Cerita Kampung Toleransi Bandung yang Rukun Meski Berbeda Agama
Selalu jadi rujukan masyarakat luar dan dalam negeri
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Bandung, IDN Times - Belakangan ini masyarakat sempat dihebohkan dengan adanya satu keluarga yang tidak diperbolehkan untuk tinggal di suatu daerah karena dia memeluk agama nonmuslim. Alasannya dusun tempat dia akan menetap tidak memperbolehkan nonmuslim tinggal berdekatan dengan warga lain yang seluruhnya adalah muslim.
Setelah sempat menghebohkan lini massa media sosial maupun pemberitaan, aturan dusun yang ada di Dusun Karet, Desa Pleret, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta ini pun kemudian dicabut. Keluarga yang sebelumnya dilarang tinggal ini bisa menempati rumahnya.
Belum reda persoalan ini diperbincangkan masyarakat, sejumlah nisan di tempat pemakaman umum Bethesda, Mrican, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta, diduga dirusak oleh orang tak dikenal. Nisan yang terbuat dari kayu hangus terbakar, sementara sebagian telah dicopot.
Dua perkara ini pun kembali memunculkan isu masyarakat di Indonesia yang intoleransi. Padahal selama ini pemerintah maupun masyarakat sipil lain telah bahu-membahu berupaya menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara toleran. Terlebih negara ini dihuni oleh banyak suku, adat, budaya, dan agama.
1. Gang Ruhana yang damai meski tiga tempat ibadah saling berdekatan
Sebuah gapura berwarna hijau bertuliskan Masjid dan Madrasah Al-Amanah menjadi gerbang utama untuk masuk ke rumah-rumah penduduk yang saat ini dinamai Kampung Toleransi. Kawasan ini berada di RT 1 dan 2, RW 02 Kelurahan Paledang, Kecamatan Lengkong. Untuk menuju rumah warga kita bisa dari Jalan Lengkong Kecil.
IDN Times bertemu dengan Ketua RW 02, Rini Ambarwulan, yang selama ini tinggal di Kampung Toleransi. Dia pun bercerita selama ini tidak pernah ada gesekan antarwarga yang berbeda agama meski di kawasan ini terdapat masyarakat dengan tiga agama yang berbeda.
"Kerukunan di sini dari jaman dulu, jaman orang tua kita hingga sekarang masih pada rukun," ujar Rini membuka percakapan kami di rumahnya, Minggu (7/4).
Dia menuturkan, awal mula tempat ibadah di bangun di kawasan ini adalah Gereja Pantekosta sekitar 1933, yang berada di depan gang tepat di pinggir jalan besar. Setelah itu baru lah dibangun Vihara Giri Metta sekitar 1946. Sedangkan untuk pembangunan masjid sendiri baru selesai pada 2014.
Baca Juga: Kasus Slamet dan Kejadian Intoleransi di Yogyakarta
Baca Juga: Segitiga Emas Kampung Sawah, Bukti Masih Ada Semangat Toleransi
Baca Juga: Sejumlah Nisan di Makam Bethesda Yogya Dirusak Orang Tak Dikenal