Merawat Toleransi, Melawan Diskriminasi Pada Etnis Tionghoa di Cirebon
Gerakan kultural etnis Tionghoa melawan narasi kebencian
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Cirebon, IDN Times - Suara Halim Eka Wardhana (63 tahun) terdengar lirih dan terbata-bata. Ia berusaha menahan air mata jatuh, tatkala mengisahkan memori diskriminasi yang pernah dialaminya. Halim terlahir dari seorang keluarga peranakan etnis Tionghoa di Cirebon, Jawa Barat. Keluarganya pernah dituduh terlibat gerakan 30 September 1965.
Pemilik nama asli Tjiong Tjoan Liem itu mengaku tak bisa melupakan ingatan pahit bagaimana keluarganya diperlakukan di masa awal pemerintahan Orde Baru. Saat itu, kedua orang tuanya dituduh terlibat menyebarkan komunisme.
Medio 1966–1968 adalah masa kelam bagi etnis Tionghoa. Mereka dicurigai menyebarkan paham komunis dan dituduh terlibat PKI. Bahkan, kakaknya menjadi korban tahanan politik di Pulau Buru, yang diadili tanpa proses hukum.
Kebijakan yang dikeluarkan Orde Baru Inpres Nomor 14/1967 tentang Agama Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina menjadi bukti diskriminasi oleh negara kepada etnis Tionghoa. Secara tegas, pemerintah Soeharto melarang kepercayaan dan adat istiadat ke-Tionghoa-an diekspresikan ke ruang publik.
Etnis Tionghoa dituduh terafiliasi paham komunis, karena masih punya ikatan leluhur di Tiongkok kala itu. Sebab itu pula, Pemerintah Orba menghilangkan semua atribut dan segala aktivitas budaya bernuansa Tiongkok.
“Saya masih ingat betul, semua buku berbahasa Mandarin dirampas. Papan nama toko-toko yang pakai nama Tiongkok diturunkan petugas. Termasuk, orang Tionghoa harus berganti nama, harus pakai nama-nama Indonesia,” Halim mengisahkan pengalaman diskriminasi, Jumat (26/3/2021).
Peristiwa itu terjadi pada tahun 1968, di mana Halim masih berusia 10 tahun. Dia bersama dua kakak perempuannya cemas. Pada suatu hari, kedua orang tuanya tak kunjung pulang hingga larut malam. Saudara tuanya tak berhasil mencari tahu keberadaan mereka. Sementara Halim kecil bersama kedua kakak perempuannya tak tahu harus berbuat apa.
Hingga suatu ketika, ia tak kuasa menahan perih saat mengetahui kedua orang tuanya ditahan tanpa sebab yang jelas. Bersama warga Tionghoa lainnya, orang tua Halim dianggap berpartisipasi dalam gerakan politik PKI. Belakangan diketahui bukan warga Tionghoa saja yang mengalami nasib serupa, melainkan juga warga etnis Jawa yang mendapat tudingan serupa.
“Malam hari saya hanya bersama kakak perempuan saya saja. Lalu, ada tetangga depan rumah. Tukang sate Madura yang menyelamatkan kami untuk tenang. Sementara dua adik saya dititipkan di rumah bibi. Kondisi masa itu sangat mengerikan, kalau melawan mungkin kami akan habis. Padahal kami tidak terlibat aktivitas politik apa pun,” ujar Halim.
Meski sudah terjadi sekian tahun lamanya, Halim masih bergetar setiap kali diminta menceritakan peristiwa itu: pengalaman pahit sebagai peranakan Tionghoa yang termarjinalkan. Tak hanya kedua orang tuanya, saudara tuanya pun dijadikan tahanan politik. Juga tanpa proses hukum.
Halim menuturkan, saudara tuanya ditahan karena terlibat aktif di Concentraci Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) saat berkuliah di sebuah kampus negeri di Bandung. Namanya tercatat sebagai pentolan aktivis organisasi.
Dia menceritakan, sebelum dikirim ke Pulau Buru, kakaknya sempat menjalani masa tahanan di Rutan Militer Bandung. Enam bulan kemudian, surat pos tiba di rumah. Isinya mengabarkan bahwa kakaknya sudah dipindahkan ke timur Indonesia. Sejak ditangkap hingga dijadikan tahanan politik, keluarga Halim hanya berkomunikasi lewat pos. Perasaan cemas menyangkut kondisi kesehatan kakaknya di Pulau Buru terus menggelayuti mereka dari hari ke hari.
“Kakak saya ditahan tanpa diproses hukum sama sekali di Rutan Militer Bandung. (Saya tahu) Karena dari kecil saya sudah rajin membaca koran. Dari situ, saya tahu banyak orang yang sedang ditahan dan dikirim ke Pulau Buru. Barulah saya sadar bahwa ‘timur’ yang dimaksud isi surat itu adalah Pulau Buru,” kata Halim yang kini aktif sebagai Humas di Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) Cirebon.
Waktu terus berjalan, namun perlakuan diskriminasi yang dialami Halim dan keluarga tak berhenti di sana. Masa kanak-kanaknya kurang begitu indah. Orang-orang sekitar rumah mulai menjauh. Bahkan, teman mainnya enggan kembali berkunjung ke rumah.
Perubahan drastis sikap orang sekelilingnya membuat Halim dan keluarga makin terpojok. Dia tak pernah membayangkan jika teman-teman dekat akan memperlakukannya sebagai orang bersalah karena beretnis Tionghoa dan menyandang tuduhan komunis yang dibangun pemerintah.
“Sahabat dekat sampai enggak mau bermain lagi sama saya. Dia bilang, saya Cina, jadi tidak boleh dekat-dekat. Bayangkan, anak sekecil itu sudah punya pandangan seperti itu. Entah siapa yang mengajarkan. Hingga saya sadar bahwa pemerintah saat itu membangun stigma yang buruk kepada etnis Tionghoa,” tutur Halim mengisahkan pengalamannya waktu duduk di kursi sekolah dasar.
1. Pernikahan Ong Tien-Sunan Gunug Jati: Simbol ikatan cinta etnis Cirebon dan Tiongkok
Kendati demikian, Halim mengaku tidak mengutuk orang-orang yang pernah menjauhinya karena identitas etnis. Dalam benaknya, perlakuan diskriminasi yang dialami oleh keluarga tak lebih dari korban keputusan politik di masa Orde Baru. Padahal menurutnya, jika bangsa ini mau jujur dan meneladani betul sejarah pertalian Nusantara dengan Tiongkok, diskriminasi terhadap etnis Tionghoa tak akan pernah terjadi.
Halim mengingatkan kembali akan sosok Ong Tien, seorang istri Sunan Gunung Jati berdarah Tiongkok. Sebagai orang terlahir di Cirebon, kisah pernikahan Ong Tien dan Sunan Gunung Jati patut dijadikan inspirasi.
Kisah cinta Sunan Gunung Jati dan Ong Tien harusnya membuat masyarakat sadar bahwa keberadaan etnis Tionghoa di Cirebon tak bisa dilepaskan dari konteks sejarah.
“Leluhur kami datang ke Cirebon bukan untuk menjajah, melainkan untuk membangun peradaban, bergotong-royong, untuk kepentingan bersama. Sebutlah Ong Tien, dia datang untuk menemukan cintanya kepada Sunan Gunung Jati dan bisa hidup bersama sampai akhir hayatnya,” tutur Halim.
Setali tiga uang, Filolog sekaligus Budayawan Cirebon Raffan S. Hasyim menuturkan, sejarah pertalian Cirebon dan Tiongkok bisa ditandai dengan sejarah perjalanan muhibah Laksamana Cheng Ho menggunakan armada besar. Catatan naskah kuna Carita Purwaka Caruban Nagari mencatat, Cheng Ho datang ke Cirebon pada tahun 1415. Kala itu, kekaisaran dinasti Ming sedang memperluas hubungan diplomatik ke seluruh dunia, salah satunya singgah di perairan Cirebon.
Berjalannya waktu, hubungan Cirebon dengan kekaisaran Tiongkok semakin baik. Sunan Gunung Jati yang kala itu baru diangkat sebagai raja pertama Kerajaan Cirebon melawat ke kaisar Hong Gie. Di sana lah terjadi pertemuan sang sunan dengan Putri Ong Tien.
Awal pertemuan dengan Sunan Gunungjati membuat Ong Tien jatuh hati. Rencana kepulangan Syekh Syarif Hidayatullah ke tanah Jawa pun terdengar olehnya. Ong Tien pun bersedih hati.
“Atas dasar kecintaan kepada Sunan Gunung Jati, Ong Tien berencana menyusul ke Tanah Jawa. Ong Tien tiba di Pelabuhan Muharajati dengan 40 armada besar lengkap dengan pasukan pengiring. Ong Tien datang ditemani pamannya yang kemudian menjadi wali atas pernikahannya dengan Sunan Gunung Jati,” tuturnya, kepada IDN Times.
Atas pertimbangan perluasan dakwah Islam dan memperkuat hubungan Cirebon dan Tiongkok, lamaran Ong Tien direstui oleh Pangeran Walangsungsang hingga pernikahan mereka diselenggarakan pada tahun 1481.
Meski usia pernikahannya hanya berlangsung selama empat tahun, dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon itu menegaskan, kedatangan bangsa Tiongkok berkontribusi besar bagi peradaban Cirebon. Bukti pengaruh kuat etnis Tiongkok bisa dilihat dari gaya arsitektur, motif batik, kuliner, alat tangkap ikan, gaya berbusana dan sebagainya.
Menurut Raffan, kepergian Ong Tien membuat Sunan Gunung Jati merasa kehilangan. Sebab, selama sang sunan mengajarkan ilmu agama kepada santri-santrinya di pesantren (kini menjadi komplek Pemakaman Sunan Gunung Jati), Sang Ratu selalu hadir menemani hari-harinya. Hal itu membuat Ong Tien diberi julukan oleh kanjeng sunan sebagai Nyi Mas Rara Sumanding, yang berarti ratu yang selalu tersanding.
“Jika dahulu kala, pendahulu kita yang berbeda etnis bisa menjalin ikatan cinta hingga akhir hayatnya, kenapa kita sebagai penerusnya malah bertengkah dan saling memusuhi? Bersandingnya makam Sunan Gunung Jati dan Putri Ong Tien adalah monumen perdamaian lintas etnis,” tutur dia.