TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Ombudsman: PPDB 2019 dari Jual Beli Kursi hingga Kartu Keluarga

Segalanya dilakukan demi masuk sekolah favorit

Ilustrasi suap dan politik transaksional (Pixabay/Geralt)

Bandung, IDN Times – Proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2018 lewat sistem zonasi di seluruh SMA dan SMK di Kota Bandung masih berlangsung. Baru menginjak hari kedua, Ombudsman Kantor Perwakilan Jawa Barat sudah menerima sedikitnya 24 laporan masyarakat terkait proses tersebut.

Dari 24 laporan tersebut, ada dua laporan yang bikin dahi mengernyit. Di antaranya ialah dugaan praktik jual beli kursi, hingga jual beli Kartu Keluarga. Menurut Ombudsman, kedua praktik tersebut menjadi laporan rutin yang kerap menghiasi meja kerja mereka setiap PPDB digelar.

Meski demikian, hingga saat ini Ombudsman belum dapat memastikan kebenaran dua laporan tersebut. Kepala Ombudsman Kantor Perwakilan Jawa Barat, Haneda Sri Lastoto, mengaku masih mendalaminya.

1. Laporan jual beli kursi

IDN Times/Galih Persiana

Menurut Haneda, ia telah menerima laporan yang mengindikasikan adanya jual beli kursi antara pihak sekolah dan orang tua calon siswa. Namun, sejauh ini, Ombudsman masih mengumpulkan bukti dari sang pelapor.

“Kami belum (mau) membuka informasi ini,” kata Haneda, kepada wartawan di Kantor Ombudsman Perwakilan Jawa Barat, Jalan Kebon Waru Utara, Kota Bandung, Selasa (18/6).

Namun, jika benar masih terjadi jual beli kursi, hal tersebut akan menjadi pukulan bagi pelayanan pendidikan masyarakat yang sejatinya adil. “Itu merupakan kelemahan yang sangat mendasar, gitu loh. Sistem onasi dan sistem online itu, salah satunya berfungsi untuk memastikan bahwa dalam mekanisme PPDB tidak ada interkasi langsung. Itu kan tujuannya untuk menghilangkan itu (pungli),” tuturnya.

2. Berawal dari stigma masyarakat

irwandi

Sistem jual beli kursi sebenarnya bisa diredam lewat beberapa cara. Salah satunya, ialah dengan menghilangkan stigma sekolah favorit. Pasalnya, kerap kali orang tua dan pihak sekolah bandel bertransaksi uang demi peluang mendapat sekolah favorit.

Padahal, dengan adanya sistem zonasi, pemerintah berharap stigma sekolah favorit berangsur lenyap. Di Kota Bandung sendiri, ada beberapa SMA yang dicap sebagai sekolah favorit, dua di antaranya ialah SMA Negeri 3 dan 5 Bandung.

“Ini problemnya kan memang publik menstigma sendiri, dan kemudian dibenarkan sekolah favorit itu. Akhirnya menaikan gengsi sekolah itu. Problemanya justru di situ,” ujar dia.

3. Tidak hanya terjadi di Bandung

(Ilustrasi suap) IDN Times/Sukma Shakti

Stigma sekolah favorit tidak hanya terjadi di kota besar seperti Bandung, kata Haneda. Di kota atau kabupaten lainnya pun, problema stigma sekolah favorit masih kerap terjadi. “Dari beberapa laporan, di 34 provinsi lain juga punya pemikiran sama,” tuturnya.

“Banyak yang menolak sistem zonasi karena merasa kehilangan kesempatan mendapat sekolah-sekolah favorit. Akhirnya banyak juga yang mengenyampingkan sistem,” kata dia.

4. Jual beli Kartu Keluarga

IDN Times/Sukma Shakti

Laporan lainnya yang bikin dahi mengernyit, ialah tentang jual beli kartu keluarga (KK). Jadi, kata Haneda, ada warga yang melaporkan bahwa praktik jual beli KK yang telah menjadi isu sejak sistem zonasi diterapkan, masih terjadi hingga saat ini.

“Kami sudah menerima laporan itu (jual beli KK) dari satu dan dua minggu lalu,” ujarnya. Masyarakat yang bertempat tinggal dan memiliki kartu keluarga dekat dengan sekolah favorit, kerap kali membuka peluang jual beli tersebut. Dengan masuk ke dalam kartu keluarga itu, kesempatan seorang anak mendapat sekolah yang diharapkan jauh lebih besar.

Yang bikin Haneda kaget, ialah ketika ia mendengar harga dari setiap transaksi jual beli KK. “Waktu disampaikan ke kami, harganya sekitar Rp11 juta. Sampai segitu mahalnya,” ujar Haneda.

Baca Juga: Dedi Mulyadi: Sistem Zonasi PPDB di Indonesia Perlu Disempurnakan 

Berita Terkini Lainnya