TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Semangat Difabel Intelektual Menggapai Asa di Tengah Himpitan Pandemik

Kemandirian anak difabel bukan hal mustahil

Siswa difabel sedang belajar mengikuti arahan guru di PKBM Hidayah, Kabupaten Bandung. IDN Times/Debbie Sutrisno

Bandung, IDN Times - Ruang kelas Yayasan PKBM Hidayah riuh suara siswa yang tengah belajar. Sejak pagi, sekolah pendidikan anak usia dini (PAUD) ini sudah ramai didatangi orang tua yang membawa anaknya untuk belajar tatap muka. Relaksasi aturan untuk membuka pembelajaran tatap muka (PTM) disambut senyum riang siswa dan orang tua.

Di antara suara tawa 50 siswa PAUD yang belajar di sekolah, terdapat satu ruang kelas yang hening. Letak ruangan itu dekat dengan pintu masuk sekolah. Dari balik kaca, kelas ini terlihat cukup gelap. Hanya ada dua guru dan empat murid yang tengah belajar. Kelas tersebut digunakan untuk belajar siswa difabel intelektual.

Sang pengajar adalah Eulis dan Dhea Tri yang ada di dalam kelas. Dua siswa Aji dan Dika , belajar dengan Eulis di salah satu sudut ruangan. Sedangkan, di sisi ruangan lainnya terdapat Dhea yang tengah memberikan pelajar menghitung kepada Galih. Sementara satu siswa lainnya, yaitu Amar yang cukup pemalu belajar terpisah, menggambar dan memasukkan puzzle.

"Kalau sudah menghitung dan menulis, sekarang kita belajar mewarnai. Yang digambar sekarang ayah yah. Pensil warna ada di meja," ujar Eulis memberi arahan pada Aji dan Dika usai keduanya belajar menulis, Senin (13/9/2021).

Aji dan Dika pun sigap mengambil pensil warna. Aji membubuhkan warna oranye di bagian muka gambar ayah, sedangkan Dika menggunakan warna biru. Sesekali mereka bercanda, meninggalkan kursi, berkeliling kelas, lalu duduk kembali di kursi merampungkan tugas mewarnai.

Sementara Aji dan Dika mewarnai, Eulis menuju tempat amat Amar yang ada di samping meja guru. Di balik sekat dari triplek cokelat, siswa sekolah dasar (SD) ini sedang asyik bermain teka-teki puzzle, mulai dari gambar buah-buahan, kendaraan, hingga rambu lalu lintas.

"Kalau Amar ini memang pemalu. Jadi dia belum mau gabung sama yang lain buat belajar. Inginnya belajar sendirian," ungkap Eulis.

PKBM Hidayah terletak di Kelurahan Bojongsari, Kecamatan Bojongsoang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Tempat yang juga disebut Dreamable ini memiliki beberapa ruangan, di mana salah satunya digunakan untuk mengajar siswa dengan difabel intelektual.

Eulis menceritakan, pandemik COVID-19 menjadi momok yang menakutkan bagi para siswa difabel intelektual. Sebab, pada siswa yang selama ini belajar di dalam kelas Dreamable harus berhenti sejenak. Aturan pemerintah yang tidak memperbolehkan ada pembelajaran tatap muka selama pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) membuat mereka kesulitan mengakses pendidikan saat belajar secara daring dari rumah.

Mengakali hal tersebut, saat awal pandemik pada 2020, para guru di Dreamable datang dari rumah ke rumah setiap siswa secara bergilir untuk memberi pelajaran. Namun waktu belajar sangat terbatas. Para siswa pun hanya dapat belajar tatap muka dengan guru satu kali dalam seminggu.

Di awal 2021, guru di PKBM Hidayah sempat membuka kelas secara sembunyi-sembunyi. Hanya mereka yang jarak dekat dan tidak harus dijemput, bisa datang ke sekolah. Sedangkan mereka yang jauh tetap belajar di rumah secara daring, atau ketika guru datang ke kediamannya.

"Kita biasa ada mobil jemputan untuk siswa yang jauh. Tapi karena PPKM pas COVID-19 lagi tinggi-tingginya, susah juga kalau mobil jalan kan nanti ketahuan. Ga enak sama masyarakat. Jadi kita khususkan yang bisa datang sendiri diantar orang tua untuk belajar di sekolah," ungkap Eulis.

Mereka gembira ketika ikut belajar di kelas

Dua siswa difabel intelektual sedang mewarnai gambar lukisan wajah seorang ayah. IDN Times/Debbie Sutrisno

Sudah belasan tahun Eulis berkecimpung mengajar siswa difabel intelektual. Keinginan memberikan ilmu dan membangun kemandirian para siswa itu tidak terlepas dari anak kandungnya yang juga seorang difabel grahita.

Menurutnya, setiap anak difabel memiliki ketertarikan untuk belajar. Meski terlihat lebih sulit mengajar mereka, itu justru salah. Mengajar siswa difabel terlebih yang intelektual justru lebih mudah karena jumlahnya tidak banyak. Mereka pun cenderung menuruti guru ketika merasa sudah nyaman.

"Anak ini senang belajar. Yang jadi masalah justru orang tua yang kadang mikir buat apa anaknya disekolahkan, nanti juga tidak bisa apa-apa," ungkap Eulis.

Pola pikir ini yang ingin diubah Eulis dan rekan guru lainnya. Menurut dia, siswa dengan kebutuhan khusus tetap memiliki peluang untuk mandiri dengan ilmu yang didapat. Musababnya, para difabel pun bisa diajarkan keterampilan yang mampu menunjang keseharian mereka.

Dia mencontohkan, di Dreamable ini sudah siswa dewasa yang kemudian bisa membuat kerajinan tangan seperti busa untuk tusukan jarum, anting-anting, gelang, hingga kerajinan lainnya. Ini membuktikan bahwa mereka bisa berkreasi ketika dibimbing dengan benar. 

"Jadi kita tidak hanya ajarkan belajar saja, ada juga keterampilan. Sekarang sudah lima orang yang sedikit-sedikit bisa mandiri buat keterampilan," kata Eulis.

Saat ini jumlah siswa yang terdaftar di Dreamable ada 52 orang. Angka ini naik turun karena ada yang keluar dan masuk sebagai siswa baru. Eulis berharap siswa difabel yang bersekolah bisa terus bertambah. Dia tidak ingin masih ada orang tua yang menyembunyikan anak difabel intelektual, sehingga mereka mendapat ilmu seperti anak lainnya.

Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2018 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), ketimpangan partisipasi sekolah antara penyandang difabel dan yang bukan difabel masih terjadi. Persentase penduduk usia 5 tahun ke atas penyandang difabel yang masih sekolah hanya 5,48 persen, dan masih ada sebesar 23,91 persen yang sama sekali belum pernah mencicipi bangku sekolah.

Disparitas keadaan difabel juga terlihat dari nilai APM (angka partisipasi murni) di setiap jenjang pendidikan. Kesenjangan tertinggi terdapat pada jenjang SM/sederajat, yaitu APM SM/sederajat penyandang difabel sebesar 24,74 persen dibandingkan APM SM/sederajat bukan penyandang difabel sebesar 61 persen.

Hal ini menandakan di antara empat orang penyandang difabel usia 16-18 tahun, hanya satu orang di antaranya yang masih bersekolah SM/sederajat.

Wulan (28), orang tua Deris (7), salah satu siswa di Dreamable menuturkan, keinginannya menyekolahkan anaknya ke PKBM Hidayah agar bisa belajar seperti anak seumuran lain. Deris yang memiliki masuk dalam kategori tantrum sangat mudah meluapan emosinya. Di sisi lain, dia masih sulit untuk berbicara.

Sempat masuk ke sekolah di dekat rumahnya, Deris kerap mengamuk dan membanting barang di dalam kelas. Alhasil, Wulan menarik Deris dari sekolah tersebut karena khawatir membahayakan siswa lainnya.

"Saya juga ga enak sama orang tua yang lain. Terus sekarang belajar di sini, lumayan ada perubahan untuk berbicaranya. Kalau aktifnya sih masih," ungkap Wulan.

Perubahan meski perlahan ini memberikan harapan untuk Wulan bagi Deris. Dia sangat ingin Deris bisa lancar berbicara dan tidak sering mengamuk. "Semoga Deris bisa lebih baik lagi belajarnya kaya anak yang lain," kata Wulan.

Semangat siswa untuk belajar sangat dirasakan Linda, ibunda Galih. Dia menuturkan, sebelum sekolah di Dreamable anaknya sempat menimba ilmu di sekolah biasa. Namun, Galih sering mendapat perundungan dari teman sebayanya hanya karena dia kurang lancar dalam berbicara. Hal ini kemudian membuat dia enggan bersekolah hampir dua tahun lamanya.

Ketika mencoba menyekolahkan Galih ke Dreamable, dia sangat senang. Di sana tidak ada siswa yang merundungnya. Bahkan teman di sekolah saling dukung ketika sama-sama belajar dan bermain.

"Pas corona (pandemik) gini, kan sekolah jadi di rumah. Nah Galih tuh suka nanya, kenapa sekolah ditutup terus lama banget. Sering setiap bangun tidur dia sudah menyiapkan buku dan tas untuk ke sekolah. Pakaian juga sering dia gunakan," kata Linda.

Baca Juga: Lipstick Untuk Difabel Ajak Perempuan Difabel Semakin Menginspirasi

Butuh dukungan bersama ciptakan kemandirian para difabel

IDN Times/Debbie Sutrisno

Setiap orang berhak mendapat kesetaraan dalam akses pendidikan, kesehatan, dan lainnya, tak terkecuali penyandang difabel. Pemikiran inilah yang menjadi motif Dhea Tri terjun menjadi pengajar anak difabel.

Dhea mengatakan, sebelum menjadi seorang guru, di kampungnya dulu dirinya melihat seorang anak yang tidak sekolah seperti anak sebayanya. Setelah ditelisik, anak itu berkebutuhan khusus dan harus ada penanganan tertentu untuk membuat dia mendapat ilmu setara teman-temannya.

Dari pengalaman itu, Dhea kemudian memilih jurusan di perkuliahan agar bisa mengajar siswa difabel. Hingga akhirnya dia bergabung dengan PKBM Hidayah.

Dhea mengatakan, dari pengalamannya selama ini belajar dan mengajar, satu persoalan yang belum bisa diselesaikan pemerintah adalah membangun kemandirian akan berkebutuhan khusus. Untuk difabel intelektual misalnya, mereka selama ini hanya menjadi obyek bantuan semata. Padahal seharusnya, mereka bisa diberi pelatihan dan akses untuk bisa mandiri termasuk dalam perekonomiannya.

"Karena banyak yang sudah bukan usia sekolah kalau mereka masih sekolah, belajar menulis dan membaca mau sampai kapan. Kemandirian ini harus kita terapkan, mungkin tidak banyak tapi daripada diam di rumah, tidur, tidak ada aktivitas," kata Dhea.

Sebagai yayasan, PKBM Hidayah bukan tanpa usaha memberikan berbagai pelatihan kepada siswa difabel intelektual. Namun, karena dukungan pendanaan mayoritas dari yayasan maka banyak kekurangan untuk memenuhi kebutuhan para siswa.

Seperti untuk pelatihan, seharusnya para siswa bisa mendapat modal kerja di rumahnya masing-masing. Ketika siswa berada di sekolah mereka bisa belajar kerajinan tangan, dan ketika di rumah bisa mengaplikasikannya kembali dengan pendampingan dari pihak keluarga.

Untuk itu, Dhea sangat berharap pemerintah bisa turun tangan memberikan bantuan untuk pelatihan pada siswa. Harapannya, ke depan siswa yang sudah lulus bisa memiliki kemampuan membuat kerajinan secara mandiri.

Sementara itu, Dosen dari Prodi Pendidikan Luar Biasa Universitas Islam Nusantara (Uninus) Emay Mastiani mengatakan, setiap anak berkebutuhan khusus (ABK) memiliki kemampuan tersendiri. Dengan bervariasinya kebutuhan para anak difabel, keahlian mereka pun akan beragam.

Seorang ABK tidak bisa dipinggirkan oleh keluarga maupun masyarakat sekitar, karena ke depannya ketika mereka dewasa, setiap ABK jelas mempunyai berbagai kebutuhan yang harus dipenuhi. Selama ini, para ABK sangat minim mendapatkan sosialisasi, pendidikan, dan pelatihan. Padahal itu merupakan dasar untuk seseorang bisa bertahan.

"Setelah mereka lulus sekolah kan butuh keterampilan yang digunakan untuk mendapat penghasilan, minimal untuk kebutuhan mendasar, yakni makan," papar Emay.

Dengan ilmu yang akan didapat ABK ke depannya, diharap masyarakat bisa lebih menghargai dan tidak memandang sebelah mata anak dengan difabel, karena mereka pun bisa menghasilkan karya hebat.

Baca Juga: Terdampak Pandemik COVID-19, Kaum Difabel Solo Diajari Bisnis Online

Baca Juga: 95 Persen Disabilitas di Enam Provinsi Sudah Vaksinasi Dosis Pertama

Berita Terkini Lainnya