Alasan di Balik Gejolak Remaja Sukabumi di Tengah Pusaran Demonstrasi

- Remaja Sukabumi rentan terbawa arus demo karena fase pencarian identitasMenurut Ibnu, anak usia sekolah berada pada fase pembentukan identitas diri. Mereka mudah terpengaruh oleh narasi emosional di media sosial dan lingkungan sekitar.
- Media sosial jadi pendorong utama remaja ikut aksiVideo singkat, poster ajakan, hingga unggahan teman sebaya yang viral bisa memicu rasa ingin tahu sekaligus fear of missing out alias FOMO.
- Antara belajar politik atau sekadar mobilisasi massaAnak-anak belajar tentang ruang ekspresi politik hingga bahasa politik, meski belum tentu kesadaran politik itu muncul pada tataran berpik
Kota Sukabumi, IDN Times - Aksi demonstrasi yang melibatkan pelajar beberapa waktu terakhir di Sukabumi kembali memantik perbincangan publik. Gerombolan remaja terlihat turun ke jalan, ikut berbaur dengan massa aksi. Bahkan tidak sedikit di antara mereka ditangkap polisi karena terlibat penggunaan narkotika.
Fenomena ini menimbulkan pro dan kontra, terutama soal pantas atau tidaknya anak usia sekolah ikut dalam ruang politik jalanan. Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muhammadiyah Sukabumi (UMMI), Ibnu Hurri, menilai fenomena ini wajar terjadi dari sudut pandang psikologis, namun menyimpan risiko besar bagi perkembangan anak.
1. Remaja Sukabumi rentan terbawa arus demo karena fase pencarian identitas

Menurut Ibnu, anak usia sekolah berada pada fase pembentukan identitas diri. Dalam situasi penuh sorakan, spanduk, dan simbol perjuangan, mereka bisa jadi memandang aksi jalanan merupakan ajang pembuktian keberanian.
"Anak usia sekolah secara psikologi-emosional sedang berada pada fase pembentukan identitas diri (pencarian jati diri). Mereka notabene memiliki rasa ingin tahu yang besar, semangat yang meluap, dan dorongan kuat untuk diakui keberadaannya (pengakuan dari komunitas/kelompok)," kata Ibnu kepada IDN Times, Kamis (4/9/2025).
Kerentanan ini semakin besar ketika mereka tidak mampu memilah informasi, sehingga mudah terpengaruh oleh narasi emosional yang beredar di media sosial maupun lingkungan sekitar.
2. Media sosial jadi pendorong utama remaja ikut aksi

Ibnu menjelaskan, media sosial memainkan peran signifikan dalam mendorong keterlibatan pelajar di Sukabumi dalam demo. Video singkat, poster ajakan, hingga unggahan teman sebaya yang viral bisa memicu rasa ingin tahu sekaligus fear of missing out alias FOMO.
"Anak-anak ini mungkin saja belum sepenuhnya memahami latar belakang isu yg sedang ramai bergulir, tetapi visualisasi keramaian, semangat kebersamaan, dan bahasa ajakan yg sederhana membuat mereka merasa dekat dan merasa menjadi bagian dari perjuangan tersebut," katanya.
Hal ini, menurut Ibnu, semakin memastikan bahwa media sosial bukan sekadar sarana hiburan, tetapi juga mesin mobilisasi massa yang efektif.
3. Antara belajar politik atau sekadar mobilisasi massa

Fenomena pelajar ikut demo tidak hanya terjadi di Sukabumi saja, tapi juga di beberapa daerah lainnya. Hal ini kerap dianggap sebagai bentuk kesadaran politik dini, meski Ibnu menilai hal itu terlalu berlebihan.
"Kalau kita mau jujur, anak usia sekolah belum tentu memahami secara utuh substansi politik dari isu yang sedang diperdebatkan. Mereka tidak membaca naskah Undang-undang, tidak menimbang implikasi kebijakan, dan tidak mengurai argumentasi akademik dibalik protes. Yang mereka tangkap biasanya hanyalah simbol keramaian di jalan, poster yang provokatif, atau jargon yang terdengar heroik," kata dia.
Ibnu menegaskan, justru di danalah risiko eksploitasi anak terlihat. "Energi polos anak dijadikan legitimasi massa, sementara kepentingan sesungguhnya tetap dimainkan orang dewasa," ujarnya.
Meski demikian, dalam aksi demonstrasi, anak-anak belajar tentang ruang ekspresi politik hingga bahasa politik. "Mereka belajar bahwa ada ketidakadilan, ada aspirasi yang ingin didengar, ada kelompok yang sedang melawan sesuatu. Itu benih politik, meski belum tentu kesadaran politik itu muncul pada tataran berpikir anak usia sekolah," ungkapnya.
4. Lingkungan sosial dan ajakan senior jadi pemicu

Fenomena di Sukabumi juga menunjukkan kuatnya peran teman sebaya dan senior dalam mengajak pelajar turun ke jalan. Menurut Ibnu, solidaritas di kalangan remaja jauh lebih dominan ketimbang rasionalitas.
"Mereka ikut karena temannya ikut, atau karena ajakan alumni dan senior. Ajakan itu sering dianggap sebagai perhatian, padahal sebenarnya bentuk mobilisasi," ujarnya.
Bagi remaja, ikut aksi lebih mirip 'ritual keberanian' ketimbang bentuk partisipasi politik yang sehat. Ikut aksi di jalan tentu membawa dampak baik psikologis maupun emosional. Ibnu mengingatkan, aksi jalanan berpotensi menimbulkan trauma atau justru menormalisasi kekerasan.
"Kalau terlalu sering ikut aksi, konsentrasi belajar bisa terganggu. Mereka kehilangan kesempatan belajar bahwa keberanian bisa ditunjukkan lewat ruang diskusi, lomba debat, atau karya kreatif," tuturnya.
Ibnu menekankan, fenomena ini harus menjadi refleksi bersama. Anak-anak usia pelajar masih perlu pendampingan orangtua, dewasa hingga tokoh masyarakat untuk menyalurkan aspirasi mereka dengan cara yang damai, terpelajar dan efektif.
"Alih-alih membiarkan pelajar turun ke jalan, lebih baik energi mereka diarahkan ke forum yang lebih aman, sehat, dan mendidik. Sekolah, keluarga, dan masyarakat punya tanggung jawab moral untuk menyediakan ruang itu," katanya.