TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Sekolah Sepak Bola, Akar Rumput Timnas Indonesia yang Minim Kompetisi

PSSI harus fokus pada pembinaan, tidak hanya Liga

Ilustrasi sekolah sepak bola di Indonesia. Dokumen Istimewa

Bandung, IDN Times - Kekalahan tim nasional (Timnas) Indonesia dalam gelaran AFF 2022 dari Vietnam kembali membuat negara ini gagal untuk mengangkat tropi perdana piala antarnegara Asia Tenggara (ASEAN). Para pecinta sepak bola Indonesia kecewa. Meski sudah dilatih sosok sekelas Shin Tae-Yong, pasukan Garuda bahkan gagal melaju ke babak final.

Kekecewaan masyarakat pun dilampiaskan melalui berbagai platform media sosial. Berbagai alasan disampaikan mereka. Salah satu yang diutarakan adalah skill pemain timnas khususnya yang ditempa di Indonesia kalah jauh dari lawannya.

Belum selesai persoalan AFF, para pecinta sepak bola kembali dihadapkan dengan kisruh di tubuh Pengurus Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI). Lembaga yang menaungi liga sepak bola di Indonesia harus menghentikan Liga 2 dan Liga 3. Kondisi ini berdampak pada gelaran Liga 1 yang dipastikan tanpa degradasi.

Geram. Itulah yang dirasakan banyak pihak atas keputusan tersebut. Keberadaan Liga 3 dan Liga 2 di Indonesia bukan hanya sekedar kompetisi klub. Karena kompetisi itu merupakan tangga para pemain muda yang sudah berlatih bertahun-tahun untuk menjadi pesepakbola profesional.

Kekesalan atas penghentian liga itu diutarakan Heru Gunawan. Dia merupakan Ketua dan Head Coach Sekolah Sepak Bola (SSB) Graha Permata di Bandung.

Menurutnya, selain berdampak pada pemasukan para pemain di Liga 3 dan Liga 2 yang akan terhenti. Keberadaan liga yang tidak jelas membuat nilai jual SSB berkurang.

"Kalau liganya tidak jelas. Kompetisinya ga ada seperti ini, jumlah siswa yang mau belajar sepak bola di SSB juga turun," kata Heru saat berbincang dengan IDN Times, Jumat (20/1/2023).

Pengurangan siswa SSB sudah pernah terjadi ketika ada dualisme di tubuh PSSI. Karena liga tidak jelas, para orang tua pun jadi enggan memasukan anaknya ke SSB karena enggan anakanya ketika dewasa tak bisa berkancah di level profesional.

Ketika persoalan penghentian liga 3 dan liga 2 sekarang terjadi, banyak omongan miring dari orang tua yang sudah menitipkan anaknya menimbal ilmu di SSB.

1. Banyak berlatih doang ya buat apa

Kegiatan di SSB Graha Permata/Instagram @ssb_graha_permata

Heru menyebut, selama ini kompetisi yang digelas oleh perwakilan PSSI di tingkat provinsi dan kabupaten/kota sangat minim. Yang sudah pasti berjalan adalah Piala Suratin.

PSSI di tingkat daerah sebenarnya sudah mempunya program jangka panjang. Mulai dari pelatihan hingga kompetisi yang bisa menunjang pesepakbola usia dini mendapatkan jam terbang saat bertanding secara serius.

Gelaran kompetisi usia (U)-10, U-12, U-13, U-15, hingga U-17 sudah terjadwal awalnya. Namun, penyelenggarannya masih semrawut. Kadang semua disatukan di akhir tahun. Ada kalanya kegiatan ini tidak berlangsung.

Kondisi itu jelas menyulitkan SSB dalam pembinaan usia dini. Heru mengatakan, tidak bisa seorang anak atau tim sepak bola hanya berlatih terus tanpa ada kompetisi secara kontinyu. Karena tanpa ada pertandingan resmi dalam jangka panjang, keahlian anak pun tidak terasah.

"Kalau event (kompetisi) kecil oleh pihak lain (di luar PSSI) memang ada. Tapi yang harus sering adalah kompetisi yang mengatasnamakan PSSI ini," ungkap Heru.

Di saat para pesepakbola masih berada pada usia dini, mereka haus akan kompetisi. Bertanding melawan lawan dan bisa meraih kemenanganan adalah hal yang dicari. Semangat untuk berlatih muncul ketika anak tahu akan ada kompetisi di kemudian hari yang bakal diikuti.

Yang jadi persoalan, karena kompetisinya tidak ada, anak justru malas untuk berlatih. Mereka berpikir untuk apa terus latihan jika tidak ada kompetisi yang bisa dijadikan ajang mengetahui seberapa jauh hasil latihannya.

2. Pembinaan pemain sepak bola butuh proses panjang

SSB Setia Bandung/Dokumen Istimewa

Pentingnya pembinaan dengan adanya kompetisi berjenjang juga disampaikan pelatih SSB Setia Bandung, Rizky Habibilah. Menurutnya, untuk membentuk seorang pemain atau tim tidak bisa dilakukan hanya dalam hitungan tahun. Butuh bertahun-tahun pembinaan sejak usia dini untuk seseorang mampu menjadi pemain profesional yang mumpuni.

Untuk itu, semua elemen atau pemangku kebijakan harus berfikir dan melakukan tugasnya demi kemajuan sepak bola Indonesia, proses panjang pembinaan dan segala permasalahannya dapat diatasi dengan menyatukan visi menuju kemajuan sepak bola Indonesia.

"Para penggiat sepak bola di akar rumput, para pembina usia muda sangat berharap dari federasi atau PSSI menfasilitasi pelaksanaan kompetisi yang kontinyu berjenjang serta frekuensinya yang sesuai dengan kebutuhan pemain," ujar Rizky.

Selama ini SSB Setia Bandung masih diminati anak-anak yang memiliki mimpi untuk menjadi pemain sepak bola profesional. Mereka pun sangat berharap suatu saat nanti bisa menjadi pemain timnas Indonesia dan membela Tanah Air dalam kompetisi Internasional.

Meski kondisi liga masih saja semrawut, SSB Setia Bandung justru mendapati orang tua masih banyak menitipkan anaknya melakukan aktivitas pengembangan dan pematangan diri untuk bisa main di jenjang sepak bola yang lebih baik.

Ada beberapa kompetisi untuk pemain usia masih dilaksanakan, seperti kompetisi EPA, Suratin, Askot/Askab maupun liga yang dilaksanakan oleh pihak media.

"Sangat disarankan pemain muda memperbanyak pertandingan untuk membantu proses pengembangan kemampuan bermainnya baik secara teknik, mental, dan pemahaman taktik. Tentunya jumlah pertandingan dan durasinya disesuaikan dengan jenjang usia pemain," papar Rizki.

Berita Terkini Lainnya