TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Secuil Sejarah Kota Bandung, Dulu Tertinggal Kini Jadi Tujuan Wisata

Bumi Pasundan lahir ketika Tuhan sedang tersenyum

Humas Bandung / Jembatan Pasupati

Bandung, IDN Times – Bulan September menjadi saat yang bermakna bagi Kota Bandung. Saban tanggal 25 di bulan itu, Kota Bandung merayakan hari jadinya. Seperti halnya tahun ini, di mana Kota Kembang memasuki usia ke-211.

Sedikit mengenang masa lalu, Kota Bandung sebenarnya tidak berdiri bersamaan dengan pembentukan Kabupaten Bandung. Kota itu dibangun dengan tenggang waktu sangat jauh setelah Kabupaten Bandung berdiri.

Dikutip dari laman humas.bandung.go.id, Kabupaten Bandung dibentuk pada sekitar pertengahan abad ke-17 Masehi, dengan Bupati pertama Tumenggung Wiraangunangun. Ia memerintah Kabupaten Bandung hingga tahun 1681.

Semula Kabupaten Bandung ber-Ibu Kota di Krapyak (sekarang Dayeuhkolot) kira-kira 11 kilometer ke arah Selatan dari pusat kota Bandung sekarang.

Ketika Kabupaten Bandung dipimpin oleh bupati ke-6, yakni R.A Wiranatakusumah II (1794-1829) yang dijuluki "Dalem Kaum I", kekuasaan di Nusantara beralih dari kompeni ke Pemerintahan Hindia Belanda, dengan Gubernur Jenderal pertama Herman Willem Daendels (1808-1811).

Bagaimana selanjutnya Deandels membangun kota yang dicintai masyarakatnya ini?

1. Deandels membangun jalan dan memindahkan ibu kota

Ilustrasi Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat (IDN Times/Debbie Sutrisno)

Untuk kelancaran menjalankan tugasnya di Pulau Jawa, Daendels membangun Jalan Raya Pos (Groote Postweg) dari Anyer di ujung barat Jawa Barat ke Panarukan di ujung timur Jawa Timur (kira-kira 1000 km).

Pembangunan jalan raya itu dilakukan oleh rakyat pribumi di bawah pimpinan bupati daerah masing-masing.

Di daerah Bandung sendiri, Jalan Raya Pos mulai dibangun pertengahan tahun 1808, dengan memperbaiki dan memperlebar jalan yang telah ada. Di daerah Bandung sekarang, jalan raya itu adalah Jalan Jenderal Sudirman-Jalan Asia Afrika-Jalan A. Yani, berlanjut ke Sumedang dan seterusnya.

Untuk kelancaran pembangunan jalan raya, dan agar pejabat pemerintah kolonial mudah mendatangi kantor bupati, Daendels melalui surat tanggal 25 Mei 1810 meminta Bupati Bandung dan Bupati Parakanmuncang untuk memindahkan ibu kota kabupaten, masing-masing ke daerah Cikapundung dan Andawadak (Tanjungsari), mendekati Jalan Raya Pos.

2. Tanpa permintaan Deandels pusat kota Bandung memang hendak dipindahkan

Rupanya Daendels tidak mengetahui, bahwa jauh sebelum surat itu keluar, Bupati Bandung sudah merencanakan untuk memindahkan ibu kota Kabupaten Bandung, bahkan telah menemukan tempat yang cukup baik dan strategis bagi pusat pemerintahan.

Tempat yang dipilih adalah lahan kosong berupa hutan, terletak di tepi barat Sungai Cikapundung, tepi selatan Jalan Raya Pos yang sedang dibangun (pusat Kota Bandung sekarang).

Alasan pemindahan ibu kota itu antara lain lantaran Krapyak dinilai tdak strategis sebagai ibu kota pemerintahan, karena terletak di sisi selatan daerah Bandung yang sering dilanda banjir bila musim hujan.

Sekitar akhir tahun 1808 atau awal tahun 1809, bupati beserta sejumlah rakyatnya pindah dari Krapyak mendekali lahan bakal ibu kota baru. Mula-mula bupati tinggal di Cikalintu (daerah Cipaganti), kemudian pindah ke Balubur Hilir, selanjutnya pindah lagi ke Kampur Bogor (Kebon Kawung, pada lahan Gedung Pakuan sekarang).

Tidak diketahui secara pasti, berapa lama Kota Bandung dibangun. Yang terang, menurut banyak sumber, Kota Kembang dibangun bukan atas prakarsa Daendels, melainkan atas prakarsa Bupati Bandung.

Dengan kata lain, Bupati R. A. Wiranatakusumah II adalah pendiri (The Founding Father) Kota Bandung. Kota Bandung diresmikan sebagai ibu kota baru Kabupaten Bandung dengan surat keputusan tanggal 25 September 1810.

3. Masa keemasan Kota Bandung sebagai salah satu pusat peradaban di Hindia Belanda

google

Masa keemasan Bandung sebagai kota kolonial modern terjadi sepanjang periode permulaan abad ke-20 hingga kejatuhan ekonomi tahun 1930. Pada masa keemasan ini, pembangunan semakin gencar dilakukan dibandingkan masa awal kota Bandung abad ke-19.

Tidak hanya itu, pertumbuhan serta dinamika masyarakat Kota Bandung semakin metropolis dengan hiruk-pikuk aktivitas jasa, perdagangan, dan pusat-pusat hiburan. Iklan-iklan pariwisata di Bandung ramai melukiskan pesona kota seperti pada semboyan Bandoeng Vooruit: “Don’t come to Bandoeng, if you left a wife at home” (Kunto, 1986: 276).

Dari buku terbitan Bank Indonesia (BI) Institute, Geliat Kota Bandung Dari Kota Tradisional Menuju Modern, dijelaskan bahwa semboyan tersebut menjadi metafora yang menggambarkan betapa cantiknya Kota Bandung sehingga para pelancong akan ‘jatuh hati’ dibuatnya.

Bab kedua daripada buku itu membahas dinamika Kota Bandung pada masa “Paris van Java”, atau periode puncaknya sebagai kota modern di era kolonial. Diawali dengan bahasan mengenai pembangunan kota, antara lain gedung-gedung perhotelan, taman-taman kota, hingga akses transportasi.

Tidak bisa dipungkiri jika dibangunnya fasilitas penunjang kota berkontribusi cukup besar terhadap geliat Kota Bandung pada masa kolonial.

Selain itu, dibahas pula mengenai situasi perdagangan dan perbankan yang berperan menggerakkan roda ekonomi penduduk kota.

Baca Juga: 5 Tempat Wisata Unggulan di Bandung Lembang yang Wajib Dikunjungi 

Baca Juga: Info Wisata Kawah Putih Bandung: Lokasi, Rute, Harga, dan Tipsnya

Baca Juga: Radio Malabar: Mega Proyek Koloni Belanda di Bandung yang Penuh Ambisi

Berita Terkini Lainnya