TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Percepat Penurunan Emisi, Indonesia Butuh Bantuan Global

Pajak karbon dinilai beri banyak manfaat

Ilustrasi energi listrik terbarukan. (Pixabay.com/bones64)

Bandung, IDN Times – Pemerintah Indonesia tak bisa jalan sendiri untuk mempercepat penurunan emisi maupun net zero emission/NZE (netralitas karbon) pada 2060. Target itu, tak lain sesuai dengan kesepakatan COP-26 di Glasgow Scotland pada November 2021.

Menurut Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Dadan Kusdiana, Indonesia telah melakukan banyak hal untuk mencapai NZE, namun percepatan tak dapat dilakukan tanpa dorongan global.

"Dukungan global akan mempercepat pencapaian target penurunan emisi," kata Dadan Kusdiana, dalam webinar IDE Katadata 2022, dengan tema Carbon Tax at The G20: Building Momentum to Accelerate a Green Recovery, Jumat (8/4/2022).

1. Seluruh operasi PLTU berakhir pada 2056

Ilustrasi PLTU. (Dok. Istimewa)

Dadan melanjutkan, pemerintah telah melakukan beberapa kebijakan untuk menuju NZE. Pertama ialah dengan mengembangkan energi terbarukan secara masif dengan sumber tersebar, bervariasi, dan dalam jumlah besar. Dalam catatan Kementerian Energi, potensi energi terbarukan di Indonesia mencapai 3.700 gigawatt (GW).

Kebijakan kedua berupa pengurangan penggunaan energi fosil secara bertahap. Selanjutnya yang ketiga, pemerintah telah mendorong penggunaan elektrifikasi baik untuk kendaraan bermotor maupun peralatan rumah tangga, serta penerapan teknologi yang lebih efisien dan ramah lingkungan.

Pada 2060, kata Dadan, Pemerintah Indonesa telah komit untuk mengganti seluruh kebutuhan listrik dengan energi terbarukan.

Berdasarkan perhitungan Kementerian Energi, seluruh operasi pembangkit PLTU akan berakhir pada 2056 dan kebutuhan kapasitas pembangkit EBT pada 2060 sebesar 587 GW.

Untuk mencapai target tersebut, dibutuhkan investasi sangat besar: sekitar USS 1.042 miliar. Dari sini lah Indonesia memerlukan peran global, dan kesulitan untuk jalan sendirian.

2. Pajak karbon akan tambah dana pembangunan pemerintah

Ilustrasi Pajak Karbon (IDN Times/Aditya Pratama)

Sementara itu dalam upaya mengurangi emisi gas rumah kaca, pemerintah telah menerbitkan Undang-undang nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. UU ini akan menerapkan pajak karbon pada PLTU Batubara mulai 1 Juli 2022 dengan mekanisme cap tax.

Pajak karbon akan dikenakan kepada PLTU yang melampaui ambang batas emisi yang ditetapkan.

Menurut Dadan, bila pajak karbon sudah diterapkan, penerimaan itu dapat bermanfaat untuk menambah dana pembangunan, investasi teknologi ramah lingkungan, atau memberi dukungan kepada masyarakat berpendapatan rendah dalam bentuk program sosial.

"Kebijakan pajak karbon ini merupakan paket kebijakan komprehensif untuk pengurangan emisi dan sebagai stimulus untuk transisi menuju ekonomi hijau atau yang berkelanjutan," ujarnya.

3. Penerapan pajak karbon timbulkan banyak manfaat

Ilustrasi Pajak (IDN Times/Arief Rahmat)

Senior Associate, Lead Energy Taxation, International Institute for Sustainable Development (IISD), Tara Laan, mengatakan penerapan pajak karbon akan memberikan sinyal kepada para investor soal komitmen kebijakan iklim pemerintah. Penerapan pajak karbon juga akan mendorong perusahaan untuk beralih ke teknologi energi yang lebih bersih.

Bagi perusahaan pembiayaan, pengenaan pajak karbon terhadap penggunaan energi fosil akan membuat pemberian kredit di sektor ini menjadi lebih berisiko dan kurang menguntungkan di masa depan.

Sebagai sumber pendapatan baru bagi pemerintah, menurut Tara, pajak karbon sendiri bisa dipakai untuk membiayai rupa-rupa kebijakan transisi energi. Salah satunya untuk membuat harga energi tetap terjangkau.

Baca Juga: Roadmap Pasar Karbon Belum Sinkron, Pajak Karbon Bakal Tertunda?

Baca Juga: Pemerintah Tunda Pungut Pajak Karbon hingga 1 Juli 2022

Baca Juga: Ada Pajak karbon, Harga BBM dan Elpiji Bakal Naik

Berita Terkini Lainnya