TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Street Art Mural, Karya Seni yang Tak Bisa Dibungkam  

Kami ada dan berlipat ganda

Mural pria mirip Presiden Jokowi mejeng di Jembatan Pasupati, Bandung. IDN Times/Debbie Sutrisno

Bandung, IDN Times - Belakangan ini mural menjadi kosakata yang ramai diperbincangkan masyarakat baik di dunia nyata maupun dunia nyata. Musababnya, aksi pemerintah yang menghapus berbagai macam mural ataupun tulisan grafiti di berbagai daerah, yang dianggap bermuatan politik dan merusak fasilitas umum.

Sayangnya, langkah sejumlah aparat di daerah yang menghapus mural justru mendapat serangan balik dari para seniman jalanan. Bak pribahasa Mati Satu Tumbuh Seribu, mural yang mengkritik pemerintah kemudian muncul di berbagai daerah.

Di Kota Bandung misalnya, beberapa waktu lalu sempat ada mural seorang pria yang perawakannya mirip dengan Presiden Jokowi, di salah Jembatan Pasupati. Mural dari cetakan kertas tersebut menggambarkan mata dan hidup pria tersebut tertutup masker. Setelah viral di media massa, hanya butuh hitungan jam, aparat dari Satpol PP langsung menghapusnya.

Pun dengan grafiti tulisan 'Jadikan Koruptor Pahlawan Cara Firli Bahuri Berantas Korupsi' sempat mejeng pada tembok di bawah Jembatan Viaduct. Sama halnya dengan mural mirip Jokowi, dalam waktu singkat aparat lantas mengecat tembok tersebut untuk menghilangkan tulisan kritik tersebut.

Terkait kondisi ini, Alga Indria yang didapuk sebagai Wali Kota Mural Bandung mengatakan, berbagai karya seni yang muncul di jalanan Kota Bandung bisa jadi sebagai bentuk keresahan masyarakat selama pandemik COVID-19. Para seniman mural tersebut sudah dipastikan terdampak pandemik ini.

Apalagi seniman biasanya mencari uang dari seni yang mereka hasilkan secara harian. Ketika banyak aktivitas dibatasi, mereka jelas kesulitan mencari uang untuk sesuap nasi.

"Yang resah pasti banyak. Kalau orang biasa mungkin nulis di medsos (media sosial), kalau musisi ada panggungnya bikin event, pembuat film juga bisa di bioskop. Nah keresahan seniman mural ini karena tidak ada medianya, mereka jadi gambar di tembok," ujar Alga ketika berbincang dengan IDN Times, Kamis (2/9/2021).

1. Pemerintah tak perlu bereaksi berlebihan

Mahasiswa jurusan seni yang tergabung dalam Komunitas Mural-Marul melukis mural di Kota Tulungagung, Tulungagung, Jawa Timur, Kamis (13/8/2020). Mereka mengampanyekan penggunaan masker kepada masyarakat selama pandemi COVID-19 (ANTARA FOTO/Destyan Sujarwoko)

Menurutnya, persoalan mural kali ini bisa jadi diperuncing dengan persoalan politik di Indonesia. Hal itu yang kemudian membuat kritik lewat seni mural atau grafiti kemudian coba diredam oleh pemerintah.

Padahal dengan menghapus mural atau seni apapun yang terpampang di jalanan atau fasilitas umum, tidak akan membuat persoalan di negeri ini selesai. Sebab, mural tersebut kadung viral di media sosial dan sudah jadi konsumsi masyarakat umum.

"Mural yang mengkiritisi itu sama saja dengan banyak film yang juga mengkritisi pemerintah. Pemerintah mungkin ingin menstabilkan yang seperti itu, tapi hasilnya justru ada perlawanan. Kalau pemerintah reaktif dengan noise (suara kritikan) seperti ini, maka akan lebih banyak (perlawanan para seniman)," ujar vokalis band The Panasdalam ini.

Baca Juga: 10 Kota dengan Mural Terbaik dan Paling Unik di Dunia, Keren Abis!

2. Seni mural sudah ada sejak jaman revolusi kok

Warga melintas di depan mural wajah-wajah Presiden Indonesia dari Soekarno hingga Joko Widodo di Kampung Jagalan, Solo, Jawa Tengah, Kamis (13/8/2020). Selain sebagai sarana edukasi tentang sosok tujuh presiden Indonesia, hiasan mural tersebut juga untuk menyambut HUT ke-75 RI dan sebagai tempat swafoto bagi pengunjung kampung tersebut (ANTARA FOTO/Maulana Surya)

Alga pun menyebut bahwa seni mural sebenarnya sudah ada sejak lama. Upaya pemberontakan atas penjajahan di kawasan Eropa maupun di Indonesia banyak disuarakan lewat mural.

"Artinya kritik lewat seni menggambar di jalanan ini bukan barang baru yang harus ditakuti pemerintah," kata dia.

Dikutip dari laman muralform, mural berasal dari 30.000 sebelum masehi (SM) dari lukisan paling awal di gua Chauvet Prancis. Jumlah lukisan terbesar berasal dari makam Mesir pada 3150 SM, Pompeii pada 100 SM-79 M, dan Minoan pada 1700-1600 SM. Seluruh periode di mana lukisan kuno dikenal sebagai zaman Paleolitik Atas.

Plester kering adalah bagaimana lukisan disatukan pada Abad Pertengahan, abad ke-14. Lukisan mural kerala adalah salah satu contoh Fresco Secco. Ketika teknik melukis mural pada plester basah berakar di Italia, sekitar tahun 1300, kualitas lukisan dinding tumbuh. Ini adalah zaman di mana lukisan mural mulai terbentuk dan menjadi modern.

Gaya lukisan mural yang paling terkenal adalah Fresco, tetapi ada banyak metode dan teknik seperti yang ditunjukkan oleh gerakan seni muralisme Meksiko yang berakar signifikan di zaman modern. Pelopor gerakan ini antara lain Diego Rivera, David Siqueiros, dan Jose Orozco.

Teknik Fresco lukisan mural menggunakan cat larut air dan kapur cuci. Menerapkan campuran pada permukaan besar menghasilkan lukisan dinding. Setelah campuran mengering, warnanya terbentuk. Selama ribuan tahun, metode lain yang dikenal sebagai teknik Marouflage telah digunakan.

Lukisan mural adalah revolusioner dan membuktikan bahwa dinding dan langit-langit tidak harus polos. Kini, lukisan dinding bisa ditampilkan dengan cara mentransfer seni dinding ke dalam kanvas kertas poster lalu menempelkannya di dinding. Gambar seni atau fotografi memberikan ilusi pemandangan yang realistis di dinding.

Baca Juga: 5 Karya Seni Afghanistan yang Jarang Diketahui, Sungguh Bersolek!

3. Pemerintah harus visioner jangan reaksioner hadapi mural semacam ini

Muralis membuat mural untuk FX Hadi Rudyatmo. IDN Times /Larasati Rey

Dengan kondisi sekarang, Alga berharap pemerintah lebih visioner dalam menanggapi banyaknya mural kritik. Misalnya, dengan memberikan ruang kepada para seniman mural untuk berkarya dalam bentuk apapun sesuai dengan keinginan mereka.

Mereka pun bisa diajak bekerja sama untuk membuat lukisan yang menginformasikann kepada masyarakat tentang bahaya virus corona, atau hal lainnya yang baik di lakukan di saat pandemik ini.

"Karena kawan mural ini sampai sekarang tidak ada tempat khusus untuk beradu ide, maka fasilitas yang ada kemudian dipakai," kata Alga.

Pemerintah ke depan jangan reaksioner lagi ketika ada mural yang mengkritisi. Mural adalah karya seni yang harus didukung meski kadang banyak bernada miring karena keresahan yang dirasa.

4. Dialog dengan pelaku mural dan seni lainnya harus dikedepankan

Ilustrasi (ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya)

Di kubu pemerintah daerah, tak semua sependapat untuk menindak karya mural termasuk para senimannya. Wali Kota Bandung Oded M Danial menilai bahwa mural adalah hasil corat coret tersebut seharusnya bisa dilakukan dengan positif. Artinya, mural sebaiknya ditempatkan di kawasan yang semestinya.

"Di gang-gang juga bagus, arahkan ke situ saja. Dari pada ga karuan," ujar Oded.

Menurutnya, seni mural memang tidak selalu bernada positif, karena banyak juga yang bersifat kritikan kepada pemerintah. Meski demikian, kritik seharusnya bisa membangun dan itu alangkah baiknya tidak dilakukan sembarang.

"Kritik membangun itu kan pakai etika lah. Tidak setiap sesuatu yang baik saja ketika disampaikan berujung baik. Maka kalau kita penyampaiannya baik, ikhlas, hasilnya pasti akan benar," kata dia.

Berbeda dengan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil. Sebagai seorang arsitek yang punya hobi menggambar dan melukis, Emil, sapaan akrabnya, menilai bahwa kritik politik harusnya ditanggapi biasa saja. Dirinya sendiri tidak mempermasalahkan hal tersebut mengingat urusan pemberian ruang pada seni sudah dilakukan pihaknya saat masih menjabat Wali Kota Bandung.

"Tradisi seni kota ini saya mah sangat senang. Dulu saya zaman wali kota kan memberikan ruang-ruang. Tiangnya Pasupati dimural, di dinding Siliwangi dimural, tidak masalah,” katanya dalam jumpa pers daring di Bandung, Jumat (27/8/2021).

Namun karena persoalan seni mural yang tampil bermuatan politik, dia menilai yang perlu dikedepankan adalah etika budaya dan batasan-batasan yang harus dimengerti para pelaku mural.

”Tinggal kita menyepakati secara etika budaya, batas-batasnya aja ya, selama memenuhi kearifan lokal, etika yang disepakati, saya kira tidak ada masalah," kata Ridwan Kamil.

Ranah seni, menurutnya, mengundang kontroversi atau perdebatan ketika mengetengahkan kritik politik. Karena itu,dia menilai penting mendiskusikan hal ini dengan para budayawan dan seniman. Pemerintah menurutnya harus memfasilitasi ruang diskusi.

"Kita ini harus berdialog, dalam merumuskan 'batas'. Batasan mana yang boleh dan pantas, mana yang tidak boleh dan tidak pantas. Di dunia digital pun, tidak semua dari kita paham, mana itu kritik argumentatif mana itu buli atau hinaan. Orang berjiwa besar bicarakan gagasan, orang berjiwa kerdil bicarakan atau gosipkan orang," ujar Emil.

Di sisi lain, pelaku mural juga harus paham dan jangan sakit hari karena karyanya suatu hari akan hilang. Apalagi tanpa izin pemilik tembok, mural bisa pudar tersapu hujan, dihapus aparat ataupun oleh hilang ditimpa pemural lainnya.

Baca Juga: Mural Kritik Dihapus, Pegiat Seni Medan: Pemerintah Jangan Baper

Baca Juga: Mural Mirip Jokowi Acungkan Jempol Muncul di Jagakarsa

Berita Terkini Lainnya