Kesalahan Umum dalam Mitigasi Bencana yang Masih Sering Terjadi

- Mitigasi bencana penting sebelum kejadian
- Masyarakat perlu memperhatikan informasi resmi
- Rencana evakuasi dan keterlibatan keluarga sangat penting
Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan risiko bencana alam tertinggi di dunia. Mulai dari gempa bumi, banjir, tanah longsor, hingga letusan gunung api, semuanya berpotensi terjadi kapan saja.
Sayangnya, tingginya risiko ini belum selalu diimbangi dengan kesiapan masyarakat dalam melakukan mitigasi bencana.
Banyak orang masih menganggap bencana sebagai kejadian yang sepenuhnya tak bisa dihindari, sehingga upaya pencegahan dan kesiapsiagaan kerap diabaikan. Padahal, mitigasi bencana bertujuan untuk meminimalkan dampak, bukan menghilangkan risiko sepenuhnya.
Berikut beberapa kesalahan umum dalam mitigasi bencana yang masih sering terjadi di masyarakat dan perlu segera dibenahi:
1. Menganggap mitigasi bencana tidak penting sebelum kejadian

Kesalahan paling umum adalah anggapan bahwa mitigasi baru diperlukan setelah bencana terjadi. Banyak orang merasa aman selama belum ada tanda-tanda bahaya, sehingga enggan menyiapkan rencana evakuasi atau perlengkapan darurat.
Padahal, mitigasi justru paling efektif dilakukan sebelum bencana datang. Tanpa persiapan, kepanikan saat bencana bisa memperbesar risiko korban jiwa maupun kerugian material.
Kurangnya edukasi dan latihan kebencanaan juga membuat masyarakat tidak tahu harus berbuat apa saat situasi darurat terjadi.
2. Mengabaikan informasi dan peringatan resmi

Masih banyak masyarakat yang meremehkan peringatan dini dari pihak berwenang, seperti BMKG atau BPBD. Informasi cuaca ekstrem, potensi banjir, atau peringatan gempa sering kali dianggap berlebihan atau sekadar formalitas.
Akibatnya, evakuasi terlambat dilakukan dan risiko menjadi lebih besar. Dalam banyak kasus, korban justru muncul karena masyarakat memilih bertahan meski sudah ada peringatan bahaya.
Sikap skeptis terhadap informasi resmi ini menjadi tantangan besar dalam upaya mitigasi bencana di Indonesia.
3. Tidak memiliki rencana evakuasi yang jelas

Banyak keluarga belum memiliki rencana evakuasi yang disepakati bersama. Saat bencana terjadi, anggota keluarga bisa terpisah dan tidak tahu harus menuju ke mana.
Rencana sederhana seperti titik kumpul, jalur evakuasi, hingga kontak darurat sering kali belum dipikirkan. Padahal, hal ini sangat krusial terutama di wilayah rawan bencana.
Tanpa perencanaan, proses evakuasi menjadi kacau dan memakan waktu lebih lama, sehingga meningkatkan risiko keselamatan.
4. Mengandalkan mitos dan informasi keliru

Kesalahan lainnya adalah masih kuatnya kepercayaan pada mitos atau informasi yang tidak berbasis sains. Contohnya, anggapan bahwa bencana tertentu hanya terjadi di daerah tertentu atau bisa diprediksi secara tradisional.
Informasi keliru ini dapat membuat masyarakat salah mengambil keputusan, seperti tidak segera menyelamatkan diri atau memilih tempat berlindung yang justru berbahaya.
Mitigasi bencana seharusnya berlandaskan data ilmiah dan panduan resmi, bukan asumsi atau kepercayaan yang belum terbukti.
5. Kurang melibatkan seluruh anggota keluarga dan komunitas

Mitigasi bencana sering dianggap sebagai urusan individu, padahal kesiapsiagaan harus melibatkan seluruh anggota keluarga dan lingkungan sekitar. Anak-anak, lansia, dan penyandang disabilitas kerap luput dari perencanaan.
Tanpa pendekatan kolektif, proses penyelamatan menjadi tidak efektif. Padahal, kerja sama komunitas sangat penting untuk saling membantu saat kondisi darurat.
Kesiapsiagaan bersama juga bisa mempercepat pemulihan pascabencana dan mengurangi dampak psikologis korban.
Kesalahan-kesalahan ini menunjukkan bahwa mitigasi bencana bukan hanya soal pengetahuan, tapi juga soal sikap dan kebiasaan.
Dengan meningkatkan kesadaran, mempercayai informasi resmi, serta menyiapkan rencana darurat sejak dini, masyarakat bisa lebih siap menghadapi bencana. Karena pada akhirnya, kesiapsiagaan adalah kunci untuk menyelamatkan nyawa.
















