TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

4 Isu Kritis Ini Dirasakan Masyarakat Jabar saat Hadapi Pemilu 2019

Lembaga pemantau pemilu DEEP nilai ada empat isu kritis

IDN Times/Yogi Pasha

Bandung, IDN Times - Pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 benar-benar menguras energi. Bukan hanya tim pemenangan, relawan, dan pihak yang terkait. Masyarakat Indonesia, khsusunya di Jawa Barat pun ikut merasakan dampak dari perkembangan politik dalam menghadapi pemilu khususnya Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.

Lembaga pemantau Pemilu, Democracy Electoral Empowerment Partnership (DEEP) mencatat sedikitnya terdapat empat isu kritis yang terjadi dalam kontestasi politik di Indonesia tahun ini.

Direktur DEEP, Yusfitriadi mengatakan, empat isu krusial yang berkembang dalam perjalanan Pemilu  2019 ini harus segera diantisipasi agar tercipta pesta politik yang aman, damai dan lancar.

Apa saja empat isu kritis yang dinilai DEEP sangat menguras tenaga dan energi? Yuk, disimak.

1. Persoalan Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang terus bermasalah

IDN Times/Daruwaskita

Direktur DEEP Yusfitriadi mengatakan, salah satu isu kritis yang terjadi selama proses Pemilu 2019 adalah persoalan Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang tidak pernah selesai setiap kali pemilihan umum. 

Menurut dia, persoalan DPT hampir terjadi seluruh daerah. Bukan hanya di Jawa Barat. Bahkan, kata dia, penetapan DPT di Jabar baru bisa rampung pada lima hari menjelang pencoblosan. 

"Tapi DEEP memandang setelah ditetapkan pun itu tidak menjamin masyarakat sudah terkakomodir semua. Masyarakat pun harus mengawal terus proses DPT ini," ujar Yusfitriadi usai menggelar diskusi dengan tema "Catatan Krisis Pemilu 2019" yang berlangsung di Hotel 101, Jalan Ir H Djuanda, Kota Bandung, Jumat(12/4).

Persoalan DPT ini akan berpengaruh terhadap kebutuhan logistik yang diperlukan di saat pemilu berlangsung.  Misalkan, jika DPT tidak sesuai dengan surat suara yang dicetak. "Bayangkan jika DPT itu tidak akurat. Berapa banyak warga yang berhak memilih akan menjadi golput karena tidak terdaftar atau tidak tersedia kebutuhan logistiknya," ujar dia.

2. Politik uang dan dana kampanye daerah

IDN Times/Galih Persiana

Isu krisis kedua dalam Pemilu 2019, kata Yusfitriadi adalah masalah terjadinya potensi politik uang (money politic) yang cukup tinggi. Diprediksi praktik politik uang itu akan terjadi masif di saat masa tenang kampanye atau hari pelaksanaan pencoblosan.

Sebab, kata dia, dugaan adanya praktik politik uang ini karena kebijakan Undang-Undang yang memberikan ketentuan mengenai regulasi ambang batas parlemen (parliamentary treshold) sebesar 4% dari total perolehan suara sah secara nasional.

Artinya, dari berbagai hasil survei saat ini menyatakan hanya lima atau enam parpol yang mampu lolos parliamentary treshold dari 16 parpol terdaftar. Maka menurutnya, setiap parpol akan melakukan segala cara demi meloloskan diri dari persyaratan tersebut.

"Dalam masa tenang dan masa pungut hitung, usaha apapun akan mereka lakukan agar masuk empat persen, termasuk politik uang. Bahkan, mungkin serangan fajar dan itu mencederai proses demokrasi yang kita cita-citakan," imbuhnya.

3. Pemilu 2019 kental dengan politik identitas

Google.co.id

Isu kritis ketiga yang dipandang DEEP dalam menghadapi Pemilu 2019 adalah persoalan politik identitas yang dimunculkan partai politik dan pasangan calon presiden (capres) kedua pihak.

Menurut Yusfitriadi, isu politik identitas ini sangat penting dan menguras energi. Sebab, dalam perjalanannya, politik identitas yang menggiring isu agama sebagai jalan memenangkan pertarungan politik tidak membuat masyarakat cerdas dalam menentukan pilihan dalam merespons dinamika yang terjadi hari ini.

Bahkan, tidak menampik sangat riskan terjadi friksi atau perpecahan di kalangan masyarakat kelas bawah. "Masyarakat itu sekarang memiliki kitab baru yakni WA grup. Dari sana mereka terpengaruh, baik masyarakat level atas hingga paling bawah," ujar dia. 

4. Penyebaran berita bohong atau kampanye hitam

Kominfo.go.id/Siaran Pers

Keempat, maraknya black campaign dan negative campaign melalui media sosial yang membuat masyarakat seolah tergiring untuk menentukan pilihan pemimpin melalui saluran tersebut.

Persoalan kritis keempat ini juga sangat berpengaruh dan penting dalam pelaksanaan Pemilu 2019. Yusfitriadi menyebutkan, peredaran berita bohong (hoaks) di berbagai media sosial belakangan cukup menguras energi dan pemikiran masyarakat. Bahkan, kata dia, tidak sedikit masyarakat yang tergiring percaya dengan isu berita bohong tersebut.

"Sangat riskan terjadi friksi atau perpecahan di kalangan masyarakat baik kelas atas maupun bawah," ujar dia. 

 

Berita Terkini Lainnya