Wabah COVID-19, Industri Game di Indonesia Meraup Untung
Industri game jadi primadona saat pandemik corona
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Bandung, IDN Times - Dengan mayoritas penduduk tertinggi di Asia Tenggara, Indonesia menjadi magnet tersendiri untuk para pelaku industri game dalam menggaet pasar. Beberapa kali event besar penikmat game, seperti Piala Presiden yang digelar pada beberapa waktu lalu, selalu berhasil menarik perhatian massa.
Selain dengan penduduk banyak, user atau pengguna internet di Indonesia juga terbilang banyak. Hal tersebut juga menjadi jalan manis untuk terkoneksi dengan industri game yang kini sudah berkembang hingga medium telepon pintar atau smartphone.
Meski punya potensi yang luar biasa tersebut, Presiden Asosiasi Game Indonesia (AGI) Cipto Adiguno mengatakan bahwa saat ini sekolah yang fokus dalam industri game masih minim.
"Ini masih ada gap yang diajarkan dan yang dibutuhkan. Jadi gap terutama saya yakin tidak cuma di game. Kalau orang buat game sedikit, bisa jadi karena ada batasan harus S2 (di dunia pekerjaan)," ujar Cipto saat dihubungi pada Kamis (27/8/2020).
1. Sekolah Industri game harus ugrade skill mahasiswa
Cipto menuturkan, saat ini fenomena seorang profesional yang mengembangkan industri game berkembang semakin pesat. Menurutnya, bisa jadi yang terpenting dalam pendidikan untuk menunjang industri game saat ini bukan hanya kemampuan akademisi dalam bangku kuliah semata, melainkan skill yang terus dilatih.
"Kalau profesional tidak perlu ijazah. Saya cuma S1 dan saya tidak bisa ngajar di Universitas. CEO kita di Agate malah enggak lulus, jadi ijazah SMA, padahal jago banget. Kan ribet. Jadi dengan begitu apa yang diajarkan di sekolah bukan yang profesional. Bukan bilang mereka jelek, tapi selain itu harusnya ada mix-max," tuturnya.
Padahal, menurutnya, industri game bukan barang instan. Dalam dunia game, orang diminta untuk terus mencoba dan update beberapa kekurangan agar sebuah game agar semakin dinikmati pengguna.
"Seperti masak, kalau pertama kali belajar tentu bisa gosong dan lain-lain. Jadi perlu murid buat game sering dan gagal berkali-kali, jadi banyak teorinya. Intinya ada gap, di mana apa yang diajarkan dan dibutuhkan itu berbeda," ungkapnya.
Baca Juga: Cara Pengembang Games Lokal Agate Bersaing dengan Asing
Baca Juga: Biografi Sultan Hasanuddin, Raja Gowa Berjuluk Ayam Jantan dari Timur