Bermalam di Al-Zaytun, Melihat Lebih Dekat Pesantren Terbesar se-ASEAN

Ponpes ini sudah meluluskan 14 ribu lebih santri

Indramayu, IDN Times - Waktu menunjukkan pukul 07.50 WIB ketika saya tiba di gerbang utama Ma'had Al-Zaytun. Gerbang yang belum selesai pembangunannya ini dijaga lebih dari tiga orang pihak keamanan. Di depan gerbang tampak barikade dari bambu yang diliit kawat berduri, sisa aksi demonstrasi beberapa waktu lalu.

Menggunakan ojek dari Pasar Patrol, Kabupaten Indramayu, menuju Al-Zaytun ternyata cukup jauh; sekitar 40 menit. Berada di Kecamatan Gantar, pondok pesantren ini berjarak 33 kilometer (km) dari Pasar Patrol. Al Zaytun malahan lebih dekat diakaes dengan akses Tol Cipali.

"Permisi Pak. Saya mau meliput dan bertemu dengan Pak Panji Gumilang. Sudah ada tim dari IDN Times yang masuk lewat gerbang 5 dan menunggu di gedung Al Islah," kata saya kepada seorang penjaga di meja tamu setelah turun dari ojek yang ditumpangi, Senin (10/7/2023).

Dia lantas menggunakan handy talky, memastikan kebenaran informasi tersebut. Tak lama dia meminta saya mengisi buku tamu. Nama lengkap, instansi, dan nomor telepon harus disimpan di buku tersebut. Sementara ojek yang saya naiki diminta langsung pulang dan tidak masuk ke dalam.

"Nanti diantar dari sini ke dalam," kata penjaga tersebut.

Sebuah minibus berwarna hitam yang terparkir pun menjadi kendaraan saya berikutnya menuju jantung Al-Zaytun, sebuah lembaga pendidikan agama yang sudah berdiri sejak 1999. Sementara gojek saya minta pulang setelah harus membayar Rp80 ribu.

Duduk di samping pak sopir, minibus melaju tenang di tengah jalanan aspal mulus. Sangat berbeda dengan akses yang saya lewati menuju Al-Zaytun rusak parah, berlubang, dengan batuan besar. Di pesantren ini tak tampak ada lubang kecil pun sepanjang jalan. Sementara di pinggir jalan pohon jati berjejer hingga menuju gedung-gedung pendidikan.

Berkendara sekitar tiga kilometer, saya sampai di sebuah gedung yang menjadi wisma bagi para tamu. Terdiri atas lima lantai, gedung ini menjadi tempat menginap tamu termasuk wali santri yang hendak menengok anaknya.

Di ruang makan, tim IDN Times dari Jakarta sudah lebih dulu datang dari gerbang lain, Mereka menikmati sajian kue dan kopi susu sembari berbincang dengan tim peliput internal dari Al-Zaytun.

Sambil menunggu waktu untuk mewawancarai Panji Gumilang, pimpinan Ma'han Al-Zaytun dan tim IDN Times berbicang dengan sejumlah pendidik di ponpes yang memiliki areal seluas 1.600 hektare ini.

Dari obrolan yang boleh direkam dan tidak, banyak informasi menarik mengenai pesantren ini yang belum diketahui masyarakat pada umumnya. Mulai dari pemilihan Indramayu sebagai pusat pendidikan Al-Zaytun, hingga siapa saja petinggi negeri di jamannya yang hilir mudik datang ke sini.

Tak terasa waktu menunjukkan pukul sekitar 10.00 WIB. Sekretaris Yayasan Pesantren Al-Zaytun, Abdul Halim, lantas mengajak IDN Times berkeliling sejumlah gedung pendidikan.

1. Gedung dan fasilitas dinamai orang yang meletakan batu pertama atau yang meresmikannya

Bermalam di Al-Zaytun, Melihat Lebih Dekat Pesantren Terbesar se-ASEANSalah satu sudut di gedung perkuliahan Pondok Pesantren Al-Zaytun, Kabupaten Indramayu. (IDN Times/Debbie Sutrisno)

Gedung pertama yang didatangi adalah Gedung Abubakar Ash-Shiddiq. Jarakanya tak terlalu jauh dari wisma tempat kami berkumpul. Abdul halim menjelaskan bahwasannya sejak lama pesantren ini sudah sering kedatangan para petinggi negeri.

Alhasil berbagai nama gedung ada yang dinamai orang yang meletakan batu pertama atau meresmikan. Misalnya, untuk gedung perkuliahan diresmikan langsung oleh HM Soeharto, Presiden kedua Indonesia pada 23 Agustus 2005. Selain itu di gedung ini ada prasasati yang ditandatangani Menteri Agama pada 2012, yaitu Suryadharma Ali.

Sementara untuk gedung pembelajaran terdapat enam unit, di mana lima sudah digunakan oleh santri. Adapun nama empat gedung ini sesuai dengan sahabat nabi, yaitu Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khathab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib.

Selain itu terdapat gedung IR Soekarno yang masih akan dibangun oleh pihak ponpes.

Untuk gedung asrama sekitar 7.000-an santri dinamai sesuai yang meresmikan. Pertama ada gedung Al Mustofa yang dulu diresmikan Bupati Indramayu Kolonel Mustofa. Kemudian ada Al-Fajrio, diambil dari nama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof. Abdul Malik Fadjar.

"Nah ada gedung An Nur yang diambil dari nama Gubernur Jabar, Nana Nuriana. Terus ada gedung yang kami namai Al-Madani dan Gedung Persahabatan. Gedung keenam sedang dipersiapkan nanti dinamai Syarif Hidayatullah," kata Abdul Halim.

Gedung-gedung ini bentuknya megah. Dari bagian depan tampak tiang pemancang berukuran besar dengan cat mayoritas berwarna coklat. Gedung yang dibangun memang dipersiapkan untuk tetap kokoh selama ratusan tahun.

Selain ruangan untuk belajar, terdapat juga sejumlah laboratorium yang bisa digunakan para santri belajar, mulai dari lab. kimia, fisika, biologi, hingga sebuah ruangan lengkap dengan alat band untuk bermusik.

"Kadang guru juga suka pada main," ungkap salah seorang guru ketika melongok ruangan ini.

IDN Times kemudian diajak masuk ke beberapa ruang kelas Nisa (perempuan) dan Rijal (laki-laki). Ada puluhan santri mengenakan pakai hitam putih belajar dengan para guru. Bukan hanya dari dalam negeri, ada juga santri yang berasal dari luar negeri seperti Malaysia.

Salah satu siswa kelas 12 yang berasal dari Malaysia, Muizuddin bin Muhsin merasa nyaman menimba ilmu di sekolah ini. Menurutnya, sistem pembelajaran baik dan menyenangkan.

Sebagai siswa dari Malaysia, dia pun belajar banyak hal karena berada di sekolah yang mayoritas merupakan warga dari Indonesia, sehingga bisa belajar banyak hal di luar mata pelajaran yang ada.

"Saya senang ada di sini karena bisa belajar banyak. Seperti saat belajar bahasa Inggris ini ada juga sedikit perbedaan dengan yang diajarkan di Malaysia. Jadi saya banyak tahu," kata dia.

Setelah mendatangi kelas, Abdul kemudian mengajak IDN Times berkeliling sejumlah fasilitas olahraga bagi para santri. Tak jauh dari gedung asrama, terdapat sebuah lapangan sepakbola yang cukup besar lengkap dengan tribun penonton.

Lapangan ini dinamai Palangan Agung, diambil dari nama Agung Laksono yang meresmikannya ketika masih duduk sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora). Serta terdapat gedung serba guna yang diresmikan Ketua DPR RI Akbar Tanjung sehingga gedung ini diberi nama Al-Akbar.

Saat berkeliling ada juga fasilitas olahraga lainnya, mulai dari voli, basket, tenis, hingga hokki. Tak hanya satu lapangan, beberapa cabang olahraga bahkan punya lebih dari dua lapangan untuk para santri berolahraga.

Baca Juga: Keputusan Pemerintah Tak Bubarkan Pesantren Al Zaytun Dinilai Tepat

2. Berupaya mandiri pangan dengan konsep green dan blue economy

Bermalam di Al-Zaytun, Melihat Lebih Dekat Pesantren Terbesar se-ASEANGudang penyimpanan beras di Pondok Pesantren Al-Zaytun, Kabupaten Indramayu. (IDN Times/Debbie Sutrisno)

Di tengah perjalanan, Abdul pamit undur diri karena ada urusan mendadak, sementara IDN Times kemudian ditemani Mohamad Nurdin A. Tabit yang merupakan Anggota Pengawas Lembaga Kesejahteraan Masjid, Masjid Rahmatan Liľalamin (LKM MRLA). Perawakannya lebih tua dibandingkan Abdul Halim, meski dia tetap gesit mengajak IDN Times berkeliling kompleks Al-Zaytun.

Tujuan perjalanan berikutnya adalah melihat kawasan yang menjadi pusat kemandirian pangan pondok pesantren ini. Dengan jumlah penghuni Al-Zaytun yang mencapai ribuan orang, tidak mungkin jika tidak ada gudang makanan.

Alhasil pesantren ini menyiapkan sistem agar pangan tidak harus dibeli, mulai dari peternakan sapi, kambing, ayam, hingga kerbau dibangun. Di kawasan yang berdekatan ini, terdapat cold storage untuk ikan, daging ayam, hingga daging sapi. Semua dipersiapkan agar stok makanan tetap terjaga.

"Ikan kita datangkan langsung dari Halmahera. Ini ikan tuna terbaik dari sana sejak 2020 sudah pakai ikan ini," kata Nurdin.

Setiap harinya ikan yang dipotong di gudang penyimpangan mencapai 600 kg, di mana setiap kilogram menjadi sekitar 22 potong. Stok pun terus dipantau, di mana jika ikan tersisa lima ton, maka manajemen akan langsung membeli kembali dengan satu kali pengiriman yang mencapai tujuh ton.

Untuk kebutuhan beras, ponpes Al-Zaytun sudah mememiliki lahan sawah sendiri maupun yang dikerjakan dengan warga sekitar. Dari lahan-lahan tersebut gabah hasil panen kemudian diolah sendiri di areal ponpes untuk menjadi beras agar bisa dikonsumsi dan disimpan.

Selain itu, kelebihan produksi beras yang ada juga bisa dijual melalui koperasi. Kebutuhan untuk beras yang dikonsumsi mencapai 1.500 kilogram kg per hari. Sementara ada juga beras yang mampu dijual sekitar 65 ton dalam sebulan.

"Kami punya silo yang tempat menyimpan gabah sampai 1.000 ton. Ini semua Kami produksi sendiri berasanya di sini. Stok beras kami bisa sampai 18 bulan," kata Nurdin.

Selain makanan utama, Ponpes Al-Zaytun juga menanam berbagai macam buah-buahan di lahannya, mulai dari pisang, kepala, alpukat, mangga, lengkeng, hingga nanas ada di kawasan ini.

Dhoni, salah satu pengurus perkebunan pisang menuturkan, lahan yang digunakan untuk perkebunan tersebut memiliki luas sekitar 25 hektare. Satu hektare lahan bisa ditanamani 2.000 hingga 2.500 pohon.

Pengolahan pisang dari awal menanam pohon hingga disimpan di penyimpanan khusus dilakukan secara mandiri agar hasil pisangnya bagus sehingga bisa juga untuk diperjualbelikan dengan keuntungan mencapai Rp300 juta setiap bulannya.

Tak selesai di situ, Al-Zaytun pun telah mencoba membuat gula dan garam sendiri. Memiliki lahan perkebunan tebu seluas 40 hektare, pesantren ini mengolah tebu tersebut baik menjadi gula coklat atau gula putih.

Ada juga cairan gula hasil pengolahan yang bisa dipakai untuk sirup. Sementara garam didapat dari pengolahan di pinggir pantai kawasan pantura Indramayu.

Menurutnya, salah satu yang sempat menjadi kontroversi adalah proyek kapal yang sedang dikerjakan di sekitar pantai Indramayu. Di sana terdapat tempat untuk membuat kapal berukuran besar milik Al Zaytun.

Pembuatan kapal tersebut sempat ramai diperbincangkan masyarakat karena menganggap Syekh Panji Gumilang ingin membuat replika kapal Nabi Nuh. Namun, Nurdin membantah hal tersebut dan menyebut bahwa kapal itu dibuat untuk mencari ikan ke daerah yang jauh.

Harapannya ke depan, Ponpes Al-Zaytun bisa mencari ikan sendiri, sehingga bisa mengurangi pengeluaran dengan membeli dari pihak lain.

"Setelah green economy kami ingin coba mandiri dengan konsep blue economy," kata dia.

Baca Juga: Mahfud Beberkan Sejarah Al Zaytun hingga Titik Nyaman Panji Gumilang

3. Bertemu dengan Panji Gumilang dan melihat megahnya Masjid Rahmatan Lil Alamin

Bermalam di Al-Zaytun, Melihat Lebih Dekat Pesantren Terbesar se-ASEANMasjid Al-Zaytun (IDN Times/Reynaldy Wiranata)

Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 12.30 WIB. Nurdin pun mengajak IDN Times kembali ke gedung wisma untuk santap siang. Setelahnya kami bakal bertemu langsung dan berbincang dengan Syekh Panji Gumilang di sebuah ruangan di dalam Masjid Rahmatan Lil Alamin.

Satu jam bersama Panji Gumilang, IDN Times mendapat banyak informasi dan klarifikasi mengenai dia dan Al-Zaytun yang menghebokan belakang ini. Pada intinya, dia membantah berbagai hal yang ditudingkan masyarakat seperti mengenai ratusan rekening miliknya hingga anggapan bahwa Panji adalah seorang komunis.

Setelahnya, IDN Times diajak masuk ke dalam Masjid Rahmatan Lil Alamin yang sangat megah. Bangunannya tinggi, terdapat beberapa tingkat. Di dalam kubah terlihat desain unik dengan komponen warna biru dan emas. Di tempat imam, terdapat sebuah mimbar tinggi terbuat dari kayu berwarna coklat. Mimbar ini tidak sering digunakan, hanya dipakai ketika ada perayaan besar seperti Salat Idul Fitri.

Usai berbincang di dalam masjid dengan para pengurus Ma'had Al-Zaytun, tim dari IDN Times pulang ke Jakarta, sementara saya diberi kesempatan untuk menginap di wisma dan melihat kegiatan santri pada sore hingga besok pagi.

Satu kamar di lantai lima wisma Al-Zaytun pun jadi tempat menginap. Kamarnya cukup besar dengan dua kasur dan satu meja kerja. Televisi tabung dengan saluran yang tidak banyak masih menyala dan bisa digunakan. Di kamar mandi, sebuah bathtub dengan air hangat sangat memanjakan setiap tamu yang menginap.

Tiba pada sore hari sekitar pukul 16.00 WIB. Saya berjalan mengelilingi beberapa sudut lapangan olahraga para santri. Menggunakan pakaian bebas, para santri terlihat memadati berbagai tempat olahraga. Waktu beraktivitas di luar ruangan ini hanya sekitar dua jam saja. Sekitar pukul 17.00 WIB mereka sudah harus kembali ke asrama dan bersiap salat Magrib dan Isya berjemaah, di mana sebelumnya mereka makan sore di kantin.

Sebelum adzan Magrib berkumandang, para santri sudah berada di masjid maupun ruangan asrama yang digunakan untuk salat berjemaah.

Pak Dadang, salah satu guru di kampus Al-Zaytun menjemput saya di lobby wisma. Dia yang akan menemani saya berkeliling di malam dan pagi hari melihat kegiatan para santri.

"Nanti kita salat di Masjid Al Hayat saja dulu. Ini lebih dekat ke wisma. Nanti baru kita lihat kegiatan di asrama pas malam," kata Dadang.

Masjid Al Hayat merupakan masjid pertama yang digunakan para santri sebelum ada Masjid Rahmatan Lil Alamin. Sekarang masjid ini tetap digunakan sebagian santri untuk salat berjemaah. Sebab tidak mungkin ketika semua santri disatukan di Masjid Rahmatan Lil Alamin untuk salat bersama-sama. Pengawasan sulit dilakukan sehingga beberapa para santri saat beribadah ada yang memakai ruang di asrama.

Usai menunaikan salat Magrib, para santri kemudian menghafal Al-Quran bersama-sama. Ada juga santri yang setor hafalan kepada para seniornya yang menjadi pengawas. Kegiatan ini hampir setiap malam dilakukan hingga menjelang salat Isya.

Setelah Isya, para santri tetap melakukan aktivitas belajar. Biasanya mereka mengulang pembelajaran yang dipelajari pada siang hari, atau mengulas apa yang bakal dipelajari esok.

"Biasa sampai jam 9 malam. Setelah itu semua santri harus tidur dan bangun lagi jam 4 pagi. Salat Subuh, makan sarapan, dan langsung masuk sekolah lagi," ungkap Dadang.

https://www.youtube.com/embed/mU5OrCBRLag

4. Salam merdeka jadi hal lumrah di Al-Zaytun

Bermalam di Al-Zaytun, Melihat Lebih Dekat Pesantren Terbesar se-ASEANKantin santri di Pondok Pesantren Al-Zaytun, Kabupaten Indramayu. (IDN Times/Debbie Sutrisno)

Mengawali pagi, saya langsung diajak Pak Dadang melihat santri sarapan. Sekitar pukul 05.30 WIB mereka sudah keluar dari asrama menggunakan seragam sekolah. Hal ini mempermudah para santri sehingga tidak harus kembali ke kamar untuk ganti baju setelah sarapan, di mana mereka bisa langsung masuk ke kelas yang dimulai sekitar pukul 07.00 WIB.

"Merdeka" ungkap sejumlah santri yang bertemu saya dan Pak Dadang. Salam ini sudah lumrah disampaikan ketika para pendidik bertemu santri maupun pegawai lainnya. Dengan tangan seperti orang melakukan hormat, kata merdeka menjadi salam tak terpisahkan untuk bertegur sapa.

Dari informasi yang diterima, kata merdeka digunakan sebagai penanda bahwa warga Al-Zaytun harus bisa merdeka dalam berbagai hal.

Gerakan tangan layaknya memberika hormat digunakan mirip ketika seseorang bertemu dan mengucapkan salam Assalamualaikum dengan gestur menaikkan pergelangan tangan dan menempelkannya di pinggir dahi seperti orang sedang hormat ketika upacara bendara.

Hanya saja kata "Assalamualaikum" diganti dengan "Merdeka" sehingga ketika bertemu kata itulah yang diucapkan warga Al-Zaytun.

Dari pantauan IDN Times, para santri yang belajar di Al-Zaytun pun sangat teratur ketika berjalan dari asrama menuju gendung pendidikan. Mereka akan melintasi jalan yang berbeda antara Nisa dan Rijal sehingga tidak berpapasan. Santri pun tetap berjalan di pinggir jalan secara beraturan dan menyebrang hanya di titik yang sudah ditentukan.

Setelah para santri berkumpul di gedung pendidikan, mereka lantas masuk ke ruangan masing-masing untuk mempelajari berbagai pelajaran sesuai dengan kurikulum dari Kementerian Agama.

Baca Juga: Tahun 2023 Ponpes Al-Zaytun Terima 1.000 Santri dari Berbagai Daerah

Baca Juga: MUI: Kemenag Bisa Kuasai Al Zaytun Jika Panji Gumilang Bersalah

Topik:

  • Galih Persiana

Berita Terkini Lainnya