buruan SAE telah diadopsi secara luas di Kota Bandung. Tercatat lebih dari 555 kelompok tani menjalankan konsep Buruan SAE di berbagai kelurahan. Ratusan titik pekarangan aktif menjadi sumber pangan keluarga, ruang edukasi, sekaligus penguat solidaritas sosial warga.
Tak sedikit warga yang merasakan manfaat langsung. Selain memenuhi kebutuhan dapur, sebagian hasil panen dijual ke lingkungan sekitar, memberi tambahan penghasilan sekaligus membantu menjaga stabilitas harga pangan lokal.
Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan, menilai Buruan SAE sebagai program strategis bagi kota.
“Buruan SAE bukan hanya soal pangan, tapi soal bagaimana kota bisa lebih tangguh. Warga ikut terlibat, ekonomi bergerak, dan ketahanan pangan diperkuat dari bawah,” ujarnya.
Selain itu, Buruan SAE juga berkontribusi pada pengendalian inflasi, terutama komoditas tertentu yang rawan bergejolak.
4. Dari gerakan lokal hingga pengakuan dunia

Konsistensi dan dampak nyata Buruan SAE membawa Kota Bandung melangkah ke panggung internasional. Pada 2022, Bandung meraih Special Mention Milan Pact Awards kategori Produksi Pangan di Rio de Janeiro, Brasil. Pengakuan ini menegaskan bahwa solusi berbasis komunitas dari kota berkembang mampu menjawab tantangan global.
Prestasi tersebut kembali terulang pada Oktober 2025, ketika Buruan SAE kembali meraih Special Mention untuk kategori Food Waste, berkat inovasi pengelolaan sampah organik berbasis rumah tangga.
“Penghargaan ini bukan tujuan akhir. Yang paling penting adalah perubahan perilaku warga terhadap pangan dan lingkungan,” ujar Gin Gin Ginanjar.
Di tingkat nasional, dedikasinya juga diakui melalui berbagai penghargaan ASN berprestasi. Namun, bagi Gin Gin, keberhasilan Buruan SAE tidak diukur dari piala.
“Keberhasilan sesungguhnya adalah ketika warga bisa memetik sayur dari halaman sendiri dan merasa berdaya,” katanya.
Buruan SAE kini telah melampaui status sebagai program pemerintah. Ia tumbuh menjadi gerakan budaya kota—tentang kemandirian, gotong royong, dan keberanian memulai perubahan dari ruang paling sederhana.
Dari kegelisahan akan rapuhnya pangan kota, Ir. Gin Gin Ginanjar membuktikan bahwa solusi besar tak selalu lahir dari proyek megah. Di Bandung, solusi itu tumbuh pelan-pelan, dari pekarangan rumah, lalu dikenal dunia.


















