Wajah Jakarta Tahun 1939: Banyak Muslim tapi Tidak Taat
Dulu kualitas air Jakarta bisa langsung diminum, lho!
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times – Ibu Kota Indonesia, Jakarta, mengalami perkembangan pesat dari berbagai hal dalam waktu satu abad terakhir. Kota satu ini amat spesial, karena memiliki status setingkat dengan provinsi. Dalam perkembangannya, Jakarta sempat beberapa kali berganti nama, mulai dari Sunda Kelapa, Jayakarta, hingga Batavia.
Pada 1939, beberapa peneliti Allied Geographical Section mengunjungi Jakarta, yang ketika itu masih bernama Batavia, hingga ke Bandung. Penyusuran dilakukan di sepanjang Jakarta hingga Bandung, melintasi dua jalur utamanya yakni via Bogor, Sukabumi, dan Cianjur; juga via Karawang, Purwakarta, dan Padalarang.
Penelitian dilakukan dengan banyak indikator, mulai dari bentuk pemerintahan, jumlah penduduk, hingga suplai listrik dan air di setiap kota yang peneliti kunjungi. Setelah meneliti secara lengkap, Allied Geographical Section kemudian menerbitkan buku Studi Ruang Lingkup (Terrain Studies) Batavia-Bandung. Buku itu kini diakses lewat Perpustakaan Hargrave-Andrew, Monash University, Australia, dan menjadi salah satu literasi yang lengkap untuk mengungkap bagaimana kondisi Jakarta hingga Bandung sekitar tahun 1939.
Dalam buku itu tertulis, Jakarta dibagi atas tiga wilayah yakni Kota Tua di sebelah utara, Weltevreden atau sering disebut kota baru di sebelah selatan, dan area Meester Cornelis di sebelah paling selatan. Ketiganya merupakan bagian daripada Batavia, dengan luas sekitar 66 mil persegi (sekitar 106 kilometer persegi).
Kota Tua didirikan oleh Gubernur Jenderal Coen pada era Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Kota Tua, yang ketika buku itu ditulis telah berusia tiga abad lamanya, berkali-kali mengalami rekonstruksi dengan penanganan yang buruk.
"Banyak kanalnya telah ditutup, dan sekarang menjadi jalan raya," tulis buku itu.
Ketika jurnal disusun, tidak ada orang Eropa yang mau tinggal di Kota Tua karena dianggap tidak sehat. Kota Tua ini sebagian besar dihuni oleh penduduk keturunan Tiongkok dengan ekonomi menengah ke atas, yang justru menolak untuk pindah ke daerah yang lebih modern seperti Weltevreden.
Weltevreden sendiri merupakan kawasan perumahan yang sebagian besar dihuni orang-orang Eropa setelah minggat dari Kota Tua sejak awal abad ke-19. Ketika itu, daerah ini telah mengalami beberapa kali perluasan.
Di sebelah selatan Weltevreden, adalah kota Meester Cornelis yang dihapus sebagai kota mandiri pada tahun 1935 dan bergabung dengan Batavia. Meester Cornelis merupakan seseorang dengan harta kekayaan melimpah, dan memiliki kebun besar di daerah Ciliwung.
Di Batavia dengan iklim yang panas ini, pemerintahan diatur oleh wali kota beserta para dewannya yang terdiri dari 42 anggota. Dewan-dewan itu terdiri dari 24 orang Belanda, 12 pribumi, dan enam warga keturunan lainnya.
Pembagian tugas pemerintahannya cukup simpel. Administrasi harian merupakan tanggung jawab wali kota dan empat anggota dewannya. Sementara dewan lainnya mengurusi hal-hal lain seperti pekerjaan umum dan sistem penyediaan air, pengembangan dan perumahan, kesehatan, pemadam kebakaran, dan kedokteran hewan.
Di sisi lain, ketika itu Jakarta dijaga oleh 1.250 aparat polisi yang berada di bawah kendali Residen Batavia sebagai Kepala Polisi.
1. Dihuni oleh pribumi, orang Eropa, dan keturunan Tiongkok
Buku Studi Ruang Lingkup (Terrain Studies) Batavia-Bandung ini mencatat sensus Batavia terakhir, yakni pada tahun 1930, di mana sensus dibagi menjadi beberapa kategori berdasarkan ras. Dalam buku tersebut, tercatat bahwa Batavia dihuni oleh 409.655 orang pribumi, 37.076 orang Eropa, 78.815 orang Tiongkok, dan 7.469 warga asal negara lainnya, hingga jika ditotalkan Jakarta dihuni oleh 533.015 jiwa pada 1930 (dengan asumsi peningkatan jumlah penduduk sebesar 11 persen pada 1939).
Sebagian besar daripada orang Eropa ketika itu merupakan pegawai pemerintahan dan pedagang kelas kakap. Orang Tiongkok tercatat menjadi kaum yang selalu sibuk akan urusan dagang dan industri, begitu pula warga negara lainnya yang menetap di Jakarta untuk urusan yang sama.
Sementara, "penduduk asli bekerja sebagai pekerja kasar, buruh, dan pedagang skala kecil," tulis buku tersebut.
"Penduduk asli adalah para penganut Mohammedans (Islam), tetapi tidak dengan kepatuhan yang sangat ketat."
Baca Juga: Radio Malabar: Mega Proyek Koloni Belanda di Bandung yang Penuh Ambisi
Baca Juga: [Fragmen Lapas Sukamiskin I] Soekarno dan Tudingan Makar di Bandung
Baca Juga: Paguyuban Pasundan, Organisasi Bersejarah yang Lahir karena Cemburu