TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Fasilitas Penunjang Minim, Dokter Spesialis Enggan ke Daerah

Dokter spesialis hanya tersebar di kota besar

ilustrasi dokter (freepik.com/jcomp)

Bandung, IDN Times - Kementerian Kesehatan memulai langkah untuk memenuhi jumlah dokter spesialis agar tidak menumpuk di kota besar. Salah satunya adalah membenahi fasilitas hingga memberikan beasiswa untuk calon dokter spesialis.

Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jawa Barat Dr. Eka Mulyana mengatakan, persoalan jumlah dokter spesialis memang sudah lama. Karena jumlahnya tidak banyak sehingga pendistribusian ke berbagai daerah pun sulit dilakukan secara merata.

"Khususnya di daerah terpencil ini juga terkait dengan sarana prasarana kesehatan yang mendukungnya. Fasilitas ini penting untuk terpenuhina pelayanan spesialis terkait," kata Eka kepada IDN Times, Jumat (6/1/2023).

Seperti contoh, ketersediaan alat USG tidak ada di setiap fasilitas kesehatan tingkat pertama atau puskesmas. Padahal peralatan tersebut bisa mendukung pelayanan kesehatan untuk menurunkan angka kematian ibu (AKI) atau angka kematian bayi (AKB).

1. Jangan sampai pelayanan primer menumpuk di Rumah Sakit

Petugas medis (kanan) menyimulasikan pemberian vaksin COVID-19 di Puskesmas Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Kamis (19/11/2020). ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah

Menurutnya, ketersediaan sarana dan prasarana penunjang kesehatan seharusnya bisa ada di setiap puskesmas atau tingkat desa, khususnya di daerah terpencil. Sehingga ketika ada masyarakat yang harus mendapatkan perawatan tidak bepergiaan ke rumah sakit (RS) yang jaraknya jauh.

Itu juga bisa membuat jumlah pasien tidak menumpuk di rumah sakit. Karena penumpukan yang terjadi bisa membuat pelayanan pada pasien kurang optimal.

"Inilah yang membuat fasilitas itu penting ada di daerah," ungkap Eka.

2. Biaya untuk jadi dokter spesialis tidak murah

Di sisi lain, Eka menyebut bahwa untuk mencetak dokter maupun dokter spesialis tentu memerlukan standar minimal yang harus dipenuhi dalam pendidikannya. Karena profesi ini bersangkutan dengan nyawa manusia, dan hal tersebu berlaku untuk seluruh dunia kedokteran.

Pun dengan persoalan biaya untuk menjadi seorang dokter bahkan sampai mendapat gelar spesialis itu tidak murah. Setiap jenjang ketika ingin menjadi dokter biayanya besar, terlebih ketika orang tersebut ingin mengambil spesialis.

"Hal ini tentulah membutuhkan biaya yang tidak sedikit sesuai kompetensi keahliannya," ungkap Eka.

3. Dunia pendidikan harus berani tempatkan lulusan dokter ke daerah terpencil

Coretanbunda.com/Sulis

Buruknya penyebaran dokter spesialis juga diakui Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI). Perwakilan PDGI drg. Usman Sumanti mengatakan, jumlah dokter spesialis gigi di Indonesia masih sangat sedikit. Bahkan mayoritas dari mereka berada di kota-kota besar, tidak merata di seluruh daerah.

"Dokter gigi spesialis di Indonesia ini kurang. Di Asean saja, kita setara dengan negara kelas menengah bawah. Kita cuma punya 4.500 jumlah dokter gigi spesialis se-Indonesia. Dan ini rata-rata hanya menumpuk di kota besar," ujar kata Usman.

Menurutnya, perlu ada pemerataan tenaga medis sampai ke daerah terpencil. Jika tak ada regulasi dan percepatan regenerasi, dalam kurun 15 tahun ke depan kebutuhan akan dokter gigi spesialis tidak bisa terpenuhi.

"Saya berharap Unpad dan universitas lain di kota besar melalui poli gigi umumnya bisa mencetak dokter gigi baru. Mereka bisa ditempatkan ke daerah terpencil yang kita ikat melalui regulasi," paparnya.

Berita Terkini Lainnya