TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Pendidikan Penghayat Kepercayaan Kurang Terakomodiasi Pihak Sekolah

Perundungan di sekolah juga masih sering terjadi

PENGANUT ALIRAN KEPERCAYAAN. Kiara Candra Puspita (16 tahun) mendengarkan penjelasan pelajaran kepercayaan dari Nugroho (44 tahun), seorang penyuluh aliran kepercayaan, di SMA Negeri 11 Kota Yogyakarta, Kamis 15 Februari 2018 siang. Kiara adalah satu-satunya penganut aliran kepercayaan di sekolah itu. Foto oleh Anang Zakaria/Rappler

Bandung, IDN Times - Aliran kepercayaan saat ini mulai mendapat akses dari pemerintah dalam aktivitas keseharian. Salah satunya penulisan kolom penghayat kepercayaan pada kartu tanda penduduk (KTP).

Meski demikian, masih banyak hal yang harus dipenuhi pemerintah seperti di sektor pendidikan formal. Salah satu penyuluh aliran kepercayaan Budidaya di Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Indra Anggara (20) mengatakan, pemberian ilmu agama seperti siswa pada umumnya sulit diberikan pada sekolah formal. Karena ketika ada pelajaran agama di sekolah tersebut, siswa penghayat kepercayaan tidak bisa belajar aliran yang mereka percayai.

"Jadi karena tidak ada penyuluhnya juga di sekolah-sekolah tersebut. Ketika ada pelajaran agama untuk siswa lain, siswa penghayat kepercayaan paling hanya diam di luar kelas," kata Indra ketika dihubungi IDN Times, Kamis (8/9/2022).

Kondisi ini bukan kabar baik untuk para penghayat kepercayaan, karena pada siswa seharusnya bisa mendapatkan ilmu mengenai kepercayaannya ketika berada di lembaga pendidikan.

1. Siswa penganut kepercayaan tersebar di banyak sekolah

USBN. Septian di antara siswa lain saat mengikuti USBN mapel Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa di SMPN 3 Gandrungmangu, Cilacap. Ia mengerjakan lembar soal mapel Kepercayaan itu seorang diri, sementara siswa lainnya di kelas sama mengerjakan lembar soal mapel Pendidikan Agama. Foto oleh Irma Mufikah/Rappler

Indra mengatakan, saat ini terdapat 63 siswa yang masih belajar dari tingkat sekolah dasar (SD) hingga sekolah menengah atas (SMA). Sementara jumlah penyuluh penghayat memang baru sedikit sekitar 10 orang, di mana 6 perempuan dan 4 laki-laki.

Selain minat lembaga pendidikan untuk memberikan pelajaran pada penghayat kepercayaan, jumlah penyuluh pun jadi kendala sulitnya belajar siswa aliran kepercayaan ketika berada di sekolah. Terlebih dalam satu sekolah biasanya hanya ada beberapa siswa saja.

"Ini juga memang yang jadi persoalan. Kita siswa ada yang tersebar di Lembang (KBB) maupun di sekitar Cimenyan (Kabupaten Bandung). Sedangkan penyuluhnya tidak banyak jadi tidak bisa setiap minggu datang ke sekolah," kata Indra.

2. Peningkatan jumlah penyuluh butuh bantuan pemerintah daerah

Fariz Fardianto

Untuk memperbaiki sistem tersebut, Indra meminta pemerintah daerah (pemda) bisa memberikan pelatihan agar bertambah penyuluh baru aliran kepercayaan. Dengan jumlah penyuluh yang semakin banyak, maka para siswa dari aliran kepercayaan bisa mendapat pendidikannya ketika siswa lain belajar agama.

Saat ini pemberian fasilitas pada penyuluh pun masih minim walaupun sudah mendapat uang pengganti pendidikan sekitar Rp200 ribu hingga Rp300 ribu.

"Harus ada pelatihan bagi calon penyuluh di penghayat sehingga mereka bisa membantu siswa dan siswi untuk belajar di sekolah mengenai kepercayaan yang mereka anut," kata Indra.

3. Sertifikasi untuk penyuluh harus dimasifkan

Sejumlah penghayat kepercayaan sedang mengikuti pengukuhan pengurus MLKI Kota Madiun, Kamis (12/3).IDN Times/Nofika Dian Nugroho

Kondisi serupa dialami siswa-siswa di Aliran Kebatinan Perjalanan (AKP). Salah satu penyuluh AKP, Deni, menuturkan bahwa pembelajaran siswa memang mayoritas masih mengandalkan orang tua dan teman-teman komunitas ketika berada di pasewakan. Mereka mendapat berbabagi banyak informasi mengenai kepercayaannya ketika berlajar bersama, tidak di ruang kelas seperti siswa lainnya.

Deni menuturkan, persoalan ini memang belum bisa dituntaskan karena berbagai hal, mulai dari pihak lembaga pendidikan yang tidak paham mengenai adanya penghayat kepercayaan hingga minimnya penyuluh yang bisa memberikan pelajaran.

"Jadi itu balik lagi ke sekolah apakah mereka punya kurikulum untuk penghayat kepercayaan atau tidak. Setiap sekolah punya kebijakan masing-masing terkait ini," kata Deni.

Menurutnya, di Kota Bandung sudah ada beberapa sekolah yang menyediakan ruangan atau sanggar khusus untuk siswa penghayat kepercayaan ketika siswa lain belajar agama.

Jumlah AKP di Kota Bandung yang sudah memiliki KTA lebih dari 100 orang. Sedangkan penyuluh pendidikan kepercayaan di AKP sekitar 10 orang. Jumlah ini memang masih sedikit untuk memberikan pelejaran kepercayaan pada siswa yang tersebar di banyak sekolah.

Deni pun berharap pemberian pendidikan kepada calon penyuluh bisa dilakukan lebih masif sehingga jumlahnya semakin banyak.

"Selain harus turun mencari para penyuluh, memang dari anggota sendiri tidak sedikit yang minder ketika mereka harus jadi penyuluh," paparnya.

Baca Juga: 5 Aliran Sesat Pernah Hadir di Jabar, Ada Aliran Hidup Dibalik Hidup

Berita Terkini Lainnya