[OPINI] Asprov PSSI Jawa Barat dan Komunikasi Anti Rasis, Amanat yang Siap Saya Emban

- Asprov PSSI Jawa Barat siap mengemban amanat sebagai tanggung jawab moral, bukan hanya jabatan organisatoris.
- Rasisme dan ujaran kebencian dalam sepak bola perlu ditangani secara tegas dan terstruktur untuk membangun iklim sepak bola yang sehat, inklusif, dan beradab.
- Komitmen anti rasis harus diwujudkan dalam kebijakan konkret, pedoman komunikasi dan etika jelas, edukasi anti rasis, narasi tandingan di ruang digital, serta koordinasi dengan aparat penegak hukum.
oleh: Buky Wibawa
(Ketua DPRD Jabar, Calon Ketum Asprov PSSI)
Sepak bola Jawa Barat berada pada persimpangan penting. Di satu sisi, gairah kompetisi, pembinaan usia muda, dan loyalitas suporter menunjukkan bahwa sepak bola masih menjadi ruang kultural paling hidup di daerah ini. Di sisi lain, kita dihadapkan pada tantangan serius yang tidak semata teknis dan prestasi, tetapi menyangkut nilai, etika, dan cara kita berkomunikasi sebagai insan sepak bola. Dalam konteks itulah, saya menyatakan kesiapan untuk mengemban amanat sebagai Ketua Asprov PSSI Jawa Barat, bukan semata sebagai jabatan organisatoris, melainkan sebagai tanggung jawab moral.
Terlebih pintu amanat ini sudah dinyatakan langsung Gubernur Jabar KDM selepas Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama insan sepak bola Jabar yang digelar di Gedung DPRD Jabar, Senin (24/11/2025). Ditambah dukungan luas dari Askab, Askot, klub, dan pemangku kepentingan sepak bola Jawa Barat, maka saya maknai ini semua sebagai amanat kolektif.
Amanat ini mengandung harapan agar Asprov PSSI Jawa Barat tidak hanya kuat secara struktur dan kompetisi, tetapi juga menjadi teladan dalam membangun iklim sepak bola yang sehat, inklusif, dan beradab. Sepak bola Jawa Barat harus maju, namun kemajuan itu harus berjalan seiring dengan kedewasaan sosial dan komunikasi publik yang bertanggung jawab.
Pun demikian, dalam beberapa hari terakhir, kita menyaksikan munculnya kembali persoalan lama yang seharusnya sudah lama kita tinggalkan, yaitu rasisme dan ujaran kebencian. Kasus konten rasis yang menyerang kelompok suporter Viking Persib dari streamer Resbob, serta peristiwa pemain Maluku United, Yance Sayuri, mendapat perlakuan rasis dari bobotoh berupa sebutan merendahkan martabat manusia setelah insiden di lapangan, adalah cermin bahwa persoalan ini nyata dan tidak bisa disikapi secara reaktif atau insidental. Ini bukan hanya soal individu atau momen tertentu, tetapi soal kultur komunikasi dalam ekosistem sepak bola kita.
Saya meyakini bahwa rasisme dalam sepak bola tidak lahir dari ruang kosong. Ia tumbuh dari komunikasi yang dibiarkan liar, dari pembiaran narasi kebencian di media sosial, serta dari absennya sikap tegas dan terstruktur dari otoritas sepak bola. Karena itu, jika saya dipercaya memimpin Asprov PSSI Jawa Barat, agenda komunikasi anti rasis harus menjadi bagian inti dari tata kelola organisasi, bukan sekadar slogan normatif.
Ruang Komunikasi
Sepak bola adalah ruang komunikasi massa yang sangat kuat. Stadion, media sosial, dan pemberitaan pertandingan membentuk opini publik, membangun identitas, sekaligus mempengaruhi relasi sosial antarkelompok. Maka, komunikasi sepak bola harus diarahkan untuk memperkuat sportivitas, bukan memperlebar jurang identitas. Perbedaan klub, daerah, atau latar belakang tidak boleh berubah menjadi alasan untuk merendahkan martabat manusia.
Komitmen anti rasis ini harus diwujudkan dalam kebijakan yang konkret. Pertama, Asprov PSSI Jawa Barat perlu memiliki pedoman komunikasi dan etika yang jelas bagi klub, ofisial, pemain, serta elemen suporter. Pedoman ini bukan untuk membungkam ekspresi, tetapi untuk memastikan bahwa ekspresi tersebut tidak melanggar nilai kemanusiaan dan kebhinekaan. Kedua, edukasi anti rasis harus menjadi bagian dari pembinaan, mulai dari akademi usia dini hingga kompetisi senior. Sepak bola bukan hanya soal teknik bermain, tetapi juga soal karakter.
Ketiga, Asprov PSSI Jawa Barat harus aktif membangun narasi tandingan di ruang digital. Media sosial tidak boleh dibiarkan menjadi arena dominasi ujaran kebencian. Organisasi sepak bola harus hadir dengan pesan yang tegas, konsisten, dan mendidik, bahwa rasisme tidak memiliki tempat dalam sepak bola Jawa Barat. Keempat, diperlukan koordinasi yang jelas dengan aparat penegak hukum dan pemangku kepentingan terkait agar setiap tindakan rasis ditangani secara adil dan transparan, sehingga menimbulkan efek jera dan kepercayaan publik.
Saya percaya bahwa kepemimpinan sepak bola hari ini tidak cukup hanya mengandalkan pengalaman organisasi atau jejaring struktural. Ia menuntut keberanian moral untuk berdiri di depan dalam isu-isu sensitif, termasuk rasisme. Sepak bola Jawa Barat harus menjadi ruang aman bagi semua, bagi pemain lokal maupun nasional, bagi suporter dari berbagai latar belakang, dan bagi generasi muda yang sedang belajar tentang nilai sportivitas dan kebersamaan.
Amanat yang saya terima untuk maju dalam kontestasi Ketua Asprov PSSI Jawa Barat saya tempatkan dalam kerangka tanggung jawab sosial tersebut. Prestasi dan pembinaan akan terus kita dorong, tetapi tanpa fondasi nilai yang kuat, prestasi itu akan rapuh. Sepak bola Jawa Barat yang saya cita-citakan adalah sepak bola yang berprestasi sekaligus bermartabat, kompetitif namun tetap manusiawi.
Melalui komunikasi yang anti rasis, kita tidak hanya menjaga citra sepak bola Jawa Barat, tetapi juga merawat persatuan sosial yang lebih luas. Inilah komitmen yang siap saya emban bersama seluruh keluarga besar sepak bola Jawa Barat. Cag!

















