Profesor Deakin University Sebut AI Bisa Jadi Alat Bantu di Industri Film

- AI dan VR bisa digunakan sebagai alat bantu di industri film
- Teknologi AI sudah banyak digunakan dalam industri film, meskipun masih perlu sentuhan manusia
- Penggunaan teknologi VR dan AI harus tetap melibatkan seniman untuk intuisi yang tidak dimiliki oleh teknologi
Bandung, IDN Times - Arus perkembangan teknologi artificial intelligence (AI) dalam kehidupan masyarakat saat ini sudah mulai berdampingan. Teknologi ini juga sudah semakin banyak digunakan masyarakat baik dalam kegiatan sehari-hari dan pada profesi tertentu.
Perkembangan AI ini juga sudah mulai masuk dalam industri film di mana mulai banyak para kreator dan cineas memproduksi layar lebar dengan bantuan dari teknologi yang terbilang masih baru ini.
Profesor Deakin University, Victoria Duckett menjelaskan, VR dan AI saat ini bisa digunakan dalam film secara umum, namun sifatnya hanya alat bantu untuk eksplorasi storytelling dan beberapa kebutuhan lainnya.
VR dan AI juga bisa menjadi alat oleh seniman dan industri film untuk membuat hal baru yang sebelumnya belum pernah dibuat. Hal ini kata Victoria sudah dibuktikan oleh beberapa seniman di Australia.
"Misalnya seperti di Australia, sejarah masyarakat adat yang sudah ada sejak 60 ribu tahun lalu, bisa disampaikan ke publik dengan cara yang baru dan menarik," ujar Victoria, saat ditemui di Bandung, Rabu (11/6/2025).
1. VR dan AI harusnya dijadikan sebagai alat bantu saja

Menurutnya, baik VR dan AI merupakan metode baru yang bisa digunakan dalam industri film, dan terbukti bisa menghasilkan karya-karya yang bagus dengan bantuan teknologi tersebut. Bahkan, ada beberapa film yang populer kini sudah ada sentuhan AI.
"Yang sering disebut-sebut itu The Mandalorian, tapi ya itu karena memang banyak yang menonton saja sih dan itu juga sudah ada beberapa tahun lalu," ucapnya.
Dia juga sempat melihat beberapa ulasan dari film Where the Robots Grow, sebuah film yang sepenuhnya dibuat oleh AI, dan benar-benar sepenuhnya dari AI. Namun banyak komentar yang belum puas terhadap film tersebut. Oleh karena itu teknologi ini memang harusnya hanya dijadikan alat bantu.
"Saat ini teknologi seperti virtual production banyak digunakan di film, tapi lebih sebagai alat bantu. Bahkan dalam iklan pun, meskipun bukan film, tetap sebuah cerita, dan kita menggunakan teknologi-teknologi itu untuk menyajikan produk atau cerita secara visual. Dan hasilnya bagus, menurut saya," ujarnya.
2. Masih harus belajar bagaimana menggabungkan teknologi AI

Meski begitu, bukan berarti produksi filmnya sepenuhnya dibuat dengan teknologi AI. Menurutnya, teknologi ini lebih berfungsi untuk melengkapi film dan membantu film. Dia juga belum menemukan contoh film yang sepenuhnya dibuat dengan virtual production atau sepenuhnya dengan AI yang hasilnya benar-benar bagus.
"Saya rasa kita masih harus belajar bagaimana mencampur teknologi ini. Ini untuk generasi berikutnya. Ini momentum baru apa yang akan kita lakukan dengan teknologi ini selanjutnya?" katanya.
Mengenai pemanfaatan teknologi AI dalam industri film di Indonesia yang masih menghadapi pro dan kontra, Victoria berpendapat, memang seharusnya AI ini digunakan alat bantu saja, karena masih tetap dibutuhkan tenaga manusia secara langsung.
"Menurut saya, kita masih sangat membutuhkan keterlibatan manusia. Jadi saya tidak merasa ada urgensi besar untuk khawatir sekarang, meski saya bukan seorang aktor yang khawatir suara mereka dicuri, dan saya juga tidak khawatir tentang performa fisik yang tergantikan," tuturnya.
3. Deakin Motion Lab terus kembangkan VR dan AI dalam industri film

Sebagai Director of Deakin Motion Lab di Deakin University, Victoria mengatakan, bahwa ia sudah membuat motion capture, di mana bisa mengatur gerakan karakter di layar oleh manusia secara langsung. Namun, pengembangan itu belum sampai pada tahap di mana tidak memerlukan sentuhan manusia.
"Kami sudah membangun sistem di mana kita bisa menangkap gerakan tubuh manusia lalu memasukkannya ke Unreal Engine sebagai avatar manusia. Tapi, ya, itu jadi unik, kan? Ada manusia yang menggerakkan avatar yang dihasilkan AI, saya rasa itu menarik," katanya.
Lebih lanjut, Victoria menerangkan, saat ini banyak pembuat film yang menggunakan AI untuk membantu menciptakan latar, atau membantu dalam menulis dialog. Hanya saja, AI bukan satu-satunya alat yang sepenuhnya diandalkan.
"Mereka tetap menggunakan intuisi dan perhatian kritis mereka. Tapi saya juga penasaran, 20 tahun dari sekarang, apakah orang-orang sudah tidak sadar lagi mereka sedang menggunakan AI?" tuturnya.
Dengan demikian, Victoria memastikan, teknologi VR dan AI saat ini bisa digunakan oleh para creator dan cineas sebagai alat bantu saja. Sementara, keterlibatan dari seniman haris tetap ada karena membutuhkan intuisi yang tidak dimiliki oleh teknologi baru itu.
"Saat ini kami sedang dalam proses mengajak Stella, seorang seniman body performance, untuk bekerja bersama kami. Jadi intinya kami ingin para seniman tetap punya akses ke teknologi ini," tuturnya.