Bikin Rentenir Terpukul, 940 UMKM di Cirebon Dapat Suntikan Rp12,7 Miliar

- 940 UMKM di Cirebon mendapat suntikan Rp12,7 miliar dari K/PMR
- BPR menjadi garda terdepan OJK dalam mengurangi ketergantungan masyarakat pada pinjaman ilegal dan bank emok
- TPAKD dan Desa EKI Majalengka dirancang jadi model inklusi keuangan dengan program multiyears hingga 2026
Cirebon, IDN Times- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Cirebon berupaya pemutusan mata rantai rentenir di wilayah Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan (Ciayumajakuning) melalui strategi edukasi dan perluasan akses layanan keuangan formal.
Langkah ini difokuskan pada peningkatan pemahaman pelaku usaha kecil agar tidak lagi terjebak pinjaman berbunga tinggi yang selama ini menggerus modal usaha.
Kepala OJK Cirebon, Agus Muntholib, menegaskan edukasi konsisten dijalankan sebagai fondasi perlindungan konsumen sektor jasa keuangan. Kegiatan literasi diarahkan pada kelompok pelaku UMKM, komunitas desa, hingga masyarakat yang selama ini bergantung pada pinjaman harian.
"Edukasi tersebut dipadukan dengan perluasan kanal layanan perbankan agar masyarakat tidak kesulitan mengakses institusi keuangan formal," kata Agus, Senin (1/12/2025).
1. K/PMR mengalir ke 940 UMKM, BPR Jadi garda terdepan

OJK mencatat kredit/pembiayaan melawan rentenir (K/PMR) yang digerakkan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Kabupaten Cirebon, Majalengka, dan Kuningan telah mencapai outstanding Rp12,73 miliar pada Triwulan III 2025.
Dana tersebut dimanfaatkan oleh 940 pelaku UMKM yang sebelumnya tergolong kelompok paling rentan terhadap pinjaman liar berbiaya tinggi.
Agus menilai perluasan pembiayaan produktif oleh BPR menjadi kunci mengurangi ketergantungan masyarakat pada pinjaman ilegal dan bank emok. Instrumen K/PMR, menurutnya, menciptakan ruang aman bagi pelaku usaha untuk mengembangkan usaha tanpa tekanan bunga harian yang tidak manusiawi.
"BPR memiliki posisi strategis untuk mendekatkan pembiayaan yang sehat kepada masyarakat kecil. K/PMR dirancang untuk memperkuat perputaran ekonomi lokal,” ujar Agus.
Skema ini tidak hanya menyasar permodalan, tetapi juga mendorong pelaku UMKM beralih pada pencatatan keuangan yang lebih tertib. Sebagian debitur yang masuk kategori produktif mulai menunjukkan tren peningkatan omzet, terutama pada sektor perdagangan harian dan kuliner.
2. TPAKD dan Desa EKI Majalengka dirancang jadi model inklusi keuangan

Penguatan akses keuangan di Ciayumajakuning turut digerakkan melalui sinergi lintas lembaga dalam Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah (TPAKD).
Program ini dirancang untuk menghadirkan layanan keuangan di wilayah yang selama ini minim infrastruktur perbankan. Pemanfaatan laku pandai, agen pembayaran, serta inisiatif bank mini desa menjadi tiga instrumen yang terus diperluas.
Pada 2025, TPAKD menjadikan Desa Gunung Kuning di Kabupaten Majalengka sebagai pilot project Desa Ekosistem Keuangan Inklusif (EKI).
Desa tersebut diarahkan berkembang menjadi Desa Wisata Ramah Disabilitas melalui kolaborasi KPw Bank Indonesia Cirebon, Pemkab Majalengka, Pemerintah Desa Gunung Kuning, Bumdes Karya Mekar, serta berbagai pelaku industri jasa keuangan.
Program Desa EKI dirancang dalam tiga fase multiyears hingga 2026: Pra Inkubasi, Inkubasi, dan Pasca Inkubasi. Dua tahap awal telah berjalan selama 2025.
Pada fase Pra Inkubasi, pemetaan terhadap 108 peserta menunjukkan kebutuhan layanan keuangan yang beragam: 51 persen memerlukan tabungan, 4 persen deposito, 19 persen kredit usaha, dan 3 persen pembiayaan kendaraan.
Temuan tersebut menjadi dasar pelaksanaan product matching antara peserta dan lembaga keuangan pada Agustus 2025. Fase lanjutan akan berfokus pada pendalaman dan penguatan pemanfaatan produk keuangan selama 2026.
3. Integritas lembaga diperkuat, misi anti-rentenir diperluas

Agus menegaskan OJK Cirebon memperkuat tata kelola internal melalui penerapan larangan gratifikasi bagi seluruh jajaran. Setiap mitra kerja diminta tidak memberikan hadiah dalam bentuk apa pun untuk menjaga integritas pengawas sektor keuangan.
Kebijakan tersebut digulirkan sebagai bentuk akuntabilitas publik dan komitmen menjaga kredibilitas lembaga.
Ia menilai tantangan pemberantasan rentenir di wilayah Ciayumajakuning memerlukan kolaborasi yang lebih solid antara pemerintah daerah, perbankan, pelaku UMKM, serta aparat penegak hukum.
Praktik rentenir, bank emok, dan pinjol ilegal dinilai masih mudah menjangkau masyarakat yang tidak memiliki akses ke lembaga formal.
“UMKM yang kuat memerlukan ekosistem keuangan yang sehat. Kami memastikan pembiayaan formal hadir sebagai rujukan utama pelaku usaha, bukan pilihan terakhir,” tutup Agus.


















