TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Pejabat Jabar Rawan Korupsi, APBD untuk Parpol Dinilai Terlalu Kecil

Parpol ditantang kreatif mencari sumber pemasukan

Instagram/bolangfirdaus

Bandung, IDN Times – Dalam panggung politik di Jawa Barat, ada fenomena baru yang muncul dan bikin dahi mengernyit. Berdiri sejak 2002, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menangkap 19 kepala daerah di Jawa Barat dari total 119 yang dipidana kasus korupsi. Jumlah itu menjadi yang paling besar dibanding kasus serupa di provinsi lainnya.

Fenomena itu memuat fakta lain yang tak kalah heboh, ialah tidak sedikit di antara 19 kepala daerah terpidana korupsi di Jawa Barat ini merupakan kader atau bahkan pimpinan partai.

1. Parpol harus bertanggung jawab

IDN Times/Galih Persiana

Dari berbagai fakta tersebut, akademisi Universitas Komputer Indonesia sekaligus Direktur Lingkar Kajian Komunikasi Politik, Adiyana Slamet, berpendapat bahwa partai politik (parpol) mesti ikut bertanggung jawab dalam hal ketidakbecusan para kadernya.

“Kita mesti akui bahwa dari 19 kepala daerah itu, ada beberapa dananya mengalir ke parpol selain mengalir ke pengusaha, dan rekanan. Dari proyek infrastruktur seharga miliaran rupiah, setengah masuk kantong dan setengahnya lagi baru ke jalan,” kata Adiyana, dalam diskusi KPK Panen Koruptor di Jabar yang digelar oleh Pusaka RMOL Jabar di Kedai Kongres, Kota Bandung, Senin (28/10) malam

Orang parpol yang menjadi kepala daerah selalu dianggap sebagai salah satu penyumbang duit yang efektif bagi hidupnya kinerja parpol. Di sisi lain, kader parpol yang berhasil menjadi kepala daerah cenderung merasa memiliki utang budi kepada organisasi yang membesarkannya.

Dalam beberapa kasus, mereka terpaksa melakukan korupsi untuk memenuhi kebutuhan partainya.

2. Calon kepala daerah perlu parpol dan banyak duit

pixabay.com/Mohamed Hassan

Buruknya citra politik dari seorang kepala daerah yang terbukti korupsi akan berdampak buruk bagi pandangan masyarakat tentang dunia politik. Masyarakat, kata Adiyana, bisa menilai bahwa panggung politik adalah ceruk untuk mendapatkan jabatan dan uang sekaligus.

Apalagi, meski jelas tercantum pada undang-undang bahwa money politic merupakan sesuatu yang dilarang, saat ini fenomena serangan fajar masih kerap terjadi di kampung-kampung sehingga membikin masyarakat semakin sinis dalam memandang politik. Kemudian muncul anggapan bahwa tanpa bantuan dari parpol dan duit yang banyak, seseorang niscaya gagal dalam mengikuti pemilihan kepala daerah.

“Ketika ini bergulir terus, akhirnya positioning warga cuma dijadikan objek, dikapitalisasi. Dengan 50 ribu rupiah (uang serangan fajar) untuk mendapat suara, masyarakat menggadaikan kekuasaan daerah pada seorang calon kepala daerah,” tuturnya.

3. Berniat maju tanpa money politic

IDN Times/Galih Persiana

Omong-omong soal money politic, fenomena yang dijelaskan Adiyana ditampik Kepala Dinas Badan Pembangunan Daerah Kabupaten Tasikmalaya, Iwan Saputra. Iwan yang tengah berniat mencalonkan diri sebagai Bupati Tasikmalaya ini berjanji tidak akan melakukan serangan fajar karena hal tersebut dapat membodohi masyarakatnya.

“Saya ini (akan) bersaing dengan incumbent penguasa (di Kabupaten Tasikmalaya). Saya bukannya tidak ada biaya, tapi bagaimana masyarakat harus dicerdaskan dalam berpolitik,” katanya, di tempat yang sama.

Baca Juga: Mengapa Kepala Daerah di Jawa Barat Paling Doyan Korupsi?

Berita Terkini Lainnya