Alasan Tim Ahli Cagar Budaya Tak Masalah Gapura Candi di Gedung Sate

- Pembangunan pilar gapura Candi Bentar di Gedung Sate tak masalah karena tidak masuk dalam area cagar budaya.
- Renovasi di halaman Gedung Sate merupakan upaya pemerintah dalam menguatkan budaya di gedung pemerintahan.
- Pemugaran cagar budaya perlu dilakukan dengan kehati-hatian dan oleh tenaga yang kompeten untuk menjaga keaslian bangunan.
Bandung, IDN Times - Pembangunan pilar gapura Candi Bentar di gerbang pintu masuk kantor Gubernur Jawa Barat, Gedung Sate, kini menjadi sorotan publik. Anggota Tim Ahli Cagar Budaya Nasional (TACBN), Reiza D. Dienaputra pun angkat bicara terkait renovasi tersebut.
Menurut Reiza, pembangunan pilar ini tidak memiliki sangkut paut dengan nilai Bangunan Cagar Budaya Nasional yang melekat pada Gedung Sate, dan telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya Nasional pada 2010. Hal ini dikarenakan area gerbang bukan bagian langsung dari bangunan Gedung Sate yang harus dilestarikan.
"Saya rasa tidak ada masalah dari sisi kecagarbudayaan dengan dibangunnya pilar-pilar tersebut, dengan menonjolkan elemen tradisional di sana," ucap Reiza, dikutip Sabtu (22/11/2025).
"Justru perlu diketahui, bahwa Gedung Sate itu tidak semuanya murni menerapkan gaya arsitektur Eropa. Di sana ada elemen hindu di antaranya ada tusuk sate enam juta Gulden," katanya.
1. Menjadi sah karena dari dulu ada sentuhan budaya dari Gedung Sate

Karena tidak masuk dalam area yang masuk Cagar budaya, Reiza menuturkan, tambahan pilar itu tidak menjadi soal dan dinilai sah-sah saja. Apalagi ada sentuhan tradisional, yang mana memang sejak dulu bangunan Gedung Sate ini sudah memiliki unsur serupa.
"Misalnya lagi menara Gedung yang tumpeng itu Hindu banget seperti pagoda. Jadi bangunan intinya memang sudah ada perpaduan Eropa dan tradisonal Indonesia. Tanpa sadar ya ternyata Gedung Sate itu tak hanya terinspirasi dari Eropa saja," katanya.
2. Bangunan Gedung Sate bersifat dilindungi

Lebih lanjut, Reiza melihat adanya renovasi di halaman Gedung Sate saat ini merupakan upaya pemerintah dalam menguatkan budaya di gedung pemerintahan. Sementara perspektif Gedung Sate sebagai cagar budaya sejak 2010 itu berguna untuk memastikan bahwa kantor Gubernur Jabar ini memiliki nilai cagar budaya level nasional dilihat dari arsitektur dan sejarahnya.
"Intinya kalau bangunan cagar budaya maka di dalamnya melekat regulasi yang berkaitan dengan cagar budaya yaitu UU No 11/2010. Regulasi yang mengatur upaya pelestarian, perlindungan dan pemanfaatan. Di sana juga ada pengaturan zonasi pemeliharaan dan pemugaran," katanya.
Mengenai pemugaran cagar budaya, Reiza menilai hal tersebut juga tidak menjadi soal selama masih menjaga nilai keaslian secara bentuk dan juga menjaga muka depan gedung.
"Pemugaran sah saja selama itu tentunya mampu menjaga keasrian baik bentuk dan tata letak bangunan. Kalau pun ada perubahan ya sekecil mungkin. Misal rusak bangunan sehingga tidak bisa seperti awal perlu ada teknologi bangunan kokoh. Tapi perubahan kecil terutama tampak muka harus dipertahankan," ungkapnya.
3. Mengingatkan agar hari-hati dalam merenovasi Gedung Sate

Menurut Reiza, selama ini bangunan depan Gedung Sate masih utuh tidak ada perubahan apapun. Namun ia mengingatkan, untuk renovasi cadar budaya perlu dengan kehati-hatian salah satunta dengan menurunkan tenaga yang kompeten.
"Dalam regulasi, bangunan cagar budaya jika direnovasi perlu kehati-hatian dan yang melakukan pemugaran itu harus ada kompetensi. Jangan sembarangan karena harus menjaga keaslian bangunan," katanya.
"Yang jelas pemugaran diperbolehkan selama tidak merusak atau tidak menyebabkan terjadinya perubahan signifikan. Tapi kalau itu (pemugaran) mengubah signifikan akan terkena sanksi. Bahkan ada penyidikan ada pidana hukuman, kurungan, dan denda."
Reiza menambahkan, terkait dengan adanya ornamen lain di dalam Gedung Sate seperti ada padi-padian maupun kereta kencana tidak menjadi masalah.
"Hal itu bisa dibaca sebagai upaya menjadikan Gedung Sate lebih ramah dengan kebudayaan Sunda," kata dia.

















