Pengguna IoT di Indonesia Ternyata Lebih Banyak Dibanding Smartphone
Diprediksi pengguna IoT di 2025 mencapai 678 juta perangkat
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Bandung, IDN Times - Teknologi terus berkembang di era 4.0. Hal itu terlihat dari pengguna Internet of Things (IoT) di Indonesia yang semakin masif. Bahkan, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) pernah menyatakan, sepanjang 2021, jumlah pengguna IoT di tanah air lebih banyak dibandingkan pengguna smartphone yang terkoneksi.
Selain itu, Kemenkominfo juga menyatakan pada tahun 2022 jumlah perangkat IoT diperkirakan mencapai 400 juta dan diprediksi akan terus meningkat hingga 678 juta perangkat pada 2025 nanti pasca hadirnya layanan 5G.
Hal ini logis terjadi karena koneksi IoT secara teori dan praktek tak harus selalu dioperasikan manusia seperti ponsel cerdas. Simak saja bagaimana perangkat-perangkat di pabrik, yang tanpa dioperasikan manusia, alat komputasi tersebut sudah saling “mengobrol” mencetak berbagai produktivitas.
Nilai pangsa pasar perangkat IoT di Indonesia juga diprediksi meningkat hingga Rp355 triliun pada 2022 lalu serta akan naik pangsanya mencapai Rp557 triliun pada 2025 nanti. Angka ini sejalan penetrasi internet yang terus meningkat di Indonesia, dengan angka terbaru Januari 2023 sudah mendekati 80% dari total populasi tanah air.
Vice President Startup Bandung, Nur Islami Javad, mengatakan layanan berbasis IoT adalah layanan relatif teknologi baru yang saat ini masih didominasi segmen pasar B2B (business to business) dibandingkan B2C (business to consumer).
“Adopsi yang tinggi pada IoT itu masih di segmen B2B, belum meluas ke masyarakat umum. Dan sepengamatan saya dalam industri startup, yang bisnisnya berkelanjutan memang di B2B IoT karena tidak terjabak dalam perang bakar-bakar duit,” katanya.
1. Era bisnis valuasi harus logis dan bisa bertahan lama
Menurut dia, target pasar korporat menciptakan banyak keseimbangan bagi pelaku startup. Sebab, yang disasar tak sebanyak pasar ritel namun punya kemampuan daya beli jauh lebih besar sehingga sangat realistis untuk sebuah bisnis riil.
“Era bisnis valuasi sudah lewat, sekarang harus logis dan bisa bertahan lama. Rasionalitas bisnis menjadi nomor satu. Jadi, harus kuat sisi bisnis secara umum namun di enhance dengan berbagai mindset dunia startup, atau dalam bahasa lain bisnis regular tapi mengadaptasi cara-cara berpikir dan operasi ala startup,” katanya.