Waspada! Cirebon Jadi Kota Paling Rawan Tindak Pidana Setelah Bandung

- Kota Cirebon memiliki tingkat kriminalitas tertinggi ke-4 di Jawa Barat
- Mobilitas tinggi dan ketimpangan sosial menjadi pemicu utama kriminalitas di Cirebon
- Tantangan keamanan di tengah pertumbuhan ekonomi memerlukan dukungan sosial dan partisipasi warga
Cirebon, IDN Times - Kota Cirebon berada di peringkat ke-4 tertinggi di Jawa Barat dengan 135 kasus tindak pidana per 100.000 penduduk, atau sekitar 52 persen lebih tinggi dari rata-rata provinsi (89 kasus).
Artinya, dibandingkan rata-rata tingkat kejahatan di Jabar, warga Kota Cirebon menghadapi risiko lebih besar mengalami tindak pidana. Data tersebut dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Barat melalui publikasi bertajuk “Kota Kecil Tak Selalu Aman” pada.
Dalam laporan itu, BPS Jabar menyoroti pola kerawanan kejahatan yang tidak hanya terjadi di wilayah metropolitan, tetapi juga meningkat di kota-kota kecil yang memiliki aktivitas ekonomi padat.
1. Mobilitas tinggi dan ketimpangan sosial jadi pemicu

Kepala BPS Jawa Barat, Darwis Sitorus, menjelaskan tingginya angka kriminalitas di Kota Cirebon menggambarkan kompleksitas sosial di kawasan perkotaan yang sedang tumbuh.
“Kota dengan kepadatan tinggi dan mobilitas ekonomi cepat seperti Cirebon, cenderung memiliki risiko tindak pidana lebih besar. Hal ini sejalan dengan teori urban crime yang menempatkan aktivitas ekonomi sebagai salah satu faktor pemicu,” ujar Darwis, Kamis (30/10/2025).
Menurutnya, posisi Cirebon di peringkat keempat setelah Kota Bandung (168 kasus), Kota Bogor (152), dan Purwakarta (149), menunjukkan kota kecil dengan peran ekonomi strategis tak lagi bisa dianggap aman sepenuhnya.
“Faktanya, Banjar dan Sukabumi juga menunjukkan risiko tinggi. Jadi, kerawanan kejahatan tidak hanya persoalan kota besar, tetapi juga bagaimana aktivitas ekonomi lokal berkembang tanpa keseimbangan sosial,” katanya.
2. Cirebon lebih rawan dari daerah sekitar

BPS mencatat Kota Cirebon mencatat angka kriminalitas jauh lebih tinggi dibanding wilayah sekitarnya, seperti Kabupaten Cirebon (90 kasus) dan Indramayu (113).
Kondisi ini menunjukkan adanya perbedaan pola sosial dan pengawasan antara kawasan urban dan rural di wilayah Pantura.
Darwis menjelaskan, sebagian besar tindak pidana di wilayah perkotaan didorong oleh mobilitas penduduk yang tinggi, ketimpangan sosial, serta lemahnya sistem pengawasan lingkungan.
"Kota Cirebon merupakan simpul perdagangan, pelabuhan, dan transportasi lintas Jawa Barat–Jawa Tengah. Mobilitas seperti ini memperbesar peluang terjadinya kejahatan konvensional seperti pencurian, penipuan, dan kekerasan jalanan,” katanya.
3. Tantangan keamanan di tengah pertumbuhan ekonomi

BPS menyoroti bahwa rata-rata risiko kejahatan di Jawa Barat mencapai 89 kasus per 100.000 penduduk. Beberapa daerah dengan risiko rendah antara lain Tasikmalaya (30 kasus), Kuningan (51), dan Sukabumi (53).
Wilayah tersebut dinilai memiliki tingkat urbanisasi yang terkendali dan sistem pengawasan sosial yang masih kuat.
Darwis menegaskan, peningkatan keamanan tidak bisa hanya bergantung pada aparat kepolisian, tetapi juga memerlukan dukungan sosial dan partisipasi warga.
"Program keamanan berbasis komunitas, penguatan ekonomi lokal, dan pemerataan lapangan kerja bisa menjadi solusi jangka panjang,” katanya.
“Pesan yang ingin kami sampaikan melalui data ini sederhana: kota kecil tidak selalu aman. Ketika aktivitas ekonomi meningkat, tantangan keamanan juga tumbuh. Pemerintah daerah perlu melihat data ini sebagai dasar kebijakan, bukan sekadar angka statistik,” tutup Darwis.

















