TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Dedi Mulyadi: Pertemuan Prabowo-Megawati Usai Pemilu Harus Disyukuri

Pertemuan Prabowo-Megawati sudah diprediksi sejak dulu

IDN Times/Yogi Pasha

Bandung, IDN Times - Pertemuan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarno Putri pada Rabu(24/7) banyak mendapatkan sorotan dari elit politik. Tidak hanya ditingkat nasional, tanggapan juga sempat dilontarkan para kalangan elit di tingkat daerah.

Seperti yang diungkapkan Ketua DPD Partai Golkar Jawa Barat Dedi Mulyadi. Menurut dia, pertemuan dua tokoh nasional tersebut sudah diprediksi sejak lama. Sehingga, peristiwa yang terjadi itu sebaiknya disyukuri saja. "Sudah diprediksi sejak dulu, artinya kalau muncul sekarang udah enggak aneh, saya sudah memperkirakan,” kata Dedi saat dihubungi, Kamis (25/8).

Lalu bagaimana menurut pandangan Dedi Mulyadi terkait pertemuan ke dua tokoh yang dikabarkan hangat dalam dunia politik? Yuk, kita simak penjelasan Ketua DPD Partai Golkar Dedi Mulyadi di bawah ini

1. Pertemuan biasa dalam dunia politik

ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

Dedi menyebutkan, pertemuan antara Prabowo dan Megawati memang sempat menggemparkan di masyarakat. Namun, kata dia, hal tersebut biasa terjadi di dunia politik.

"Sebenarnya cair-cair saja. Bagi saya pertemuan Ibu Mega dan Pak Prabowo biasa -biasa saja karena sebelumnya pernah mencalonkan bersama artinya enggak ada problem," tuturnya.

2. Syukuri saja pertemuan antara Prabowo dan Megawati

Dok. IDN Times/Istimewa

Dedi menambahkan, pertemuan Prabowo dan Megawati sepatutnya disyukuri oleh rakyat Indonesia. Dia pun mengimbau kepada masyarakat agar melupakan perseteruan antar pendukung carpes-cawapres di Pilpres 2019. Menurut dia, rakyat saat ini lebih baik mengawasi kerja elit politik di eksekutif dan legislatif.

"Bagi saya bagus lah, enggak ada lagi ribut-ribut urusan ideologi lagi. Pilkada juga nanti bisa bareng-bareng lagi. Pelajaran penting bagi rakyat, sudah deh, jangan bertengkar mati-matian ngebelain elit. Sudah, biasa saja. Jangan percaya sama pertengkaran elit. Ini musuhannya cuma di sinetron, tapi kadang-kadang penonton terpengaruh,” ujarnya.

3. Politik terbuka di Indonesia

ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

Dedi menambahkan, cairnya hubungan politik antara Partai Gerindra dan PDI Perjuangan menunjukkan bahwa Indonesia menganut sistem politik terbuka. Politik pasca reformasi, sambung Dedi, adalah politik terbuka dimana tidak ada konsolidasi ideologis yang terlalu mendalam sampai ke Pemilu 2014.

Dia menjelaskan, perang ideologi yang terjadi di Pilpres 2019 dimulai setelah Pilkada DKI 2019, dimana Basuki Tjahja Purnama atau Ahok yang didukung oleh PDI-P sebagai calon Gubernur DKI Jakarta dinyatakan bersalah oleh hukum karena dianggap telah melakukan penistaan agama.

Lebih lanjut Dedi menambahkan, pada Pemilu 2019 pasca-pencalonan Ahok, munculah sentimen politik agama. Dedi menilai, sentimen ini kemudian dimanfaatkan untuk membentuk sebuah kubu yang menumpang partai politik sebagai kendaraan.

Berita Terkini Lainnya