TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Tolak Eksekusi Rumah Adat, Akur Sunda Wiwitan Gelar Aksi Halangi Jalan

PN Kuningan dinilai keliru melihat objectum litis

Laham dan rumah adat Sunda Wiwitan yang sedang dalam perkara sangketa di Pengadilan Negeri Kuningan. (IDN Times/Wildan Ibnu)

Kuningan, IDN Times - Puluhan muda-mudi, tua-muda, laki-laki dan perempuan mengenakan pakaian adat berkumpul di Jalan Miyasih, Kelurahan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Rabu (18/5/2022). Mereka berbaris menghadang akses masuk kendaraan yang akan melakukan kegiatan pencocokan dan peletakan setelah mengeksekusi lahan rumah adat di Blok Mayasih, RT 29 RW 10, Kelurahan Cigugur, Kabupaten Kuningan.

Mereka mengobarkan semangat perlawanan kultural atas perampasan tanah adat dengan melantunkan lagu adat Sunda Wiwitan. Aksi penolakan itu dilakukan dengan iring-iringan atraksi Gamelan Mogang, Angklung Buncis, dan Takol. Puluhan cantrik dari berbagai daerah pun menggelar ritual dan doa untuk masyarakat Sunda Wiwitan. Gerakan itu dimaknai sebagai perlawanan tanpa kekerasan.

Orasi tuntutan penolakan pun disampaikan berbagai elemen masyarakat seperti kelompok Lintas Iman Cirebon, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Universitas Islam Bandung (Unisba), Sekretariat Nasional Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI), dan sejumlah tokoh keagamaan.

Masyarakat Adat Karuhun Urang (Akur) menolak isi surat Pengadilan Negeri Kuningan bernomor W.11.U16/825/HK.02/4/2022 yang dikeluarkan pada akhir April lalu, constatering (pencocokan) dan sita eksekusi perkara Nomor 1/Pdt.Eks/2022/PN KNG jo Nomor 7/Pdt.G/2009/PN KNG dilaksanakan pada Rabu, 18 Mei 2022.

1. Masalah hukum adat tidak bisa diselesaikan dengan hukum nasional

Masyarakat adat Sunda Wiwitan memainkan angklung sebagai bentuk perlawanan kultural atas penolakan eksekusi lahan Sunda Wiwitan. (IDN Times/Wildan Ibnu)

Girang Pangamping masyarakat Akur Sunda Wiwitan, Djuwita Jati Kusumah menilai rencana pencocokan dan eksekusi sita lahan rumah adat itu tidak berdasar. Sebab, masalah hukum adat tidak bisa diselesaikan dengan menempuh hukum nasional.

Dia menilai, selama ini perspektif negara mengabaikan hukum adat dalam penyelesaian masalah adat. Hukum nasional selalu menjadi pertimbangan dalam menentukan keadilan dalam hukum nasional. Padahal, tegas Juwita, tanah adat seharusnya dimiliki secara komunal.

Hal itu, menurutnya, bisa dibuktikan dengan beberapa dokumen penting yang dikeluarkan Pangeran Madrais Sadewa Alibasa dan Pangeran Tedjabuwana yang memberikan hak pengelolaan aset kepada tokoh masyarakat pada tahun 1964 dan 1975.

“Seluruh tanah dan bangunan peninggalan Pangeran Madrais dan Pangeran Tedjabuana sudah jelas kepemilikannya berdasarkan keputusan 1975, tidak untuk dibagi waris,” ujarnya saat memberikan keterangan pers di rumah adat, Blok Mayasih, Kelurahan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, Rabu (18/5/2022).

2. Bukti surat mandat merawat aset adat dari leluhur

Masyarakat adat Sunda Wiwitan memainkan alat musik tradisional angklung sebagai bentuk perlawanan kultural atas penolakan eksekusi lahan Sunda Wiwitan. (IDN Times/Wildan Ibnu)

Djuwita mengatakan, surat pernyataan dari sesepuh Sunda Wiwitan itu memberikan mandat pengelolaan aset-aset leluhur kepada tokoh masyarakat. Termasuk mendirikan yayasan bersama kepada Yayasan Pendidikan Tri Mulya. Tujuannya, tidak lain untuk merawat dan menjaga peninggalan aset komunal.

Akan tetapi, pada 22 April 2022 Pengadilan Negeri Kuningan menerbitkan surat perintah pelaksanaan constatering dan sita eksekusi pada tanggal 18 Mei 2022.

“Ini yang kami beranggapan sangat merugikan masyarakat Adat Karuhun Sunda Wiwitan. Pengadilan melihat cara pandang dengan hukum waris, sementara kami tidak menganggap ini masalah waris, melainkan amanat leluhur,” ujarnya. 

Djuwita menganggap eksekusi Rumah Adat Mayasih diduga dimanipulasi pihak-pihak yang bekerja sama dengan pemohon eksekusi, Jaka Rumantaka, yang berusaha membelokkan sejarah Sunda Wiwitan. Masalahnya, Pengadilan Negeri Kuningan melihat masalah ini dengan cara pandang hukum waris, sementara masyarakat Akur Sunda Wiwitan tidak menganggap ini masalah waris, melainkan amanat leluhur.

“Karena kami berkomitmen melanjutkan hukum-hukum keadatan dan menjaga amanat wasiatnya, makanya kami menolak rencana eksekusi ini. Ini kedua kali dieksekusi dan gagal. Ada pihak yang ingin merampas tanah-tanah adat, membunuh hak-hak kebersamaan ruang hidup dan kebudayaan masyarakat adat,” katanya.

3. Menyerukan hak ruang hidup bagi masyarakat adat

Masyarakat adat Sunda Wiwitan menutup akses jalan masuk menuju rumah adat yang akan dieksekusi oleh Pengadilan Negeri Kuningan. (IDN Times/Wildan Ibnu)

Djuwita memandang, proses pengadilan hingga 11 kali putusan mengalami banyak kejanggalan sehingga membuat keputusan pengadilan memenangkan pihak pemohon eksekusi karena salah memahami objectum litis.

Dia menilai cara pandang Pengadilan Negeri Kuningan memahami objectum litis sebagai sangketa waris, padahal jelas bahwa objectum litis-nya adalah sengketa atas perbuatan melawan hukum (PMH) yang terjadi pada masyarakat hukum adat.

Masyarakat Sunda Wiwitan juga menyerukan agar negara memberikan hak ruang bagi masyarakat adat untuk menyelesaikan permasalahannya melalui ketentuan hukum adat. Termasuk memberikan sanksi kepada pelaku pelanggaran hukum adat yang seharusnya juga dijamin dalam konstitusi.

“Kami bukan bicara tanpa dasar. Tapi untuk mempertahankan keutuhan martabat masyarakat adat, umumnya peradaban masyarakat Indonesia secara luas. Kami telah menempuh berbagai cara meneguhkan eksistensi masyarakat adat dalam bingkai NKRI,” kata Djuwita.

Baca Juga: Kalah di Pengadilan, Lahan Sunda Wiwitan di Kuningan Bakal dieksekusi

Baca Juga: 75 Tahun Indonesia Merdeka, Ini Harapan Masyarakat Sunda Wiwitan

Baca Juga: 11 Kata Watak Manusia dalam Bahasa Sunda, Bahasa asli Urang Sunda

Berita Terkini Lainnya