Mau Jadi Bupati Bandung Harus Siap Rp10 Miliar

Mahalnya politik membuat seorang pejabat cenderung korupsi

Bandung, IDN Times – Mantan Wakil Bupati Kabupaten Bandung (2010-2015) Deden Rukman Rumaji blak-blakkan bahwa ia akan maju dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2020 mendatang. Ia berniat mencalonkan diri sebagai Bupati Bandung periode 2020-2025.

Masalahnya, mengambil atensi masyarakat Kabupaten Bandung tidaklah mudah. Daerah dengan segudang tempat pariwisata ini memiliki penduduk sebanyak 3,6 juta, hanya beda 1 juta penduduk ketimbang negara tetangga Singapura yang berpenduduk 4,6 juta jiwa.

“Jadi kalau saya berhasil, ini (elektabilitas) saya nyaris setingkat Perdana Menteri Singapura,” kata Deden, saat menjadi pembicara di diskusi KPK Panen Koruptor di Jabar yang digelar oleh Pusaka RMOL Jabar di Kedai Kongres, Kota Bandung, Senin (28/10) malam.

1. Ongkos mencapai Rp10 miliar

Mau Jadi Bupati Bandung Harus Siap Rp10 MiliarIDN Times/Galih Persiana

Untuk menjadi kepala daerah pascareformasi, kata Deden, memerlukan ongkos yang mahal. “Jujur, cost politik bisa mencapai Rp10 miliar, dan itu harus ada,” ujarnya, seperti perhitungan kasar sejumlah akademisi di Kota Bandung.

Fulus sebesar itu mesti dimiliki calon bupati untuk membiayai banyak hal, di antaranya membayar tim sukses dan administrasi seleksi.

Bagi Deden, Rp10 miliar bukanlah jumlah sedikit. Ia mengaku bisa saja menjual beberapa asetnya untuk mengongkosi niat menjadi kepala daerah. Tapi, Deden yakin jika hasil menjual aset tetap tak akan mampu menutupi kebutuhan Rp10 miliar.

“Bisa saja (saya) jual tanah dan lain-lain, tapi itu tetap enggak sampai Rp10 miliar,” tutur dia.

2. Komit tak akan serangan fajar

Mau Jadi Bupati Bandung Harus Siap Rp10 Miliarhttp://www.bandungkab.go.id

Berkaca pada pemilihan umum presiden dan legislatif beberapa bulan lalu, serangan fajar (istilah bagi-bagi duit untuk mencoblos seorang calon pejabat) masih marak terjadi di masyarakat. Hal tersebut dianggap cukup efektif menggiring suara masyarakat untuk memilih salah seorang calon pejabatnya.

Segalanya memang harus pakai uang, kata Deden, tapi dalam dunia politik uang bukanlah segalanya. Ia yakin bahwa tidak semua warga Kabupaten Bandung yang mau memilih calon kepala daerahnya hanya karena diberi duit.

Jika niatnya mencalonkan diri sebagai kepala daerah tercapai, Deden komit untuk tidak melakukan serangan fajar. Menurut Deden, cara itu hanya akan menambah beban uang yang harus ia kantongi.

“Bayangkan saya punya 31 kecamatan, itu bukan jumlah yang sedikit. Saya rasa pilkada tidak aka nada money politic, apalagi saya bukan petahana,” katanya.

3. Pengalaman Pilkada 2010

Mau Jadi Bupati Bandung Harus Siap Rp10 Miliarhttps://www.bandungkab.go.id/

Deden punya pengalaman menarik ketika ia memenangi kontestasi Pilkada pada 2010. Deden, yang menjadi wakil dari Bupati Bandung Dadang M. Nasser, ketika itu harus mendatangi sebuah desa untuk berkampanye. Masalahnya, ia tak punya uang yang cukup untuk menggelar kampanye di sana.

Ketika tengah melamum memikirkan kampanye itu, tiba-tiba datang seorang rekannya yang memberi jalan keluar. “Saya ngahuleung (melamun). Datang seseorang bertanya, saya jawab ‘keur pusing ieu’ (sedang pusing). Kemudian terjawab sudah semuanya, saya mengalami itu,” tutur Deden.

Dari kisah tersebut, Deden berpendapat bahwa seorang calon kepala daerah jangan patah semangat sekali pun tak punya ongkos politik yang besar.

4. Ongkos mahal sering bikin kepala daerah terpeleset korupsi

Mau Jadi Bupati Bandung Harus Siap Rp10 Miliar(Ilustrasi korupsi) IDN Times/Sukma Shakti

Menurut anggota DPRD Provinsi Jawa Barat dari fraksi Golkar, Yod Mintaraga, sistem yang membuat ongkos pilkada mahal menyebabkan kepala daerah sering terpeleset khilaf melakukan korupsi.

“Karena ternyata di era reformasi ini Pilkada tidak mudah dan murah. Dalam kata lain, sistem Pilkada saat ini sangat mahal,” tutur Yod, di tempat yang sama. Ongkos politik yang mahal untuk menjadi kepala daerah, bagi Yod, membuat seorang kepala daerah menempuh segala cara untuk membayar duit yang telah ia keluarkan jika berhasil memenangi kontestasi politik.

Bagi Deden, negara perlu membantu orang-orang yang memang berniat menjadi kepala daerah utamanya dalam sisi keuangan. Itu dapat menjadi solusi dari calon kepala daerah yang terpaksa pinjam duit sana-sini untuk dapat bersaing dalam pilkada. Atau, jika tidak, kursi kepala daerah hanya menjadi hak orang-orang berduit saja.

“Solusinya adalah kembalikan ke undang-undang lama (di mana kepala daerah dipilih oleh legislatif), atau biaya pilkada ditanggung negara,” kata Deden.

Baca Juga: Mengapa Kepala Daerah di Jawa Barat Paling Doyan Korupsi?

Baca Juga: Pejabat Jabar Rawan Korupsi, APBD untuk Parpol Dinilai Terlalu Kecil

Topik:

  • Yogi Pasha

Berita Terkini Lainnya