TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Serapan Lulusan SMK di Industri Jabar Kian Berkurang

Siswa SMK harus diajarkan untuk lebih kreatif dan mandiri

Ilustrasi pelajar SMK. IDN Times/Aji

Bandung, IDN Times - Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat (Jabar) memiliki pekerjaan rumah untuk menyelesaikan persoalan pendidikan khususnya sekolah menengah kejuruan (SMK). Sebab, lulusan dari SMK saat ini semakin sedikit yang diserap industri.

Anggota Barisan Ilmuan Jawa Barat (Balebat) Asep Maulana mengatakan, revitalisasi SMK saat ini sudah harus segera dijalankan. Kurikulum yang kian tertinggal di tengah perkembangan jaman serta sarana prasana yang kurang memadai membuat lulusan SMK semakin tidak relevan dengan kebutuhan industri.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, dari seluruh SMK yang ada di Jabar hanya sekitar 6,97 persen masuk dalam kategori baik. Sedikitnya presentase ini kemudian berdampak pada serapan lulusan SMK yang berkurang tiap tahunnya.

"Pada 2016 ini serapan 72 persen, turun jadi 71 persen pada 2017, dan tahun kemarin hanya 67 persen," ujar Asep dalam diskusi bertajuk Revitalisasi SMK, Selasa (22/10).

1. Ada tiga besar masalah dalam pendidikan SMK

ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho

Asep menuturkan, dari data yang dihimpun jumlah pengangguran terbuka di Jabar saat ini mencapai 7,7 persen. Dari jumlah tersebut penyumbang terbesar adalah dari lulusan SMK sekitar 12 persen.

Terdapat sedikitnya tiga persoalan yang membuat jebolan SMK tidak diminati. Pertama, karena kualitas pendidik, kedua karena sarana pendidikannya, kemudian terakhir adalah standar isi yang ingin dikeluarkan oleh SMK berkaitan.

Dengan kondisi ini, pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sebaiknya memetakan kembali potensi dari setiap SMK. Kemudian pihak sekolah harus bisa memastikan minat dan bakat siswa sedari kecil, sehingga potensi mereka bisa dikembangkan secara optimal.

"Nah sekarang itu tidak dipetakan dengan baik," kata Asep.

2. Pertumbuhan jumlah industri tidak sepadan dengan jumlah siswa SMK

ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah

Permasalahan lain yang harus dihadapi pemerintah adalah jumlah pertumbuhan industri tidak lebih banyak ketika harus menyerap tenaga kerja lulusan SMK. Ini membuat lulusan SMK kemungkinan serapannya lebih kecil dibandingkan jumlah mereka yang berhasil menyelesaikan sekolah.

Jika hal ini terjadi, bisa jadi persaingan antara lulusan SMK kian ketat. Hal ini kemudian bisa berdampak pada gaji yang didapat para lulusan.

"Ketika gaji rendah maka produktivitas pun bisa rendah dan ini berdampak pada rendahnya (PDB) produk
domestik bruto.

Saat ini saja pendapatan lulusan SMK dengan rentang usai 20 tahun sampai 40 tahun pendapatannya secara rata-rata hanya Rp2,2 juta.

3. Kreativitas anak SMK harus ditingkatkan

innovativewa.com

Sementara itu, Sosiolog dari Universitas Indonesia Imam Prasodjo mengatakan, lembaga pendidikan SMK seharusnya bisa membuat para siswa lebih kreatif dan mandiri. Jangan sampai pemikiran siswa kemudian hanya bermuara untuk bekerja di pabrik semata.

Pengangguran dari SMK yang terus bertambah disinyalir karena pihak sekolah hanya ingin menciptakan siswa yang siap kerja. Padahal siswa pun harus diajarkan mandiri dan bisa membuat produk kreatif sehingga mereka mampu berwirausaha.

"Makanya ini ada yang salah (dengan kurikulum SMK)," ujar Imam.

Dia mengatakan, dunia pendidikan seharusnya bisa lebih peka dengan perkembangan dan kebutuhan secara relevan. Untuk pertanian misalnya, sektor ini sebenarnya banyak dibutuhkan karena pangan dari masyarakat tergantung dari sektor pertanian. Namun persoalannya adalah masih sedikit siswa yang mau menjadi petani dan mengembangkan teknologi di sektor tersebut.

Di sisi lain, pihak sekolah pun harus memperbanyak ekstrakulikuler yang bisa meningkatkan kemampuan siswa untuk membuat sesuatu di luar kurikulum yang sekarang diajarkan. "Itu bisa diperbanyak," paparnya.

Berita Terkini Lainnya