Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

KPU Ungkap Berbagai Faktor Menurunnya Partisipasi Pilkada Jabar

(IDN Times/Azzis Zulkhairil)

Bandung, IDN Times - Tingkat partisipasi masyarakat dalam gelaran Pilkada serentak 2024 di Jawa Barat (Jabar) menurun, tidak mencapai target yang susah ditetapkan sebelumnya. Komisi Pemilihan Umum (KPU) turut membeberkan beberapa faktor penyebab penurunan tersebut.

Diketahui berdasarkan data KPU Jabar, partisipasi pemilih pada tahun ini angkanya berada di 65,97 persen. Sedangkan target yang dicanangkan di kisaran 76 persen, atau naik 2 persen dibandingkan pada penyelenggaraan Pemilu sebelumnya.

Sementara, daftar Pemilih Tetap (DPT) pemilih Jabar mencapai 35,92 juta, jumlah seluruh suara sah dalam pilkada kali ini mencapai 22.710.733. Jumlah suara tidak sah 993.052. Sehingga total jumlah suara sah dan suara tidak sah 23.703.785.

1. Ada kejenuhan politik di masyarakat

(IDN Times/Azzis Zulkhairil)

Ketua KPU Provinsi Jabar, Ahmad Nur Hidayat mengatakan, penurunan ini disebabkan oleh berbagai faktor yang saat ini masih dilakukan kajian komprehensif. Adapun rendahnya partisipasi masyarakat ini tidak hanya di tingkat provinsi, kabupaten dan kota pun kondisinya demikian.

"Yang terjadi tidak hanya di Jawa Barat, tetapi yang terjadi misalnya di kabupaten, kota yang lain, dan di luar Provinsi Jawa Barat pun juga sama. Ada yang turun, kemudian ada juga yang naik," ujar Ahmad saat dikonfirmasi, Jumat (13/12/2024).

Meski begitu, ia mengungkapkan, secara umum ada beberapa penyebab yang membuat tingkat partisipasi Pilkada di Jabar rendah. Salah satunya soal adanya kejenuhan masyarakat dalam memilih kepala daerah.

"Di daerah-daerah, itu kan masyarakat ini mengalami kejenuhan politik karena pasca pemilihan presiden dan wakil presiden, bersamaan dengan pemilihan legislatif untuk DPR RI, DPRD Provinsi, kabupaten, kota hingga DPD RI," jelasnya.

2. Masa kampanye pendek

(IDN Times/Azzis Zulkhairil)

Setelah Pilpres dan Pileg yang dilakukan secara bersamaan, kemudian masyarakat disuguhkan kembali untuk memilih pasangan kepala daerah baik tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten dan kota. Apalagi tidak adanya keselarasan para partai pengusung dari tingkat provinsi hingga daerah.

Faktor lainnya yaitu masa kampanye yang tergolong pendek. Menurutnya, dengan waktu kampanye yang diberikan hanya dua bulan untuk pasangan calon baik di provinsi dan kabupaten kota membuat tidak mampu mengajak para pemilih untuk menyalurkan hak suaranya.

"Kampanye ini kan waktu durasi waktu untuk kampanye itu kan sangat pendek hanya dua bulan. Sehingga menurut hemat saya bisa jadi ya seorang kandidat itu dia tidak memiliki cukup waktu untuk mengajak pemilih, kemudian memastikan pemilih itu bisa mendapatkan pilihan politiknya," katanya.

Sementara, mengenai sosok figur dalam Pilkada ini juga turut mempengaruhi tingkat partisipasi, secara umum, dikatakan Ahamad elektabilitas dan popularitas dari pasangan calon ini bisa lebih maksimal jika ada penambahan waktu dalam masa kampanye.

"Popularitas seorang kandidat tidak bisa kita hitung. Misalnya paslon 1, paslon 2, paslon 3, paslon 4, dan seterusnya. Nah, karena dengan situasi yang popularitas yang cukup rendah, maka elektabilitas pun juga pasti akan sama rendahnya," ujarnya.

"Makanya ini yang paslon-paslon ini kan mesti cukup ruang untuk bisa membuka diri kan gitu. Pasca Pilpres dan Pileg ini kan belum ada jeda waktu istirahat ya. Karena modelnya serentak di tahun yang sama 2024 hanya beda beberapa bulan sehingga konsolidasi dari setiap misalnya anggaplah partai politik itu tidak cukup optimal menurut saya," lanjut Ahmad.

3. Gelaran Pilkada harus diberikan jeda dari Pilpres

(IDN Times/Azzis Zulkhairil)

Sementara, Pengamat Politik dari Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung, Firman Manan juga memiliki pandangan yang sama dengan Ahmad. Menurutnya, pelaksanaan Pilpres dan Pileg terlalu mepet dengan pelaksanaan pemilihan kepala daerah, baik itu Pilwalkot, Pilbup dan Pilgub.

"Ada beberapa faktor, karena perhatian publik termasuk media, parpol politik, pemilih itu kan pada Pilpres, isu-isu terkait pilkada agak tertinggal, jadi tidak menarik perhatian publik," ujar Firman.

Kemudian, Firman juga sependapat bahwa ada kejenuhan politik dari para pemilih dalam perhelatan Pilkada serentak yang digelar 27 November 2024, kemarin. Belum lagi sosok kandidat yang dirasakan masyarakat tidak menarik.

"Ketiga bisa saja justru terkait dengan kandidatnya yang tidak memenuhi ekspektasi publik, atau kemudian tidak kompetitif, seperti Jawa Barat," katanya.

4. Pilkada serentak membuat mesin partai tak bekerja maksimal

Ilustrasi Pilkada 2024. (IDN Times/Aditya Pratama)

Dengan kondisi ini, Firman memberinya beberapa catatan terhadap penyelenggara pemilu. Menurutnya, Pilkada serentak harus dievaluasi dan diberikan jeda waktu antara Pilpres, Pileg. Artinya jangan digelar di tahun yang sama.

"Kalau saya berpikir harus ada jarak yang relatif tidak seperti sekarang cuma 9 bulan. Misal ada jeda setahun atau dua tahun, karena itu penting untuk mengkondisikan pemilih," ucapnya.

"Termasuk juga yang kedua justru partai politiknya bisa punya waktu cukup menyiapkan kandidat untuk maju dalam pilkada. Kalau sekarang habis-habisan di pileg langsung masuk ke pilkada," jelasnya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Yogi Pasha
Azzis Zulkhairil
Yogi Pasha
EditorYogi Pasha
Follow Us