Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Local Brand Rapatkan Barisan, Rilis Kaos Protes soal Penindasan

Local Brand Rapatkan Barisan, Rilis Kaos Protes soal Penindasan (IDN Times/istimewa)
Local Brand Rapatkan Barisan, Rilis Kaos Protes soal Penindasan (IDN Times/istimewa)
Intinya sih...
  • Aksi solidaritas local brand Bandung bermula dari obrolan ngalor-ngidul di antara pemilik brand, yang kemudian berujung pada rilis kaos protes.
  • Lebih dari 21 local brand ikut kampanye dengan merilis t-shirt "Voices Against Opression" sebagai bentuk protes terhadap kondisi sosial politik yang tak karuan.
  • Penjualan t-shirt tersebut digunakan untuk mendukung gelaran unjuk rasa, mobilisasi, solidaritas, dan untuk mendukung pengoperasian safe house bagi peserta demonstrasi.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Bandung, IDN Times - Tunjangan bagi anggota DPR yang memperdalam jurang sosial di Indonesia, diperparah dengan meninggalnya pengemudi ojek online (ojol) yang dilindas kendaraan taktis Brimob di tengah aksi unjuk rasa di Jakarta, menggetarkan hati masyarakat di seluruh Indonesia. Rentetan kejadian itu berubah menjadi gelombang kemarahan yang luas, mendesak masyarakat Indonesia untuk terus menyampaikan protes terkait kondisi sosial politik yang tak karuan ini.

Berbagai macam protes dan bentuk penyampaiannya, berkembang dalam sepekan terakhir seperti kobar amarah yang tidak dapat dibendung. Protes tidak hanya bisa disampaikan lewat teriakan unjuk rasa, juga poster-poster yang dibawa para demonstran. Lebih daripada itu, sebanyak 21 local brand asal Bandung baru-baru ini melancarkan aksi mereka dengan cara yang unik–mempertebal kepulan asap protes dengan harapan dapat didengar oleh pemerintah dan dewan perwakilan rakyat.

Mereka berunding, bekerja sama, dan akhirnya merilis artikel anyar yang dibikin secara spontan. Artikel tersebut berupa t-shirt dengan kalimat protes di bagian depan, bertuliskan “Voices Against Opression” atau jika diterjemahkan ialah “Suara Melawan Penindasan”.

Aksi penindasan oleh aparat, faktanya memang tidak hanya tampak di layar televisi atau media sosial saja. Di Bandung, tempat di mana 21 local brand itu berkarya dan berniaga, baru saja terjadi kekerasan aparat di area kampus Unisba dan Unpas. Ketika itu, pada Senin (1/9/2025) malam hingga Selasa (2/9/2025) dini hari, polisi terlibat bentrokan dengan masyarakat dan mahasiswa.

Dalam peristiwa itu, salah satu mahasiswa Unisba bersaksi bahwa polisi tak segan untuk menembakkan gas air mata juga melindas mahasiswa dengan sepeda motor hingga terluka. Polisi menjelaskan bahwa gas air mata yang masuk ke area kampus terbawa oleh angin–sebuah alasan yang tak bisa diterima begitu saja oleh mahasiswa sebagai kaum intelektual. 

Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai yang mengunjungi kampus beberapa hari setelah kejadian, tak seperti datang untuk mencari jalan keluar. Ia seakan tak menitik-beratkan kunjungannya untuk mengkaji berbagai pelanggaran HAM yang terjadi.

"Kalau itu topik lain lagi," kata Pigai, sambil berjalan menghindari wartawan yang bertanya terkait potensi pelanggaran HAM oleh aparat di Unisba, Kamis (4/9/2025).

Pelbagai peristiwa protes sekaligus kekerasan aparat yang tampak di depan mata masyarakat sepekan terakhir, dan pemerintah juga DPR yang tak memberikan respons sesuai harapan masyarakat, bikin 21 local brand Bandung meradang.

Mereka meluncurkan aksi, berteriak protes lewat produk kolaborasi, seraya berharap adanya perubahan dari situasi politik saat ini.


1. Bermula dari obrolan ngalor-ngidul

Demo di Polda Metro Jaya
Demonstrasi di Markas Polda Metro Jaya berlangsung ricuh, Jumat malam (29/8/2025). (IDN Times/Sandy Firdaus)

Aksi solidaritas dari industri local brand itu bukan dihasilkan dari rapat-rapat serius di antara mereka. Semuanya bermula ketika beberapa pemilik local brand di Bandung bertemu untuk menghadiri sebuah undangan peluncuran sepatu di Kota Kembang.

Dalam obrolan ngalor-ngidul di antara mereka, terselip tema tentang Indonesia yang sedang tidak baik-baik saja. Tentang demonstrasi yang terjadi di berbagai kota di Indonesia, hingga banyaknya massa aksi yang meregang nyawa sebagai buntut dari unjuk rasa yang berakhir ricuh.

Ebho, pemilik Poison Forever, kemudian menyampaikan niatnya pada pentolan local brand lain, untuk merilis sebuah produk baru di mana hasil penjualannya akan diberikan untuk mendukung gelombang aksi massa. Rencana Ebho pun disambut baik oleh rekan-rekannya, di antaranya ialah Fadli (pemilik Miracle Mates) dan Gilang (pemilik Abigail) yang ada dalam tongkrongan itu.

Lingkaran local brand dalam perkumpulan itu kemudian menunjukkan minat yang sama untuk terlibat aktif dalam aksi tersebut.

2. Lebih dari 21 local brand ingin ikut kampanye ini

Local Brand Rapatkan Barisan, Rilis Kaos Protes soal Penindasan (IDN Times/istimewa)
Local Brand Rapatkan Barisan, Rilis Kaos Protes soal Penindasan (IDN Times/istimewa)

Mereka sadar bahwa semakin banyak local brand yang terlibat, semakin lantang pula suara protes mereka yang ditunjukkan lewat produk fashion. Keesokan harinya, dengan cepat dan organik, mereka bisa mengumpulkan 21 local brand untuk ikut dalam kampanye ini.

“Sebenarnya lebih dari 21 local brand yang mau ikut dalam kampanye ini. Bahkan hingga hari ini tidak sedikit local brand lain yang menunjukkan keinginan untuk ikut. Kami memang membatasi jumlah kolaborator hingga 21 brand saja, untuk menjaga kesan dari produk yang diluncurkan,” kata Ebho kepada IDN Times lewat saluran telepon, Sabtu (6/9/2025).

Akhirnya deretan local brand itu sepakat untuk merilis sebuah t-shirt alias kaos berwarna hitam bertuliskan “Voices Against Opression”. Dibanderol dengan harga Rp200 ribu, t-shirt tersebut ditawarkan lewat sistem pre-order yang berarti konsumen memesan terlebih dahulu sebelum produknya dibuat. Pemesanan pun dibatasi hingga hari Senin (8/9/2025).

3. Skema dan hasil penjualan dari produk 21 local brand Bandung

ilustrasi penjahit sedang menjahit pakaian (pexels.com/studio kapasbro)
ilustrasi penjahit sedang menjahit pakaian (pexels.com/studio kapasbro)

Keresahan akan situasi sosial dan politik saat ini, diakui Ebho, menjadi salah satu faktor yang mendorong aksi charity ini. Ia berharap, langkah para local brand Bandung dapat membantu sesama warga.

“Kami ingin menunjukkan bahwa brand fashion di sini tidak hanya soal berbisnis. Kami pun ingin bersuara tentang keresahan-keresahan ini, tentang urusan pajak, ketimpangan, dan lain sebagainya. Apalagi melihat pemerintah sekarang, rasanya kurang responsif,” ujar Ebho.

Lewat aksi ini, ia berharap pemerintah lebih mengerti akan keadaan sosial dan memberi respons terhadap keresahan masyarakat. “Ya, kami pun resah dengan keadaan sekarang ini,” tuturnya.

Ebho menjelaskan jika ia dan pemilik jenama fashion lainnya tidak membatasi jumlah kaos yang akan dijual. Hingga berita ini diturunkan, dua hari sebelum durasi pre-order ditutup, produk mereka telah terjual lebih dari seribu potong.

Penjualan dilakukan tanpa saluran marketplace, melainkan melalui saluran WhatsApp langsung kepada Miracle Mates, salah satu brand yang mewakili urusan pemesanan. Sementara urusan produksi akan ditangani oleh Abigail, kolaborator lainnya.

“Kami memang menghindari potongan penjualan yang ada di skema marketplace. Sehingga saat ini, kami fokus memanfaatkan jaringan media sosial untuk memasarkan produk ini,” kata Ebho.

Per hari Senin, ia melanjutkan, pre-order akan ditutup dan brand yang terlibat akan memulai memproduksi produk charity tersebut. Hasil penjualan akan digunakan seluruhnya untuk menyokong empat hal, antara lain medis demonstrasi, mobilisasi, solidaritas, dan untuk mendukung pengoperasian safe house.

Pilar terakhir dilakukan karena ke-21 brand sepakat bahwa banyak peserta demonstrasi yang hingga saat ini menerima ancaman dan memerlukan perlindungan. “Biasanya dibawa ke luar Bandung,” ujar Ebho.

4. T-shirt protes di antara gerakan massa di seluruh penjuru dunia

Vivian Westwood (viviennewestwood.com)
Vivian Westwood (viviennewestwood.com)

Protes lewat kaos erat kaitannya dengan budaya musik punk yang berkembang sejak 1970-an. Di Inggris, bentuk protes semacam ini pertama kali dipopulerkan oleh mendiang Vivienne Westwood, salah satu orang yang paling berperan dalam budaya pop Inggris.

Bentuk protes Westwood lewat kaos yang ia rancang bersama manajer Sex Pistols, Malcolm McLaren mencuri perhatian di Inggris. Keduanya, yang akhirnya berjodoh, memang memiliki sudut pandang yang sama, melihat bahwa punk merupakan cara untuk keluar dari sebuah tatanan sistem yang tak bisa diterima.

Lewat berbagai macam desain pada kaosnya, ia kerap kali memprotes pemangku kebijakan terkait dengan politik, sosial, hingga lingkungan. Tindakan mereka telah menginspirasi banyak band punk dan jenama fashion di seluruh dunia. Bahkan Viv Albertine, gitaris band The Slits, dalam memoarnya menjelaskan jika Vivienne dan Malcolm menggunakan pakaian untuk mengejutkan sosial, membuat jengkel, dan memancing reaksi, juga menginspirasi perubahan.

Di Indonesia, protes lewat kaos juga kerap ditunjukan sejak dahulu. Almarhum Wahyu Sardono, seorang aktor, komedian, juga dosen yang publik kenal dengan mononim Dono ini kerap menunjukkan protesnya lewat kaos yang ia kenakan.

Sebuah potret Dono yang mengenakan kaos bertuliskan ‘Join Us We Fight for A Clean Government’ di tengah kumpulan aparat, adalah tindakan berbahaya di zaman itu (sekitar 1970-an), di mana Indonesia tengah berada di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto yang memiliki rekam jejak anti-kritik. 

Di antara trio Warkop DKI (Dono, Kasino, Indro), Dono memang dikenal sebagai yang paling lantang terhadap kondisi politik. Dengan latar belakang pendidikan Fakultas Ilmu-ilmu Sosial Universitas Indonesia, komedi Dono kerap dibumbui satire yang dialamatkan pada pemerintah. Kemampuan itu pula yang membuat Rudy Badil dan Kasino tak ragu mengajak Dono untuk bergabung dengan grup Warkop Prambors–cikal bakal Warkop DKI.

Potret Dono dengan kalimat sesalan pada kaosnya kini menjadi bukti bahwa budaya protes anak-anak punk ala Westwood di London dilakukan juga di Indonesia. Kini, bentuk protes tersebut terus dibudayakan oleh jenama-jenama fashion di Bandung untuk merespons kekacauan atas kondisi sosial di Indonesia.

5. Sepuluh orang meninggal dunia, di Bandung mahasiswa luka-luka

IMG_20250902_095921.jpg
Kampus Unisba. IDN Times/Debbie Sutrisno

Hingga saat ini, setidaknya sepuluh orang telah meninggal dunia sebagai buntut dari kericuhan yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia, di mana sebagiannya meregang nyawa diduga karena kekerasan aparat.

Di Bandung, kericuhan yang terjadi di Unisba melukai dua mahasiswanya pada Senin (1/9/2025). Satu orang mahasiswa dikabarkan telah ditahan dan satunya lagi mengalami luka berat akibat dilindas motor Brimob.

Adapun dua orang korban ini yaitu Adjie Zhyran Putra Zein dan Boby Indrawan. Dalam keterangan resmi yang diterima IDN Times, Selasa (2/9/2025) malam, mahasiswa Fakultas Hukum Unisba, Ilham khafian mengatakan, korban Adjie Zhyran ditangkap aparat kepolisian sekitar pukul 22.00 WIB tanpa adanya dasar hukum yang jelas.

"Penangkapan itu tidak disertai dengan surat perintah maupun pemberitahuan mengenai alasan hukum yang mendasarinya. Hingga saat ini, Adjie masih ditahan di kantor polisi tanpa kejelasan status hukum," ujar Ilham.

Penangkapan itu, kata dia, jelas-jelas bertentangan dengan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam Pasal 18 ayat (1) KUHAP ditegaskan bahwa penangkapan hanya dapat dilakukan dengan surat perintah, kecuali dalam keadaan tertangkap tangan.

Selain itu, KUHAP juga mengatur bahwa setiap orang yang ditangkap berhak mengetahui alasan penangkapannya, serta berhak untuk menghubungi pihak keluarga maupun penasihat hukum.

"Fakta bahwa prosedur ini diabaikan menunjukkan adanya cacat hukum serius dalam tindakan aparat kepolisian," ucap Ilham.  

Sementara itu Ilham menyampaikan, korban kedua, Boby Indrawan, mengalami perlakuan yang lebih parah. Dalam aksi yang seharusnya dijaga dengan pendekatan persuasif, Boby justru menjadi sasaran tembakan aparat.

"Dia terjatuh akibat tembakan tersebut, dan ironisnya tubuhnya dilindas motor Brimob yang menyebabkan tulang bahu kirinya patah," ujarnya.

"Peristiwa ini bukan hanya melukai fisik, tetapi juga mencederai rasa keadilan masyarakat. Tindakan demikian jelas menyalahi prinsip Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia," katanya. 

6. Mencipta purwarupa dengan fungsi yang nyata

Local Brand Rapatkan Barisan, Rilis Kaos Protes soal Penindasan (IDN Times/istimewa)
Local Brand Rapatkan Barisan, Rilis Kaos Protes soal Penindasan (IDN Times/istimewa)

Merespons kondisi sosial di tengah masyarakat sebagai inti dari penciptaan nilai produk merupakan prinsip yang digenggam oleh banyak pelaku industri kreatif di Indonesia. Tidak hanya 21 local brand fashion yang tengah melancarkan kampanyenya, studio kreatif di Bandung pun ramai-ramai menciptakan produk guna mengkritisi kondisi yang ada.

Ialah Susahwaras, studio kreatif yang menyebut dirinya sebagai super bootleg stuff creator ini baru saja melepas produk satire ke masyarakat, dengan tajuk “Menggulingkan Tirani”. Irhas Fii Ramadhan, pemilik Susahwaras menjelaskan bahwa perilisan produk tersebut tak lepas dari keinginan jenamanya untuk bersuara.

“Seperti kebiasaan kami sebelum-sebelumnya, kami selalu ingin menciptakan produk dengan cita-cita yang besar. Sementara melihat negara ini sedang kacau, kami punya ide untuk ‘menggulingkan tirani’, begitu,” tutur Irhas, kepada IDN Times lewat saluran telepon, Sabtu (6/9/2025).

Produk ‘Menggulingkan Tirani’ ia bikin dengan merancang sebuah guling hitam dengan tulisan ‘tirani’ di salah satu sisinya. Produk satire ini, kata Irhas, merupakan simbol yang juga memiliki fungsi sebagai perlengkapan tidur.

“Produk ini adalah simbol, sebuah purwarupa dengan fungsi yang nyata. Jadi memang produk yang memiliki fungsi, tapi dibalut estetika kritis. Kami mencoba men-twist frasa ‘gulingkan tirani’,” katanya.

Sama dengan gerakan yang diciptakan 21 local brand fashion Bandung, Susahwaras yang juga lahir di Kota Kembang akan memberikan 100 persen hasil penjualan produk ‘Menggulingkan Tirani’ untuk mendukung gelaran unjuk rasa. Mereka mengaku telah memiliki saluran bantuan berupa influencer yang akan menyerahkan bantuan finansial berupa uang dan makanan kepada para demonstran.

Produk mereka dijual dengan harga Rp131.200, sebuah angka yang sengaja disesuaikan dengan simbol perlawanan terhadap kekerasan aparat, yakni 1312 atau ACAB.

7. Lesunya penjualan di sektor ekonomi kreatif

ilustrasi content marketing (IDN Times/Aditya Pratama)
ilustrasi content marketing (IDN Times/Aditya Pratama)

Di sisi lain, berbicara tentang ekonomi kreatif, dalam sepekan terakhir memang mengalami kelesuan di sisi penjualan. Ebho, pemilik Poison Forever, mengaku bahwa penjualannya di awal bulan September 2025 mengalami kemerosotan.

Bukan tanpa sebab, saluran pemasaran mereka yang kerap mengandalkan media sosial mendadak lumpuh akibat algoritma yang lebih menampilkan situasi unjuk rasa di lapangan. Tak hanya itu, diputusnya saluran live TikTok pun semakin memperlesu penjualan mereka. Karena berbagai hal tersebut, market fashion lokal mendadak tumpul.

“Apalagi peristiwa kericuhan ini terjadi di awal bulan, di mana biasanya grafik penjualan kami meningkat,” ujar Ebho.

Hal tersebut pun membuat banyak local brand menunda peluncuran artikel teranyar mereka, atas dua alasan: pemasaran yang tidak optimal dan etika dalam berjualan. Menurut Ebho, hampir seluruh pemilik local brand memiliki semangat untuk menghargai situasi sosial sehingga enggan untuk mengenalkan produk baru mereka.

Setali tiga uang, Irhas, pemilik Susahwaras juga mengaku mengalami hal yang sama. 

Penjualan dari usahanya merosot dalam sepekan terakhir dengan alasan yang sama, yakni hilangnya segi pemasaran yang kerap dilakukan lewat media sosial.

“Market seakan tidak tertarik untuk membeli produk, melainkan lebih tertarik melihat meme. Buktinya respons followers terhadap meme jauh lebih baik ketimbang hard selling produk,” ujar Irhas.

Share
Topics
Editorial Team
Galih Persiana
EditorGalih Persiana
Follow Us

Latest News Jawa Barat

See More

Wargi Bandung Malam Ini Lihat Gerhana Bulan Yuk, Catat Jamnya!

07 Sep 2025, 11:13 WIBNews