TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Paguyuban Pasundan: Gerakan Pemuda Sunda yang Merasa Terasingkan

Organisasi penting bagi sejarah pemuda Sunda.

(referensi.data.kemdikbud.go.id)

Bandung, IDN Times – Pada medio 1900-1950 Indonesia berada dalam gejolak perubahan, seiring dengan lahirnya berbagai organisasi kepemudaan. Pada 1913, 15 tahun sebelum para pemuda Indonesia berkumpul untuk mendeklarasikan Sumpah Pemuda, anak-anak muda berdarah Sunda melahirkan Paguyuban Pasundan. Pada tahun itu pula, mereka memulai perjuangan atas ketidakadilan yang mereka rasakan sebagai warga pasundan.

Ide awal terbentuknya Paguyuban Pasundan muncul dari para siswa Sekolah Pendidikan Dokter Bumiputera, atau pada masa sebelum kemerdekaan disebut dengan Schoot tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA). Menurut buku Kebangkitan Kembali Orang Sunda (2004, hlm. 50) karya Edi S. Ekadjati, para siswa STOVIA berdarah Sunda itu berusia sekitar 20-25 tahun.

“Dan telah mengikuti pendidikan di STOVIA selama beberapa tahun,” tulis buku tersebut.

1. Dari kebiasaan berkumpul

Buku Kebangkitan Kembali Orang Sunda

Dengan latar belakang budaya yang sama mereka kerap berkumpul dan berdiskusi pada waktu-waktu luang. Misalnya, saban malam Minggu, mereka kerap berkumpul di asramanya sambil memakan kacang dan gado-gado khas Betawi sambil bercakap-cakap dalam bahasa Sunda.

Tak hanya itu, mereka pun kerap menemui para seniornya dari suku Sunda antara lain D.K. Ardiwinata, Hamdia, Idris, Somaharja, Winatapura yang sebagian besar di antaranya berprofesi sebagai guru. Ardiwinata sendiri lebih tepatnya merupakan seorang eks guru yang ketika itu alih profesi sebagai pengarang sekaligus redaktur bahasa Sunda di Volkslectuur (perusahaan penerbitan milik pemerintah Hindia Belanda).

Berbagai perbincangan dan penyerapan ilmu itu melahirkan gagasan bahwa orang-orang Sunda telah didiskriminasi secara tidak langsung oleh pemerintah dan masyarakat Hindia Belanda. “Bahwa ia melihat kenyataan yang menunjukkan betapa kondisi orang Sunda pada waktu itu begitu memprihatinkan karena tertinggal oleh kemajuan yang telah dicapai oleh etnis Melayu dan Etnis Jawa. Apalagi etnis Belanda/Eropa, baik dalam bidang pendidikan maupun dalam kesempatan memperoleh pekerjaan atau jabatan.”

2. Cemburu pada Budi Utomo

https://cagarbudaya.kemdikbud.go.id

Kecemburuan juga muncul dari para orang Sunda tersebut setelah melihat lahir dan berkembangnya organisasi Budi Utomo. Banyaknya siswa STOVIA yang bergabung dengan Budi Utomo sedikit banyak memantik keinginan mereka untuk berorganisasi serupa. Masalahnya, organisasi Budi Utomo dirasa tidak sejalan dengan idealisme para pelajar Sunda, “apalagi setelah pimpinannya dipegang oleh kaum tua aristokrat Jawa,” tulis buku Kebangkitan Kembali Orang Sunda.

Dari gagasan itu, tepatnya pada Juli 1913, sekumpulan orang Sunda bersepakat memperjuangkan nasib kaumnya dengan mendirikan perkumpulan khusus bagi orang Sunda atau orang yang mencintai tanah Sunda. Dari sanalah muncul nama Paguyuban Pasundan.

Namun, meski diinisiasi oleh para pelajar STOVIA asal tanah Sunda yang berusia 20-25 tahun, tak banyak dari mereka yang berani maju sebagai pimpinan. Maka, dalam sebuah musyawarah di salah satu ruangan di kompleks STOVIA, para calon dokter bumiputera itu meminta D.K. Ardiwinata, Iskandar Brata, dan R. Emung Prawinata, untuk menahkodai Paguyuban Pasundan.

Dalam buku Sejarah Kota Bandung (2016, hlm. 114) karya Nina Herlina Lubis, Paguyuban Pasundan secara resmi berdiri pada 20 Juli 1913 di rumah D.K. Ardiwinata di daerah Batavia (sekarang Jakarta). Selain didorong oleh para pelajar STOVIA, Paguyuban Pasundan juga mendapat dukungan dari para pelajar Sunda di Hogere Burger School (HBS), dan Kweekschool.

3. Berpaling menjadi gerakan politik

https://referensi.data.kemdikbud.go.id/kebudayaan/index.php/chome/profilobjekkebudayaan/A2FEB2C4-5516-4A5E-B6ED-5623EC282A90

Di awal pergerakannya, Paguyuban Pasundan menjunjung tinggi beberapa nilai yang tak lepas dari tujuan memuliakan bahasa dan budaya Sunda, memajukan ilmu pengetahuan dan bahasa Belanda, ikut berpartisipasi aktif dalam memajukan pengetahuan orang Sunda, dan tidak ikut dalam memerintah negara.

Dengan empat visi tersebut, Paguyuban Pasundan jelas tak memiliki motivasi politik karena memilih berjuang di bidang sosial dan budaya.

Pada 1915, Paguyuban Pasundan makin mendapat perhatian masyarakat. Ketika itu tercatat mereka telah mendirikan empat cabang lain yakni Bogor, Cianjur, Bandung, dan Tasikmalaya. Pada 1916 mereka telah memiliki 790 orang anggota (680 orang pria, dan 110 orang wanita).

Setelah lima tahun berorganisasi di Batavia, pada 1918 mereka memutuskan untuk memindahkan kantor pusat ke Kota Bandung. Di Bandung, gerakan mereka makin gencar, salah satunya karena tercatat ikut mendirikan Commissie Radicale Concentratie (kepanjangan tangan dari Komisi Konsentrasi Radikal di Volksraad).

Commissie Radicale Concentratie disebut-sebut merupakan buah pemikiran Paguyuban Pasundan yang mendapat dukungan dari organisasi lain seperti Sarekat Islam, Budi Utomo, SDAP, ISDV, dan Insulinde. Jika mulanya mereka tak ingin nyemplung ke ranah politik, dengan kemunculan komisi tersebut gelagat Paguyuban Pasundan untuk dapat mengurus dan memerintah negara sendiri semakin jelas terlihat.

Benar saja, tepatnya pada 1919 mereka resmi mengubah haluan dengan memasukkan tujuan politik ke dalam visi Paguyuban Pasundan. Perubahan statuta tersebut didorong dengan fenomena pendirian Volksraad oleh Pemerintah Hindia Belanda pada 1918. Perubahan statuta pun mereka ajukan pada pemerintah Hindia Belanda, dan mendapat belsuit alias surat keputusan (SK) pada 13 Juni 1919.

Di tahun yang sama, tercatat Paguyuban Pasundan telah memiliki 14 cabang, beberapa ranting, dengan jumlah anggota semakin banyak hingga mencapai 1.450 orang.

Baca Juga: Seperti Jokowi, Ridwan Kamil Bagi-bagi Sepeda di Acara Sumpah Pemuda

Baca Juga: Pengibaran Bendera Gagal saat Peringatan Sumpah Pemuda di Bandung

Berita Terkini Lainnya