Walhi Sebut Banjir Cekungan Bandung karena Rusaknya Ekologis

- Walhi Jawa Barat menilai banjir di cekungan Bandung disebabkan rusaknya ekologis, bukan hanya curah hujan tinggi.
- Pemerintah daerah diharapkan menghentikan pembangunan di wilayah rawan bencana dan memulihkan kawasan lindung.
- Walhi Jawa Barat menuntut audit tata ruang di cekungan Bandung serta pemulihan fungsi ekologis sungai dan sistem drainase berbasis ekosistem.
Bandung, IDN Times - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat menilai, rentetan terjadinya banjir di wilayah cekungan Bandung bukan semata-mata disebabkan karena curah hujan yang tinggi, melainkan rusaknya ekologis.
Walhi menilai, pemerintah daerah termasuk provinsi, terus mengizinkan pembangunan di wilayah rawan bencana dengan dalih pertumbuhan ekonomi dan pariwisata. Seperti di Lembang yang terhitung secara geologis sebagai wilayah rentan kini dipadati bangunan dan villa tanpa memperhatikan risiko bencana.
"Situasi ini memperlihatkan sejauh mana kegagalan pemerintah dalam mengelola tata ruang yang berprinsip pada aspek keselamtan ekologis," ujar Fariz Abiyyu Putra W, Tim Desk Disaster Walhi Jawa Barat, Sabtu (25/10/2026).
1. Perlindungan ruang terbuka hijau lemah

Kondisi ini, menurutnya, diperparah oleh lemahnya perlindungan terhadap ruang terbuka hijau dan kawasan lindung. Ruang resapan dan sempadan sungai yang mestinya menjadi sistem penyangga ekologis justru beralih fungsi menjadi kawasan parkir, kafe, atau bangunan komersil.
Dalam konteks perubahan iklim, lanjut Fariz, intensitas hujan yang kian tinggi mempercepat akumulasi resiko. Drainase yang tidak memadai dan tutupan vegetasi yang kian menurun membuat daya serap tanah anjlok drastis.
"Kombinasi ini menjadikan cekungan Bandung kian rentan terhadap banjir dan longsor setiap kali hujan lebat turun," ujarnya.
2. Bencana banjir bukan peristiwa alami

Walhi Jawa Barat menilai cekungan Bandung telah melewati batas aman ekologis. Pemerintah provinsi Jawa Barat bersama pemerintah kota dan kabupaten sekitarnya harus segara menetapkan kawasan ini sebagai zona darurat ekologis.
"Penetapan ini penting untuk memusatkan upaya mitigasi dan pemulihan lingkungan, bukan sekedar langkah reaktif setelah bencana terjadi," ucap Fariz.
"Pemerintah harus berhenti melihat bencana sebagai sebuah peristiwa alamiah semata, dan mulai menanganinya sebagai dampak dari krisis tata ruang dan kebiajakan pembangunan yang eksploitatif," tuturnya.
3. Fungsi ekologis harus dikembalikan

Lebih lanjut, Walhi Jawa Barat menuntut agar dilakukan audit tata ruang secara menyeluruh di wilayah cekungan Bandung, terutama di kawasan hulu seperti Lembang, Parongpong, dan Cisarua.
Audit tersebut pun, kata dia, harus terbuka untuk publik dan disertai dengan langkah nyata: menghentikan pembangunan baru di kawasan rawan bencana, menegakkan hukum terhadap pelanggaran izin lingkungan, serta memulihkan kembali kawasan lindung dan daerah tangkapan air.
"Pemerintah juga perlu mengembalikan fungsi ekologis sungai, memperlebar ruang terbuka hijau, dan membangun sistem drainase berbasis ekosistem dan bukan sekadar menambah saluran beton yang mempercepat aliran air ke hilir," kata dia.
















