TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Indonesia Rawan Bencana, Bagaimana Kesiapan Mitigasi di Daerah

Pemerintah dan Masyarakat harus siap hadapi bencana

Tim SAR gabungan melakukan pencarian korban gempa bumi di Rumah Sakit Mitra Manakarra di Mamuju, Sulawesi Barat, Senin (18/1/2021). (ANTARA FOTO/Abriawan Abhe)

Bandung, IDN Times - Di awal 2021, sejumlah bencana alam terjadi di Indonesia. Mulai banjir, tanah longsor, gunung meletus dan gempa bumi. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, masuk minggu keempat Januari 2021, sudah ada 185 bencana yang terjadi di Tanah Air.

Bencana hidrometeorologi, seperti banjir, tanah longsor dan puting beliung mendominasi kejadian bencana. Catatan BNPB, sebanyak 127 kejadian banjir terjadi di beberapa wilayah Tanah Air, sedangkan tanah longsor 30 dan puting beliung 21. Kejadian bencana lain yang tercatat yaitu gelombang pasang 5 kejadian dan gempa bumi 2.

Meskipun banjir paling sering terjadi, bencana gempa bumi masih paling banyak mengakibatkan korban jiwa. Peristiwa gempa bumi telah mengakibatkan korban meninggal sebanyak 91 jiwa, tanah longsor 41 dan banjir 34. Bahkan, BNPB mencatat korban luka-luka akibat gempa bumi mencapai 1.172 jiwa, disusul tanah longsor 26 jiwa, puting beliung 7 jiwa dan banjir 5 jiwa.

Rentetan bencana alam yang terjadi pada awal tahun ini tak lepas dari kondisi geografis wilayah Indonesia yang terletak di dalam jalur lingkaran bencana gempa (ring of fire), dimana jalur sepanjang 1.200 km dari Sabang sampai Papua merupakan batas-batas tiga lempengan besar dunia yaitu : lempengan Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik akan berpotensi memicu berbagai kejadian bencana alam yang besar. Indonesia juga berada pada tiga sistem pegunungan (Alpine Sunda, Circum Pasifik dan Circum Australia).

Tingginya kasus bencana alam di Indonesia ini sebenarnya sudah diprediksi sejumlah peneliti di Tanah Air. Termasuk dampak kerusakan dan faktor yang mampu menyebabkan terjadinya bencana alam.

Lalu, sejauh mana pemerintah pusat, provinsi, kabupaten-kota serta pihak terkait dalam mengantisipasi risiko dampak dari bencana alam yang terjadi. Seperti apa mitigasi bencana yang sudah dipahami masyarakat Indonesia?

Di bawah ini adalah ulasan kolaborasi IDN Times mengenai upaya mitigasi, rawan bencana, hingga pandangan para pengamat yang dirangkum dalam artikel "Indonesia Rawan Bencana".

1. Bencana alam harus jadi pelajaran penting bagi Indonesia

ANTARA FOTO/Mohamad Hamzah

Ketua Pusat Unggulan Ipteks (PUI) Sains dan Teknologi Kegempaan ITB, Irwan Meilano mengatakan, potensi gempa bumi yang terjadi di Mamuju dan Majene, Sulawesi Barat sebetulnya sudah diketahui sejak dulu.

Menurut dia, penelitian terhadap potensi terjadinya gempa bumi sudah menjadi perhatian. Tidak hanya itu, sumber gempa yang akan berdampak terhadap kerusakan sudah dimasukan dalam peta bahaya sumber gempa tahun 2019.

"Dari dulu kami sudah memperhatikan, ini ada daerah yang unik di Sulawesi Barat ke tengah, kenapa banyak terjadi gempa dengan mekanisme sesar naik di sana. Kami berkesimpulan ada sumber gempa dan sudah kami masukan ke dalam peta bahaya sumber gempa tahun 2019," kata Irwan melalui siaran pers, Sabtu (23/1/2021).

Irwan mengungkapkan, bencana gempa bumi di Majene dan Mamuju merupakan salah satu contoh yang bisa dijadikan pelajaran penting bagi Bangsa Indonesia dalam menghadapi rawan bencana, khususnya gempa bumi. Terutama terhadap pemahaman risiko bencana yang lebih baik dan detail untuk meminimalisir dampak dan korban.

Sebab, peristiwa gempa bumi di Indonesia masih menjadi bencana yang memakan korban terbesar di Indoneisa. Tidak hanya sumber bencana yang perlu disampaikan secara detail kepada semua pihak. Pemerintah juga perlu memerhatikan perencanaan pembangunan yang baik di lokasi titik bencana serta mengajak masyarakat untuk memahami risikonya akibat dampak bencana. Sehingga, saat terjadi bencana seluruh pihak siap dalam menghadapi bencana.

"Kenapa hal ini perlu dilakukan karena gempa-gempa yang terjadi di Lombok dan Palu beberapa waktu lalu telah menyebabkan rumah rusak, bangunan rusak, sekolah rusak, jembatan hancur, kantor gubernur rusak, dan kerusakan fasilitas lainnya. Padahal sebetulnya kita sudah ada aturan penting mengenai standar kode bangunan," kata dia.

Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Studi Kebencanaan Universitas Hasanuddin Makassar Prof Adi Maulana mengusulkan kepada pemerintah, agar pembelajaran kebencanaan dimasukkan dalam kurikulum pendidikan formal.

Dia mengatakan, soal kebencanaan sebaiknya jadi pelajaran formal dari tingkat sekolah dasar hingga ke jenjang perguruan tinggi. Dengan begitu, masyarakat bisa melek sejak dini soal isu-isu kebencanaan.

"Kita arus utamakan ini isu-isu kebencanaan. Dalam hal ini, kalau bisa kita jadikan dia semacam mata pelajaran khusus," kata Prof Adi Maulana saat berbincang dengan IDN Times, Jumat (22/1/2021).

Sebab, kata Prof Adi, posisi Indonesiadengan adanya pertemuan tiga besar lempeng besar tektonik yaitu, lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia, dan lempeng Pasifik membuat Indonesia masuk dalam kategori rawan bencana ketiga di dunia. 

Ancaman gempa bumi, tsunami dan letusan gunung api ada di Indonesia dengan adanya pergerakan dari pertemuan lempeng yang membentuk 512 gunung api di Indonesia, dan 129 di antaranya gunung api aktif.

"Itu berarti 1/3 gunung aktif di dunia ada di Indonesia. Hasilnya juga kita ada 16 segmen megatrush. Artinya, itu adalah daerah-daerah yang bisa meng-generate tsunami sampai dengan ketinggian 40 meter. Di daratan, kita juga punya tanah longsor," kata pakar geologi Unhas ini menerangkan.

Fakta-fakta itulah yang menurut Prof Adi menjadikan alasan seharusnya bisa memasukkan dalam materi pembelajaran kebencanaan di sekolah. Materi kebencanaan, katanya, bukan bermaksud menakut-nakuti. Melainkan, mengajarkan generasi penerus sejak dini, untuk lebih peka dan paham tentang bencana dan pentingnya mitigasi yang harus dilakukan ke depan.

2. Geografis Indonesia membuat 87 persen wilayah di Tanah Air rawan terjadi bencana

Ilustrasi info tsunami (IDN Times/Arief Rahmat)

Berdasarkan catatan, secara geografis wilayah Indonesia terletak di dalam jalur lingkaran bencana gempa (ring of fire). Dimana jalur sepanjang 1.200 km dari Sabang sampai Papua merupakan batas-batas tiga lempengan besar dunia yaitu : lempengan Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik akan berpotensi memicu berbagai kejadian bencana alam yang besar.

Indonesia juga berada pada tiga sistem pegunungan (Alpine Sunda, Circum Pasifik dan Circum Australia). Indonesia memiliki lebih 500 gunung berapi di antaranya 128 statusnya masih aktif, dan merupakan negara kepulauan karena 2/3 dari luas Indonesia adalah laut, memiliki hampir 5.000 sungai besar dan kecil dan 30% diantaranya melintasi wilayah padat penduduk. Melihat dari kondisi geografis tersebut tak heran jika 87% wilayah Indonesia adalah rawan bencana alam.

Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Jabar Dani Ramdan mengakui, dari 27 kabupaten kota di Jabar, sebanyak 14 daerah diantaranya masuk dalam kategori risiko bencana tinggi dan 13 daerah lainnya berisiko masuk dalam lokasi bencana sedang. Artinya, tidak ada daerah di Jabar yang masuk kategori risiko bencana rendah.

Menurut dia, bencana alam di Jawa Barat berupa banjir, gempa bumi, tanah longsor, gunung meletus hingga tsunami sangat berpotensi terjadi. "Hanya gempa yang tidak bisa diprediksi kapan dan di mana terjadi. Tapi kalau banjir, kita lihat dari kondisi alam termasuk banjir rob karena air laut yang naik. Sedangkan, tsunami dan gempa tidak bisa diprediksi," kata Dani, Selasa (19/1/2021).

Provinsi Lampung juga menjadi salah satu wilayah yang rawan terjadi bencana alam karena berada di kawasan Ring of Fire atau Cincin Api. Selain itu, daerah ini juga berada di zona lempeng atau patahan gempa. Sebab, sebagian besar wilayah Provinsi Lampung berada di sekitar wilayah subduksi pertemuan antara lempeng benua Eurasia dan lempeng benua Indo-Australia, atau dikenal dengan garis Patahan Sunda (Sunda Fault).

Bencana gempa bumi magnitudo 9,3 dan tsunami Aceh pada 2004 mengingatkan atas peristiwa terbesar yang terjadi di Indonesia. Bencana ini mengakibatkan 167.000 orang meninggal dunia dan hilang serta tak kurang dari 500.000 orang kehilangan tempat tinggal.

Provinsi Aceh merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki frekuensi tinggi dalam kejadian gempa bumi. Keaktifan gempa bumi disebabkan karena adanya pertemuan dua lempeng tertonik yang terjadi secara konvergen dan saling bertumbukan, yakni antara Lempengan Indo-Australia dan Lempeng Eurasia.

Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika melalui Stasiun Geofisika Klas III Aceh Besar di Mata Ie, Kabupaten Aceh Besar mencatat ada 977 kali kejadian gempa bumi sepanjang tahun 2020 yang diakibatkan adanya gerakan dari pertemuan dua lempeng tersebut.

Kepala Stasiun Geofisika Klas III Aceh Besar, Djati Cipto Kuncoro melalui Staf Ahli, Andrean Simanjuntak mengatakan, gempa tektonik yang terjadi pusatnya tersebar, mulai di bawah laut maupun di daratan.

“Secara historical kegempaan di Aceh itu banyak terjadi di wilayah laut,karena ada pertemuan Eurasia dan Indo-Australia atau di zona subduksi sedangkan di wilayah daratan itu ada patahan aktif Sumatra,” kata Andrean, ketika dijumpai IDN Times, pada Rabu (20/1/2021).

Sementara itu, Kepala BPBD Banjarnegara, Aris Sudaryanto mengatakan, hampir 75 persen wilayahnya juga rawan terhadap bencana alam. Pada 2020 lalu, sebanyak 222 bencana terjadi di Banjarnegara. Jumlah itu meliputi 163 kasus tanah longsor, 2 kasus banjir, angin kencang 26 kasus, gempa bumi 2 kasus, dan kebakaran 29 kasus.

‘’Dari kejadian tersebut, setidaknya 30 rumah mengalami rusak berat, 73 rusak sedang, 92 rusak ringan, 116 terancam, dan korban luka-luka mencapai 9 jiwa. Sedangkan, untuk korban jiwa tidak ada,’’ ungkapnya saat dihubungi IDN Times, Jumat (22/1/2020).
Di Balikpapan, bencana berpotensi terjadi saat cuaca ekstrem, baik di musim kemarau maupun penghujan. Menurut Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Balikpapan, Suseno, saat musim panas rawan terjadi kebakaran, sementara saat musim hujan rawan terjadi banjir di beberapa wilayah.

"Tentu kita bersyukur di Balikpapan tidak terjadi bencana besar. Dan berdoa semoga bencana besar tidak terjadi di Balikpapan. Kalau kebakaran kadang permukiman, atau Karhutla (Kebakaran Hutan dan Lahan). Kalau banjir ada di beberapa lokasi rawan banjir, ada beberapa yang rawan longsor," sebut Suseno (21/1/21).

3. Kenali bencana alam dan bencana nonalam

Ilustrasi tanah longsor (ANTARA FOTO/Reno Esnir)

Bencana alam atau musibah yang menimpa di suatu daerah atau negara dapat datang secara tiba-tiba. Bencana yang datang secara tiba-tiba di lokasi pemukiman wargan ini terkadang membuat musibah dengan adanya korban jiwa. Sebab, masyarakat yang berada di lokasi bencana tidak sempat melakukan antisipasi pencegahan terhadap musibah tersebut.

Tetapi, tahukah kamu apakah definisi dari bencana? Apa saja penyebab terjadinya bencana? Nah, berdasarkan definisi bencana yang diatur pemerintah dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana menyebutkan definisi bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

Definisi tersebut menyebutkan bahwa bencana disebabkan oleh faktor alam, non alam, dan manusia. Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tersebut juga mendefinisikan mengenai bencana alam, bencana nonalam, dan bencana sosial.
Bencana yang disebabkan faktor alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.

Sedangkan bencana karena faktor nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit. Adapun bencana yang disebabkan faktor sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan teror.

Salah satu upaya untuk mengantisipasi risiko bencana perlu ada mitigasi, yakni mengevaluasi tata guna lahan atau tata ruang di kabupaten dan kota. Sebab, bencana yang terjadi seperti banjir dan tanah longsor tidak lepas dari kurang tepatnya pengelolaan dan pengembangan wilayah.

Pengamat Tata Ruang dan Lingkungan Perkotaan Universitas Negeri Semarang (Unnes), Prof Saratri Wilonoyudho mengatakan, ada dua penyebab terjadinya bencana yaitu alam dan ulah manusia.

‘’Contoh bencana alam antara lain gunung meletus dan angin topan, artinya tidak ada andil manusia secara langsung. Namun, kalau bencana banjir, tanah longsor, pasti ada indikasi dari ulah manusia yang menyebabkan lingkungan rusak,’’ ungkapnya saat dihubungi IDN Times melalui sambungan telepon, Rabu (20/1/2020).

Menurut dia, pertumbuhan penduduk yang pesat dan membutuhkan tempat beraktivitas juga merupakan pemicu kerusakan lingkungan. Cikal bakal kerusakan lingkungan adalah masyarakat yang telah mengubah dan mengonversi lahan yang sudah ada dari lahan pertanian menjadi non-pertanian untuk tempat hunian dan aktivitas.

4. Manfaatkan rekomendasi peneliti untuk dijadikan mitigasi bencana secara bersama

researchgate.net

Tingginya risiko bencana yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia membuat sejumlah peneliti mempersiapkan rekomendasi untuk upaya mitigasi bagi pemerintah. Bahkan, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) serta sejumlah pakar terus memperbaharui peta zona rawan bencana yang ada di Indonesia.

Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Eko Budi Lelono mengatakan, mitigasi bencana geologi mulai dari gunung berapi, gerakan tanah, hingga gempa bumi setiap tahunnya sudah dilakukan Badan Geologi. Bahkan, untuk pergerakan tanah setiap bulannya sudah diberikan ke pemerintah daerah (Pemda) provinsi.

"Peta ini kami berikan ke pemerintah daerah setempat termasuk BPBD. Harusnya mereka sudah tahu arena mana saja yang ada potensi longsor atau banjir bandang mulai dari level sedang, menengah, tinggi. Seharusnya ini jadi acuan untuk bisa melakukan antisipasi," ujar Eko dalam diskusi virtual, Rabu (20/1/2021).

Eko mengatakan, pemetaan yang dilakukan Badan Geologi dilakukan secara rinci. Misalnya untuk pergerakan tanah di Jawa Barat, pihaknya sudah memetakan daerah mana saja yang sangat berpotensi timbul dan berdampak pada longsor.

"Ini detail kami memetakan setiap kabupaten/kota termasuk gerakan tanah yang ada," paparnya.

Para akademisi dari berbagai kampus dan universitas pun ikut membantu upaya mitigasi bencana di daerah masing-masing. Seperti yang dilakukan para pakar di Provinsi Lampung. Akademisi di wilayah ini telah memetakan delapan wilayah yang cukup beresiko terjadinya bencana.

Berdasarkan keterangan Wakil Ketua Tenaga Ahli Penelitian Kebencanaan ITERA bersama BPBD, Zulkifar mengatakan ada delapan bencana menjadi bahan penelitian di Provinsi Lampung di antaranya banjir, cuaca ekstrem, kekeringan, gempa, kebakaran hutan dan lahan, tanah longsor, tsunami, gelombang tinggi.

Menurutnya, secara umum seluruh kabupaten/kota di Lampung memiliki risiko beragam mulai dari rendah sampai tinggi. Di Kabupaten Way Kanan menurutnya, memiliki risiko paling tinggi kebakaran hutan dan lahan (Karhutla).

Sedangkan kabupaten risiko tujuh bencana, hampir merata adalah Pesisir Barat. Kemudian beberapa daerah yang memiliki multirisiko tinggi dibanding daerah lainnya adalah Tanggamus, Pesisir Barat, Pesawaran, dan Lampung Selatan.

Kawasan pantai barat Lampung banyak terbentuk morfologi landai terutama di sepanjang pantai. Itu berisiko tinggi terhadap bencana tsunami yang bersumber dari pusat-pusat gempa terjadi di perairan baratnya.

5. Masyarakat harus paham mitigasi mandiri mengingat potensi bencana bisa terjadi

Ilustrasi simulasi bencana. ANTARA FOTO/Irwansyah Putra

Kewaspadaan dan kesadaran masyarakat akan potensi bencana menjadi mutlak. Selain untuk mencegah terjadi bencana, dua hal tersebut dapat meminimalisasi potensi korban meninggal dunia dan kerugian harta benda.

Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Jabar Dani Ramdan mengatakan jika masyarakat sadar akan potensi bencana di lingkungan sekitarnya maka mereka dapat melakukan mitigasi bencana. Contohnya, dengan rutin memeriksa dan membersihkan saluran-saluran air di sekitarnya, supaya tidak tersumbat oleh sampah atau material lainnya. Memeriksa tebing-tebing, apakah vegetasinya atau tembok penahan tanahnya masih bagus.

"Dalam kondisi demikian khususnya ketika terjadi hujan lebat, sebaiknya masyarakat yang bermukim di sekitar tebing seperti itu melakukan evakuasi ke tempat yang lebih aman," ucapnya.

Hal yang sama bisa dilakukan oleh masyarakat yang tinggal di bantaran sungai. Jika tinggi muka air sungai sudah mencapai level yang membahayakan, segera lakukan evakuasi ke tempat yang lebih tinggi.

Mitigasi mandiri masyarakat juga bisa mengenali potensi bencana di wilayah masing-masing. Kepala Stasiun Geofisika Klas III Aceh Besar, Djati Cipto Kuncoro melalui Staf Ahli, Andrean Simanjuntak mencontohkan misalnya masyarakat yang tinggal di zona patahan Sumatera, Aceh serta potensi gempa di atas Magnitude 5 yang akan terjadi pada waktu yang tidak bisa ditentukan.

“Tetapi yang paling penting itu bagaimana masyarakat di situ paham mereka tinggal di kegempaannya sangat aktif. Sehingga kalau mitigasi lebih kepada mitigasi diri,” kata Andrean.

“Kalau mitigasinya lebih kepada mandiri, kita pahami kondisi kegempaan di situ terus bagaimana menyesuaikan bangunan sesuai aktivitas gempa di situ,” imbuhnya.

Berita Terkini Lainnya