Seabad Gedung Sate: Arsitektur Belanda yang Tak Mengkhianati Budaya
Tepat 27 Juli 1920, Gedung Sate dibangun di Bandung
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Bandung, IDN Times – Sejak Pemerintah Kolonial Hindia Belanda memindahkan Ibu Kota Jawa Barat dari Karapyak (kini terletak di Kabupaten Bandung) menuju pusat Kota Bandung, pembangunan dilakukan amat masif demi menciptakan lanskap Ibu Kota yang sebenarnya. Salah satu bangunan termegah yang diwacanakan ialah Gedung Sate, yang hingga kini menjadi simbol kedigdayaan Kota Bandung sebagai salah satu daerah terpenting di Indonesia.
Tahun 1808, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Herman Willem Deandels, merupakan salah satu sosok yang meresmikan pergeseran Ibu Kota Jawa Barat itu. Alasannya tak lain karena ia melihat banyaknya potensi, baik alam maupun sosial, yang dimiliki oleh Kota Bandung agar menjadi daerah yang dapat dibangun secara matang. Keputusan itulah yang membuat Kota Bandung kini kaya akan arsitektur peninggalan Belanda—yang sebagian besar menjadi ikon Kota Kembang saat ini.
Di antara berbagai arsitektur yang dibangun, Gedung Sate, atau dulu disebut Gouvernements Bedrijven, menjadi salah satu yang termegah. Tak hanya melibatkan 2000 pekerja dan 150 pemahat, pembangunan Gedung Sate juga merupakan penerapan ilmu dua arsitek muda lulusan Fakultas Teknik Delft Nederland, De Roo dan G. Hendriks. Pembangunan dimulai pada 27 Juli 1920, atau jatuh tepat hari ini satu abad lalu. Pembangunan dilakukan selama kurang lebih empat tahun, hingga rampung pada September 1924.
Gedung Sate terletak di Jalan Diponegoro No. 22 Kota Bandung, Jawa Barat. Gedung ini berdiri di atas lahan seluas 27.990,859 meter persegi, dengan luas bangunan sekitar 10.877,734 meter persegi. Seabad berlalu, 14 nama telah menjadi Gubernur Jawa Barat yang berkantor di sana bersama para amtenarnya, termasuk yang kini menduduki jabatan itu, mantan Wali Kota Bandung Ridwan Kamil.
1. Biaya pembangunan mencapai 6 juta Gulden
Dalam upacara peletakan batu pertama pada 27 Juli 1920, Gubernur Jenderal di Batavia, J.P. Graaf van Limburg Stirum, tak bisa menghadiri seremoni tersebut. Walhasil, Johanna Catherina Coops ditunjuk sebagai sosok yang menggantikan Graaf dalam peletakan batu pertama. Ia merupakan putri sulung daripada Wali Kota Bandung ketika itu, B. Coops, dan istrinya Petronella Roelofsen.
Tak tanggung-tanggung, biaya yang dikeluarkan untuk mendirikan Gedung Sate mencapai 6 juta Gulden, atau jika kini di-rupiah-kan mencapai sekitar Rp46 miliar—angka yang fantastis pada awal abad 20. Angka 6 juta Gulden konon menjadi alasan mengapa ada enam sate yang ditusuk di atap Gedung. Namun, fakta di balik tusuk sate itu hingga kini masih menjadi perdebatan para ahli.
Baca Juga: Ada yang Positif COVID-19? Ratusan ASN Gedung Sate Tes Swab Massal!
Baca Juga: Waspada Virus Corona, Museum Gedung Sate Kemungkinan Ditutup
Baca Juga: [Fragmen Lapas Sukamiskin I] Soekarno dan Tudingan Makar di Bandung
Baca Juga: [Fragmen Lapas Sukamiskin II] Ketika Soekarno Dihinakan di Bandung