Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Kenapa Surat Edaran Sering Jadi Polemik? Ini Penjelasan Pakar

Ilustrasi hukum (IDN Times/Arief Rahmat)
Ilustrasi hukum (IDN Times/Arief Rahmat)
Intinya sih...
  • Surat Edaran (SE) tidak ditujukan untuk mengatur pihak eksternal pemerintah
  • Kebiasaan menerbitkan SE dinilai menggerus kepastian hukum
  • Kebijakan zero ODOL dinilai tumpang tindih kewenangan
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Bandung, IDN Times - Perdebatan soal penggunaan surat edaran (SE) kembali muncul setelah beberapa kepala daerah dinilai terlalu jauh mengatur pihak di luar pemerintahan. Di tengah meningkatnya kebutuhan tata kelola yang tertib, justru muncul praktik birokrasi yang dianggap mengaburkan batas kewenangan.

Pakar dan Praktisi Hukum Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Valerianus Beatae Jehanu, menegaskan bahwa SE sebenarnya tidak dirancang untuk memberikan perintah kepada masyarakat atau sektor swasta.

Menurutnya, posisi SE dalam sistem hukum tidak berada pada level yang membuatnya berfungsi sebagai aturan yang mengikat publik.

“SE bukan peraturan perundang-undangan. Kekuatan mengikatnya hanya berlaku ke internal pemerintahan, bukan eksternal,” kata Valerianus Beatae, dalam siaran pers yang diterima IDN Times, Rabu (26/11/2025).

Penjelasan ini sekaligus menegaskan bahwa penggunaan SE untuk memaksa kepatuhan pihak swasta merupakan tindakan yang keluar dari kewenangan.

Permasalahan ini kembali mencuat setelah terbitnya SE Gubernur Jawa Barat tentang pembatasan operasional truk over dimension overloaded (ODOL), yang dinilai ditujukan kepada pihak yang seharusnya tidak berada dalam ruang lingkup SE. Hal tersebut membuat isu kepastian hukum kembali menjadi sorotan.

1. SE tidak ditujukan untuk mengatur pihak eksternal pemerintah

Ilustrasi hukum. (IDN Times/Mardya Shakti)
Ilustrasi hukum. (IDN Times/Mardya Shakti)

Valerianus menilai bahwa SE yang digunakan sebagai alat untuk menegur atau menindak pelanggaran justru salah sasaran. Ia mencontohkan SE terkait operasional kendaraan AMDK di Jawa Barat yang dikeluarkan untuk menekan pelanggaran ODOL.

Padahal, mekanisme itu semestinya dijalankan oleh dinas teknis, bukan melalui aturan yang ditujukan ke luar pemerintah.

Dosen Fakultas Hukum Unpar itu menegaskan bahwa SE tidak boleh membuat aturan baru, apalagi yang bersifat mengikat bagi publik. Menurutnya, jika gubernur ingin membuat regulasi yang memengaruhi pihak eksternal secara langsung, maka harus menggunakan produk hukum yang sesuai.

“SE ini tidak sah sebagai regulasi kalau untuk mengatur eksternal pemerintah. Jika ingin dirumuskan untuk mengikat ke luar secara langsung, maka pilihan regulasi yang bisa dipakai adalah peraturan gubernur, bukan surat edaran,” katanya.

2. Kebiasaan menerbitkan SE dinilai menggerus kepastian hukum

Ilustrasi Hukum (IDN Times/Fadillah)
Ilustrasi Hukum (IDN Times/Fadillah)

Lebih jauh, Valerianus melihat fenomena kepala daerah yang rutin menerbitkan SE sebagai persoalan yang mengganggu tata kelola pemerintahan. Menurutnya, praktik ini justru menyingkirkan regulasi formal yang seharusnya menjadi acuan dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Ia menyebut sejumlah contoh SE yang dinilai melampaui kewenangan, mulai dari SE Gubernur Bali tentang Gerakan Bali Bersih hingga SE Jabar mengenai jam efektif pendidikan dan gerakan sosial tertentu.

Semua itu menggambarkan kecenderungan pejabat menggunakan SE sebagai jalan pintas aturan.

“Regulasi dalam pengertian peraturan perundang-undangan seringkali justru tidak digunakan sebagai acuan, dan bahkan dikesampingkan jika ada hal yang lebih teknis diatur di level birokrasi terdekat, seperti surat edaran,” katanya.

3. Kebijakan zero ODOL dinilai tumpang tindih kewenangan

IMG_20250623_115206.jpg
Spanduk memprotes aturan ODOL dipasang di badan truk. (IDN Times/Fariz Fardianto)

Selain dari perspektif hukum administrasi, persoalan SE juga muncul dalam konteks kebijakan transportasi. Wakil Ketua Umum MTI Djoko Setijowarno menyoroti rencana penerapan zero ODOL di Jawa Barat pada 2026 yang dinilai melangkahi keputusan pemerintah pusat. Padahal, kebijakan nasional menetapkan target penerapan pada Januari 2027.

Menurutnya, jika setiap daerah membuat aturan sendiri-sendiri, arus logistik justru akan semakin kacau. Transportasi adalah sektor yang tidak bisa diatur per wilayah karena bersifat lintas daerah dan terintegrasi secara nasional.

“Kalau tiba-tiba diterapkan pada Januari 2026 itu nggak mungkin, karena banyak persiapan yang harus dilakukan. Transportasi itu urusan nasional, nggak ada kadishub itu menyelesaikan, ngaco kalau demikian,” kata Djoko.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Galih Persiana
EditorGalih Persiana
Follow Us

Latest News Jawa Barat

See More

Kenapa Surat Edaran Sering Jadi Polemik? Ini Penjelasan Pakar

26 Nov 2025, 22:59 WIBNews