Marak Warga Jabar Jadi Korban TPPO di Kamboja, BP3MI Terima 20 Aduan

- Warga Jabar banyak menjadi korban TPPO di Kamboja, dengan BP3MI menerima 20 aduan khusus dari negara tersebut.
- Pemerintah sudah memulangkan 75 PMI asal Jabar dari Kamboja pada awal semester I tahun 2025.
- Total aduan permasalahan yang dialami PMI Jabar di Kamboja berjumlah sebanyak 397 kasus, mayoritas berkaitan dengan masalah penempatan kerja.
Bandung, IDN Times - Saat ini tidak sedikit warga Jawa Barat banyak menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di Kamboja. Balai Pelayanan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) Jabar pun sudah menerima 20 aduan khusus di negara tersebut.
Termasuk salah satunya pemain sepak bola asal Kabupaten Bandung, Rizki Nur Fadhilah (18 tahun) yang awalnya dikabarkan menjadi korban TPPO di Kamboja, meski kini disebut perjalanannya ke negara tersebut memang berniat untuk bekerja sebagai scammer.
"Iya, khusus untuk kasus Kamboja yang masuk ke aduan kami itu sebanyak 20 kasus yang melapor ke BP3MI, dan alhamdulillah sebagian besar sudah dipulangkan," ungkap Pengantar Kerja Ahli Madya, BP3MI Jawa Barat, Neng Wepi, di Kota Bandung, Sabtu (22/11/2025).
1. Indonesia tidak punya perjanjian resmi dengan Kamboja

Secara total pemerintah sudah memulangkan sebanyak 75 Pekerja Migran Indonesia (PMI) asal Jabar dari negara Kamboja dimana, kata Wepi, hal tersebut telah dilakukan pada awal semester I tahun 2025.
"Di awal tahun 2025 semester satu pemerintah sudah memulangkan kepulangan deportasi sebanyak 75 (PMI) asal Jabar (di mana) korban diiming-imingi, dijanjikan kerja mudah, gaji besar dan minim persyaratan," katanya.
Ada pun untuk total aduan permasalahan yang dialami PMI Jabar di Kamboja disebut berjumlah sebanyak 397 kasus, di mana mayoritas aduan berkaitan dengan masalah penempatan kerja.
"Indonesia tidak memiliki perjanjian resmi untuk penempatan pekerja migran ke Kamboja, sehingga penempatan yang terjadi bersifat non-prosedural (tidak sesuai)," katanya.
2. Jangan mudah diiming-imingi upah besar

Menurutnya, dengan tidak adanya perjanjian resmi untuk posisi penempatan kerja, hal ini juga yang menyebabkan banyak pekerja migran Indonesia rentan terhadap eksploitasi dan TPPO. Sehingga, kini pemerintah sedang berupaya menjajaki kemungkinan melaksanakan perjanjian bilateral untuk melindungi pekerja migran.
Mengenai modus yang dilakukan pelaku tindak pidana TPPO hingga korban akhirnya tergiur untuk berangkat keluar negri secara non-prosedural, Wepi mengungkapkan di antaranya adalah gaji yang besar.
"Apalagi kalau yang informal itu biasanya diiming-imingi uang gaji sekitar Rp5 sampai Rp10 juta, bahkan ada yang diiming-imingi sampai Rp15 juta, padahal itu adalah jeratan kepada korban," ungkapnya.
"Kemudian kalau misalkan tidak berangkat si korban harus mengembalikan uang. Nah, ini modus-modus yang dilakukan oleh para sindikat untuk menarik para korban berangkat ke luar negeri secara non-prosedur gitu," katanya.
3. Diimbau tidak mudah menerima ajakan kerja ke luar negeri dari orang yang tidak dikenal

Dengan begitu, Wepi mengimbau kepada seluruh masyarakat agar tidak tergiur oleh ajakan atau iming-iming dari orang yang tidak dikenal. Apalagi jika ajakan tersebut dirasa tidak wajar.
"Kepada masyarakat untuk waspada, hati-hati dengan iming-iming para pelaku sindikat keberangkatan secara non prosedur, iming-iming gaji besar, berangkat proses secara cepat dan juga tidak perlu dokumen syarat yang lengkap hanya KTP saja bisa langsung berangkat. Nah, ini hati-hati," ujarnya.

















