Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

PVMBG: Belum Ada Teknologi untuk Prediksi Gempa Megathrust

ilustrasi gempa (IDN Times/Esti Suryani)

Bandung, IDN Times - Koordinator Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami di Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Supartoyo menyatakan, belum ada teknologi yang dapat memprediksi kapan gempa megathrust terjadi.

Menurutnya, megathrust merupakan suatu kejadian gempa bumi yang bersumber di laut akibat penunjaman, antara lempeng Indo-Australia dan lempeng benua Eurasia yang membentang dari Barat Sumatera, Selatan Jawa, Papua, Sulawesi Utara dan Timur laut Halmahera.

"Hingga saat ini teknologi belum mampu memprediksi secara akurat kapan, di mana dan berapa besar. Jadi, kalau ada yang menyebut prediksi itu bisa dipastikan hoax," ujar Supartoyo, saat dikonfirmasi, dikutip Selasa (10/9/2024).

1. Isu megatrust sudah ada sejak beberapa tahun lalu

ilustrasi seismograf (pixabay.com/Tumisu)

Supartoyo merinci, isu soal megathrust sempat muncul pada 2018, saat itu dikabarkan akan terjadi di selat Sunda, dan mampu menghasilkan tsunami lebih dari 30 meter. Kemudian 2022 juga sempat heboh dengan adanya serangkaian kejadian gempa bumi di selatan Jabar.

"Lalu sekarang ramai lagi, jadi sebenarnya isu megathrust itu bukan hanya tahun ini, tapi sudah berulang berkali-kali dan alhamdulillah belum ada kejadian gempa bumi setelah isu itu timbul, kecuali gempa megathrust di Pangandaran 2006," ujarnya.

2. Peta rawan bencana sudah diberikan ke pemerintah kabupaten dan kota

ilustrasi gempa (istock)

Menyikapi kondisi ini, Supartoyo mendorong pemerintah dan masyarakat turut melakukan identifikasi mengenai wilayah-wilayah mana saja yang masuk dalam sumber gempa bumi megathrust. Mengingat, PVMBG telah menyamping peta rawan gempa ke kabupaten dan kota.

"Badan Geologi yang telah menyusun peta rawan gempa bumi dan peta rawan tsunami. Semestinya ini dipakai sebagai antisipasi, sewaktu-waktu apabila goncangan gempa bumi megathrust itu terjadi," katanya.

3. Pemerintah harus membuat Perda

Ilustrasi tsunami setelah gempa (pexels.com/Ray Bilcliff)

Supartoyo melanjutkan, masyarakat dan pemerintah bisa juga melakukan mitigasi secara struktural dan non-struktural. Mitigasi struktural, kata dia, dapat dilakukan melalui pembangunan fisik untuk dapat mengurangi jenis-jenis bahaya gempa bumi dan tsunami.

"Mitigasi non-struktural, dilakukan dengan meningkatkan kapasitas pemerintah setempat dan penduduk yang bermukim dan beraktivitas di KRBG dan KRBT guna menghadapi ancaman potensi bencana gempa bumi dan tsunami," katanya.

PVMBG juga mendorong pemerintah daerah menyusun regulasi khusus tentang mitigasi bencana, bisa dalam bentuk Perda, Pergub atau Perbup.

"Regulasi ini harus dipisahkan dari bencana lain, jadi khusus untuk tsunami, misalnya bagi warga yang bermukim di kawasan rawan tsunami tinggi. Apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, itu diatur dalam regulasi tersebut," kata dia.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Galih Persiana
Azzis Zulkhairil
Galih Persiana
EditorGalih Persiana
Follow Us