TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

BNN Berencana Awasi Penggunaan Vape Sampai ke Konsumen 

Rokok elektrik pun memiliki risiko cukup berbahaya.

parade.com

Bandung, IDN Times - Badan Narkotika Nasional (BNN) berencana melakukan pengawasan penggunaan vaporizer (vape) hingga ke tingkat pengguna. Pengawasan itu tidak terlepas dari isu penggunaan liquid vaporizer yang kerap dikaitkan dengan cairan ekstasi.

Kepala BNN, Komisaris Jenderal Heru Winarko, menuturkan saat ini pengawasan peredaran vape dan cairannya tidak dilakukan oleh satu kementerian atau lembaga. Setidaknya ada Kementerian Perdagangan, Kementerian Keuangan, Kementerian Kesehatan, BNN, Polisi, hingga Balai POM. Banyaknya kementerian dan lembaga ini justru membuat peredaran barang tersebut pengawasannya kurang maksimal.

"Karena banyak yang mengawasi (kementeriannya), jadi ini perlu ada kluster bagaimana sampai ke an user (pengguna)," ujar Heru di Kampus ITB, Kota Bandung, Selasa (2/10).

1. Vape dan carirannya mayoritas diimpor

IDN Times/Debbie Sutrisno

Heru mengatakan, pengawasan baran ini menjadi penting karena mayoritas vape beserta cairannya bukan berasal dari Indonesia. Sehingga belum ada standar mutu yang memperjelas produk tersebut layak atau tidak digunakan oleh masyarakat.

Ia mengkhawatirkan adanya penjual bandel yang memasukkan cairan atau zat narkoba tertentu ke dalam liquid vape impor. "Sekarang kalau tidak salah 80 persen vape ini impor, dan itu yang perlu diawasi," papar Heru.

2. Waspadi beban ganda rokok elektrik pada remaja

fox

Sementara itu, Ketua Badan Khusus Pengendalian Tembakau Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Widyastuti Soerojo mengatakan, rokok elektronik bisa menjadi beban ganda konsumsi nikotin pada remaja, selain melalui rokok biasa.

"Hal itu akan kontraproduktif terhadap pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing," kata Widyastuti dilansir Antara.

Kekhawatiran itu tidak berlebihan karena berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2018, prevalensi perokok biasa pada penduduk usia 10 tahun hingga 18 tahun meningkat menjadi 9,1 persen dari sebelumnya 7,2 persen pada 2013.

Sedangkan prevalensi perokok elektronik penduduk usia 10 tahun hingga 18 tahun adalah 10,9 persen menurut Riset Kesehatan Dasar 2018, meningkat tajam dari 1,2 persen berdasarkan Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016.

"Penggunaan rokok elektronik pada anak-anak dan remaja dapat merusak otak bagian depan yang memiliki fungsi kognitif, pengambilan keputusan, kekuatan memori, dan stabilitas emosi," kata Tuti.

Selain itu, rokok elektronik diduga kuat berhubungan dengan gangguan paru berat dan mematikan. Atas kondisi ini dia meminta pemerintah tidak melakukan pembiaran yang dapat menjerumuskan anak dan remaja Indonesia ke dalam risiko kerusakan akibat rokok elektronik.

Baca Juga: 8 Bahaya Rokok Elektrik untuk Kesehatan, Karsinogenik?

Baca Juga: Mengupas 7 Mitos Vape yang Harus Kamu Tahu Kebenarannya, Apakah Aman?

Berita Terkini Lainnya