Harga Pangan Tak Kunjung Surut, Warga Cirebon Kian Tertekan

- Cabai rawit merah, daging ayam ras segar, dan telur ayam ras mengalami kenaikan harga yang signifikan di Pasar Pasalaran dan Pasar Sumber.
- Beras premium, minyak goreng kemasan, dan gula pasir premium tetap tinggi karena faktor pasokan dan biaya produksi.
- Pemerintah Kabupaten Cirebon terus memantau harga di pasar tradisional namun belum ada intervensi signifikan untuk menekan harga.
- Harga tinggi diprediksi berlanjut hingga Nataru
Cirebon, IDN Times - Harga bahan pangan pokok di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat menjelang akhir tahun masih bertengger di level tinggi dan belum menunjukkan sinyal koreksi.
Pemantauan di Pasar Pasalaran dan Pasar Sumber pada Senin (15/12/2025) memperlihatkan kenaikan paling tajam terjadi pada cabai rawit merah, daging ayam ras segar, serta telur ayam ras yang menjadi kebutuhan harian rumah tangga.
Di Pasar Pasalaran, cabai rawit merah menembus Rp95.000 per kilogram, naik cukup drastis dari posisi Rp80.000 sepekan sebelumnya. Pedagang, Sumiati mengungkapkan konsumen tetap membeli meski dengan porsi lebih kecil.
“Permintaan masih ada, tapi banyak yang mengurangi takaran. Harga segini memberatkan,” katanya, Senin (15/12/2025).
Kenaikan serupa juga melanda daging ayam ras segar. Harga yang sebelumnya berkisar Rp34.000 kini merangkak naik menjadi Rp37.500 per kilogram.
Pedagang daging ayam di Pasar Sumber, Agus menyebut pasokan melemah di tengah permintaan yang terus stabil. “Pengiriman dari peternak tidak sebanyak biasanya, jadi harga ikut terdorong,” ujarnya.
Sementara itu, telur ayam ras merangkak dari Rp26.000 menjadi Rp30.750 per kilogram. Para pedagang menilai biaya pakan yang tinggi membuat harga telur sulit turun.
1. Komoditas lain masih stabil di level tinggi

Selain tiga komoditas tersebut, sejumlah kebutuhan pokok lain tidak mengalami penurunan meski tidak bergerak naik. Harga beras premium tetap di Rp16.000 per kilogram, minyak goreng kemasan di Rp22.000 per liter, dan gula pasir premium bertahan di Rp19.000 per liter.
Para pedagang menyebut kondisi ini sebagai “stagnansi pada level tinggi”. Faktor pasokan yang belum normal dan biaya produksi yang naik membuat harga-harga tak memiliki ruang untuk turun.
"Beras dan minyak memang tidak naik, tapi belum ada tanda turun juga. Kami hanya mengikuti pasokan,” kata seorang pedagang.
2. Pemerintah daerah fokus pemantauan, solusi belum terlihat

Kepala Bidang Perdagangan, Pengendalian Bahan Pokok dan Penting (Dagdalbapokting) Disperindag Kabupaten Cirebon, Feni Sigiarsih, menegaskan pemerintah terus melakukan monitoring harga di pasar tradisional.
Menurutnya, koordinasi dengan distributor, petani, dan pelaku pasar menjadi langkah awal untuk mengendalikan fluktuasi harga.
“Pasar tradisional adalah termometer harga paling akurat. Dari sana kami mengambil langkah stabilisasi,” ujar Feni.
Namun, hingga kini belum ada intervensi signifikan yang langsung menekan harga di tingkat konsumen. Warga mengaku terbiasa menghadapi kenaikan harga menjelang akhir tahun, tetapi tahun ini lonjakannya terasa lebih berat karena daya beli tidak tumbuh seiring situasi ekonomi yang masih tertahan.
3. Harga tinggi diprediksi berlanjut hingga Nataru

Feni menilai, kenaikan ini dipicu kombinasi faktor cuaca, tingginya biaya distribusi, dan tekanan biaya produksi dari hulu. Mereka memperkirakan harga pangan di Kabupaten Cirebon akan tetap berada di zona mahal hingga memasuki musim belanja Natal dan Tahun Baru (Nataru).
Kondisi tersebut membuat masyarakat disarankan untuk mengatur ulang pola belanja, sementara pemerintah diminta mempercepat langkah konkret untuk memperbaiki rantai pasok.
“Jika stabilisasi pasokan tidak cepat dilakukan, tekanan harga bisa makin besar dan memperlemah daya beli,” kata Feni.


















