TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Warga Subang Olah Daun Nanas Jadi Serat Pakaian yang Eksotis

Serat daun nanas sempat diekspor ke beberapa negara

IDN Times/Abdul Halim

Subang, IDN Times - Buah nanas menjadi produk hortikultura unggulan di Kabupaten Subang sejak lama. Namun, belum banyak yang tahu, ternyata daun nanas juga bisa diolah menjadi produk serat kain yang berkualitas dengan potensi ekonomi cukup besar untuk Subang pada masa mendatang.

Seorang warga lokal asal Desa Cikadu Kecamatan Cijambe, Alan Sahroni (33) membuktikan potensi tersebut. “Dari satu hektare itu bisa dapat 10-15 ton (bahan baku daun nanas). Di Subang ada sekitar 3.000 hektare, jadi kita punya bahan baku yang banyak,” katanya belum lama ini.

Alan mengakui pada awalnya daun nanas kurang bernilai ekonomis. Setelah dipanen, daun nanas biasanya dibuang atau hanya dijadikan pupuk dan pakan ternak. Namun, para petani bisa mendapatkan keuntungan tambahan setelah ia mulai mengolah limbah tersebut menjadi produk yang menarik.

1. Mengolah daun nanas setelah memenangkan lomba bisnis

IDN Times/Abdul Halim

Alan mengklaim sebagai orang pertama yang mengolah daun nanas menjadi serat untuk dijadikan benang dan kertas. Inovasi tersebut tercipta setelah ia memenangkan Lomba Rencana Bisnis tingkat Nasional yang digelar Kementerian Perindustrian pada 2013 silam.

“Uang dari hadiah lomba tersebut dijadikan modal awal untuk membeli bahan baku dan peralatan seperti dekortikator yang dimodifikasi sendiri dari mesin ekstraksi,” kata Alan yang merupakan lulusan teknik tekstil itu.

Dengan inovasi dan kerja kerasnya selama ini, ia pun berhasil membuat produk benang dan kain yang diekspor ke berbagai negara. Di antaranya, Singapura, Malaysia, Jepang bahkan hingga ke Jerman.

2. Produk serat daun nanas sempat diekspor ke beberapa negara

IDN Times/Abdul Halim

Untuk ke Singapura saja, perusahaannya yang diberi nama Alfiber, mampu mengekspor sebanyak total 1,2 ton serat kering. Ekspor tersebut dilakukan pada Mei 2021 hingga April 2022 lalu atau sekitar 200 kilogram per bulan.

Serat kering tersebut dijual untuk ekspor seharga Rp 180 ribu per kilogram. Sedangkan, untuk harga jual di dalam negeri, Alan menetapkan senilai Rp 200 ribu sampai dengan Rp 215 ribu per kilogram tergantung kualitas dan proses produksinya.

Ia juga menjual produk kain dan pakaian yang sudah jadi seharga ratusan ribu rupiah. Nilai tersebut tergantung dari bentuk dan permintaan pemesannya. Produk-produk tersebut biasa dijual ke berbagai kota di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Padang hingga Surabaya.

3. Kapasitas produksi rendah tidak mampu penuhi pesanan

IDN Times/Abdul Halim

Namun, Alan mengaku sudah tidak mengekspor bahan baku kain karena terkendala kapasitas produksi yang rendah. “Mereka (pasar luar negeri) minta satu ton per bulan tapi kami belum bisa karena kapasitas produksi mesin masih terbatas,” katanya menyesalkan.

Selain itu, proses produksi yang panjang dan dilakukan secara manual juga membuat harga jual produknya cukup mahal dibandingkan kain pabrikan. Meskipun demikian, Alan menilai harga yang mahal bukan persoalan utama bagi pemesan dari luar negeri karena mereka lebih melihat kualitas serat nanas yang baik.

“Jika dibandingkan kain berbahan alami lainnya, serat daun nanas dinilai lebih berkualitas, lebih kuat. Tapi dibandingkan dengan kain pabrikan memang masih kalah karena kami masih memproduksi semuanya secara manual,” tutur Alan.

Baca Juga: Investor Jepang Pindahkan Pabrik ke Subang Smartpolitan

Baca Juga: Moratorium Arab Saudi Dicabut, Disnaker Subang Kirim Pekerja Migran

Baca Juga: Dampak Krisis Global, 10 Ribu Pekerja Garmen di Subang Di-PHK

Berita Terkini Lainnya