Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

8 Alasan Kenapa Ceritamu Terasa Membosankan, Yuk Cari Tahu!

ilustrasi menulis cerita (unsplash.com/Thought Catalog)

Sudah capai menyelesaikan cerita, eh, dapat komentar negatif dari pembaca karena ceritanya dibilang membosankan. Sayangnya si pembaca juga tidak memberi petunjuk, apa yang membuat mereka merasa demikian. Kamu sebagai penulis pun tidak tahu di mana letak masalahnya.

Tenang, jangan panik dulu! Ada beberapa kemungkinan kenapa cerita kamu terasa membosankan. Nah, artikel ini bakal cocok banget buat menjawab kebingunganmu itu! Yuk lanjut baca sampai selesai dan temukan akar masalahmu!

1. Karakter tanpa tujuan

ilustrasi seorang penulis yang frustrasi (unsplash.com/JESHOOTS.COM)

Menciptakan karakter tanpa tujuan adalah cara tercepat untuk membuat karakter ciptaanmu kehilangan dukungan pembaca. Jika pembaca saja sudah tidak peduli dengan karaktermu, bagaimana mungkin mereka bersedia menghabiskan waktu untuk membaca keseluruhan ceritamu? Karena itu, bahkan jika awalnya karaktermu terlihat tidak punya tujuan, maka segera ciptakan situasi yang membuat karaktermu terpaksa bergerak dan memperjuangkan sesuatu.

Hindari menggunakan hal-hal abstrak seperti kebahagiaan sebagai tujuan. Tujuan dalam cerita kamu harus sesuatu yang konkret dan cukup sulit untuk diwujudkan. Tujuan juga tidak harus sesuatu yang luar biasa. Bisa saja tujuannya sesederhana keluar dari rumah, tetapi bagi karakter seperti Bella Brown dalam Beautiful Fantastic (2016) yang menderita agorafobia, kegiatan remeh itu jadi hal yang sulit. Poin pentingnya adalah membuat pembaca paham kesulitan yang perlu dihadapi protagonis dan bagaimana perjuangan mereka untuk menaklukkannya.

Jessica Brody dalam Save The Cat! Writes a Novel juga menegaskan hal lain yang perlu diingat bahwa tujuan protagonis bisa berubah atau bertambah seiring dengan perkembangan cerita. Tidak semua protagonis juga harus mendapatkan keinginan mereka. Terkadang mereka justru mendapatkan sesuatu yang sebenarnya lebih mereka butuhkan.

2. Tidak ada yang dipertaruhkan

ilustrasi merancang pertaruhan karakter (pixabay.com/Ulrichw)

Ternyata memiliki karakter dengan tujuan saja belum cukup untuk membuat ceritamu menarik. Kita juga perlu menghadirkan faktor yang membuat protagonismu memiliki urgensi untuk segera mewujudkan tujuan mereka. Dalam Beautiful Fantastic (2016), Bella Brown mungkin akan terus merasa baik-baik saja hidup dengan seminim mungkin meninggalkan rumah sewaannya.

Dilema muncul ketika Bella mendapatkan kabar bahwa dirinya terancam terusir karena akan melanggar kontrak jika ia tak melakukan perubahan. Di sinilah kehidupan Bella dipertaruhkan, tetap berada di zona nyaman dan kehilangan rumah atau meninggalkan zona nyaman untuk mempertahankan rumahnya.

Contoh lainnya dalam Squid Game (2021), meski setelah permainan awal yang berdarah para peserta tahu bahwa tempat tersebut berbahaya, tetap saja banyak peserta yang akhirnya kembali ikut berpartisipasi. Mereka menganggap risiko kehilangan nyawa itu sepadan dengan risiko kehilangan kesempatan untuk mengubah hidup mereka yang sudah ada di titik terendah. Hadirnya suatu risiko ini akan membuat tujuan tokoh utama terasa lebih bernilai.

3. Tidak ada konflik

ilustrasi merancang konflik (unsplash.com/Unseen Studio)

Bayangkan jika setelah mendapatkan undangan dari Hogwarts, Harry Potter hanya menghabiskan hari-hari damai belajar sihir tanpa bertemu profesor Snape yang jutek, tak diganggu Malfoy, dan tak diincar nyawanya oleh Voldemort. Atau jika Elizabeth dan Tuan Darcy dalam Pride and Prejudice sama-sama berasal dari keluarga kaya dan keduanya tidak pernah salah paham.

Pastinya kedua cerita itu tidak akan seseru yang kita tahu. Yup, dengan kata lain, pembaca baru bisa menemukan keseruan cerita jika ada hambatan yang mencegah protagonis mencapai tujuannya.

Hal lain yang tak kalah penting yaitu jumlah konflik. Satu konflik dalam cerita pendek itu sudah cukup, tetapi kita tidak bisa melakukan hal yang sama pada novel. Kita perlu memunculkan konflik secara bertahap agar pembaca tak lekas bosan.

Kompleksitas konflik bisa didapat dengan memunculkan beberapa konflik yang ternyata saling berkaitan. Atau bisa juga dengan memunculkan konflik pemantik yang akhirnya memunculkan beragam konflik turunannya. Nah, kamu bisa memilih pola-pola konflik berdasarkan kebutuhan ceritamu.

4. Tidak ada klimaks atau gagal membangunnya

ilustrasi merancang klimaks (unsplash.com/Andrew Neel)

Cerita kamu sudah punya konflik yang tersebar di sepanjang cerita, tetapi tidak ada satu pun yang cukup kuat untuk menjadi puncak ledakan masalah? Nah, itu juga bisa jadi faktor kenapa cerita kamu tetap terasa membosankan.

Isa Alamsyah dalam 101 Dosa Penulis Pemula bahkan menjadikan absennya klimaks dalam cerita sebagai dosa ke-91. Cerita yang baik tetap harus memuat bagian paling menonjol dalam cerita agar meninggalkan kesan bagi pembacanya.

Atau kemungkinan lainnya, sebenarnya kamu sudah merencanakan adegan tertentu sebagai klimaks cerita, tetapi gagal dalam eksekusinya? Kalau itu masalahnya, kamu bisa cermati bagian-bagian cerita sebelumnya kemudian benahi lagi laju dan intensitasnya. Klimaks yang tidak dibangun secara benar, tidak lebih baik dari cerita tanpa klimaks.

5. Banyak adegan tidak penting

ilustrasi merancang adegan (unsplash.com/Amelia Bartlett)

Pernah membaca cerita yang terasa bertele-tele? Kemungkinan karena dalam cerita tersebut penulis memasukkan banyak adegan yang tidak penting. Lantas bagaimana kita tahu suatu adegan itu penting atau tidak? Paling mudah dengan cara membayangkan apakah jika adegan tersebut dihilangkan, ceritanya akan terpengaruh secara keseluruhan? Kalau jawabannya tidak, maka sudah jelas itu adegan yang tidak penting.

Kalau kamu merasa cara sebelumnya terlalu ekstrem, kamu bisa coba cara kedua yang lebih longgar. Yaitu dengan memastikan bahwa setiap adegan yang kamu sajikan harus memajukan cerita. Entah itu bisa membuat kemajuan pada alurnya, membuat tokohnya bertransformasi, meningkatkan pertaruhan, atau memberikan informasi penting pada pembaca. Jangan merasa sayang saat memangkas adegan tidak penting. Bagaimanapun, itu tindakan yang diperlukan untuk membuat kualitas ceritamu menjadi lebih baik.

6. Terlalu memaksakan diri memberi porsi yang adil pada tiap karakter

ilustrasi merancang porsi karakter (pixabay.com/Nappiness)

Memberikan porsi berimbang pada setiap karakter memang terdengar bijaksana, tetapi akan benar-benar bijak jika kita memberi porsi sesuai tugas mereka dalam cerita. Kita tidak boleh memberi karakter pendukung porsi yang sama besar dengan karakter utamanya. Mungkin itu hal yang sudah cukup jelas.

Masalahnya menjadi ambigu ketika penulis merasa memiliki lebih dari satu tokoh utama. Namun percayalah, kamu harus tetap memilih satu protagonis di antara tokoh-tokoh inti dalam ceritamu. Ketika kamu sudah bisa memutuskan, maka pastikan bahwa porsinya lebih bersinar dari porsi karakter lainnya. Hal ini berguna untuk membuat cerita kamu tetap on point dan clean, tanpa melebar ke mana-mana.

7. Over showing atau over telling

ilustrasi menulis deskripsi cerita (pixabay.com/Deeezy)

Mungkin kamu sudah bosan mendengar nasihat ini, tetapi memang benar bahwa sesuatu yang berlebihan itu tidak pernah baik. Hal tersebut juga berlaku dalam mengaplikasikan teknik show dan tell di dalam ceritamu. Penting untuk memastikan bahwa kehadiran show dan tell sama-sama memuat informasi yang dibutuhkan dalam perkembangan cerita dan dikemas sesuai fungsinya.

Kamu harus pandai memilah bagian mana yang lebih cocok menggunakan teknik showing dan bagian mana yang akan lebih baik jika menggunkan teknik telling. Umumnya showing digunakan untuk bagian-bagian penting atau krusial guna menambah efek dramatisasi. Sedangkan telling untuk menginformasikan bagian umum tetapi butuh diketahui pembaca. Kamu juga perlu memastikan tidak ada showing yang mengulang informasi telling, dan begitu pula sebaliknnya.

8. Info dumping

ilustrasi menulis 2 gelar (pixabay.com/StartupStockPhotos)

Info dumping adalah penumpukan informasi di satu bagian. Hal ini biasanya terjadi saat penulis terlalu berambisi memperkenalkan sesuatu kepada pembaca. Padahal itu justru bisa membuat pembaca merasa tidak nyaman karena dipaksa menerima banyak informasi sekaligus.

Misalnya jika kita ingin mendeskripsikan seorang tokoh. Daripada menyebutkannya secara detail semua mengenai karakter tersebut, pecah informasi tersebut dan sebarkan bersama aksi tertentu. Biarkan pembaca mengenalnya secara perlahan sembari mengikuti kisahnya.

Itu tadi beberapa faktor yang mungkin menjadi penyebab cerita fiksimu terasa membosankan. Apakah kamu sudah menemukan letak masalahmu? Jika sudah, maka tugas selanjutnya tinggal memperbaiki bagian-bagian yang masih menjadi kekurangan dalam karyamu. Jangan biarkan kritik pembaca mengusik kreativitasmu. Anggaplah kritik mereka sebagai ruang tempat kamu masih bisa membuat ceritamu jadi lebih baik! 

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Topics
Editorial Team
Yogi Pasha
EditorYogi Pasha
Follow Us