Sebelum Bisa Ekspor, UKM Harus Hadapi Banyak Tantangan

Mulai dari urusan logistik sampai kualitas produk

Bandung, IDN Times - Usaha Kecil dan Menengah (UKM) menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia. Masalahnya, kontribusi UKM terhadap ekspor nasional masih sangat minim. Berbagai faktor menjadi biang keladi sulitnya UKM Tanah Air menembus pasar dunia.

Staf Ahli Menteri Koperasi dan UKM bidang Produktivitas dan Daya Saing, Yulius, membeberkan faktor-faktor tersebut. Menurutnya, tantangan bagi UKM di Indonesia harus dihadapi dengan serius dan bersama-sama.

Apalagi sumbangsih sektor UKM secara nasional terhadap produk domestik bruto (PDB) begitu besar. Apa saja tantangan-tantangan itu?

1. Rendahnya Logistics Performance Index (LPI) Indonesia

Sebelum Bisa Ekspor, UKM Harus Hadapi Banyak Tantanganilustrasi anggaran ekonomi (IDN Times)

Tantangan pertama yaitu persoalan Logistics Performance Index (LPI) Indonesia tergolong rendah, yaitu senilai 3,15. Sementara LPI negara lain seperti Jerman (4,2), Swedia (4,05), Belgia (4,04), Singapura (4,0), dan Jepang (4,03).

Namun, jika dibandingkan dengan lower-middle income group seperti India, atau emerging economies seperti Vietnam dan Cote d’Ivoire, LPI Indonesia tidak tertinggal terlalu jauh.

"Hal ini mengindikasikan bahwa Indonesia memiliki potensi untuk bisa memperbaiki indeks tersebut," kata Yulius dalam acara BanggaUKM Indonesia dengan tema Win Local, Go Global, Selasa (28/6/2022).

2. Biaya logistik di Indonesia terbilang mahal

Sebelum Bisa Ekspor, UKM Harus Hadapi Banyak TantanganKajian Pustaka

Di sisi lain, biaya logistik yang tinggi di Indonesia yaitu mencapai 24 persen dari PDB nasional menjadi tantangan berikutnya. Menurut Yulius, biaya logistik di negara lain seperti Malaysia hanya 13 persen, India 14 persen, China 14 persen dan Vietnam 20 persen.

Padahal, logistik menjadi salah satu tulang punggung dari perdagangan lintas negara. Dia menegaskan, manajemen logistik yang bagus mampu mengurangi trade cost dan membantu negara bersaing di kancah global.

Lalu, ada pula proses border compliance di Indonesia yang membutuhkan waktu 56 jam, sedangkan pada proses documentary compliance membutuhkan waktu 61 jam. Berbeda dengan China yang hanya membutuhkan waktu kurang dari 24 jam.

3. Banyak terpaan bagi UKM gara-gara pandemi

Sebelum Bisa Ekspor, UKM Harus Hadapi Banyak TantanganSulitnya menjadi UKM di Indonesia di acara Win Local, Go Global (IDN Times/Istimewa)

Tantangan UKM untuk mendunia selanjutnya adalah pandemi COVID-19. Masa pandemi mengakibatkan kelangkaan yang menyebabkan tingginya biaya ekspor.

Ketika diterpa pandemi, harga sewa rata-rata naik 152 persen. Tujuan Asia naik 110 persen, Eropa 199 persen, Amerika 126 persen, Australia 155 persen, dan Afrika 173 persen.

Adapun tantangan krusial yang menjadi hambatan UKM Indonesia mendunia adalah urusan pembiayaan. Kata Yulius, banyak UKM-UKM di Indonesia justru tidak sanggup mengekspor ketika permintaannya banyak, karena kesulitan pendanaan.

"Kita tahu bahwa sumber pendanaan dari perbankan itu hanya 20 persen untuk UMKM. Bank belum bisa memberikan lebih daripada itu," kata dia.

Atas permasalahan pembiayaan tersebut, pemerintah telah mendorong perbankan untuk memberikan pendanaan bagi UKM hingga 30 persen dari total pinjamannya pada 2025.

Hal itu diprediksi akan berdampak positif bagi Indonesia. Perbandingannya, dengan 20 persen pinjaman perbankan, sektor UKM bisa menyediakan 97 persen tenaga kerja. Sementara itu, 80 persen pinjaman kepada pengusaha besar hanya bisa menciptakan tenaga kerja sebesar 3 persen.

4. Belajar dari local brand fashion

Sebelum Bisa Ekspor, UKM Harus Hadapi Banyak TantanganIlustrasi kerja sama (pexels.com/cottonbro)

Berikutnya adalah masalah kualitas barang, di mana produk UKM yang ingin dikirim ke luar negeri harus sudah sertifikasi uji layak. Masalahnya, proses sertifikasi produk lagi-lagi terkendala masalah biaya.

"Ini kira-kira yang membuat kita selalu kalah bersaing dengan negara lainnya. Karena dalam ekspor itu yang paling utama adalah kualitas, kuantitas, dan ketersediaan," ujar Yulius.

Kebanyakan UKM bergantung kepada pemerintah dan lonjakan perbankan. Namun, tidak dengan Revolt Industry. CEO Revolt Industry, Stephen Firmawan Panghegar mengatakan, sejak berdiri pada tahun 2014, Revolt Industry sangat independen atau mandiri. Modal awalnya saja hanya Rp7 jutaan.

"Revolt Industry adalah sebuah merek lokal independen yang bergerak di bidang fesyen dan gaya hidup dengan produk fesyen berbahan kulit lokal dengan produksi secara handmade. Saat ini, total omzet kami per bulannya mencapai Rp400 juta, sumbangan ekspor masih sangat kecil yaitu Rp40 jutaan," tutur Stephen.

Ia memulai usahanya dari garasi yang dibalut oleh mimpi dan keresahan. Sudah banyak lika-liku yang berhasil dihadapi karena buah hasil kerja keras jajaran brand.

"Dari garasi, di tahun pertama kebakaran, kemalingan, kebanjiran, dan pandemi. Tapi kita berdiri lagi," kata Stephen.

Pada intinya, Revolt Industry sangat independen secara brand. Artinya, orang di balik Revolt Industry melakukan usahanya sendiri mulai dari pemilihan bahan produk, sampai pada tahap penjualan.

Baca Juga: Cartenz: Local Brand yang Disukai Jenderal TNI Dudung

Baca Juga: Kreatif! Local Brand Ini Bikin Cara Seru Memahami Love Language

Baca Juga: Influencer Ini Bagi-bagi Produk Local Brand Tiap Pengumuman PPKM

Topik:

  • Galih Persiana

Berita Terkini Lainnya